Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Menantu Wong Sugih

Dari penjual beras sampai analis intelijen, perjalanan hidup Hadi Poernomo amat berwarna. Mempertanyakan penyelamatan Bank Century sampai detik terakhir.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA sempat berjualan beras di Gambir dan jadi tukang hitung tepung terigu yang turun dari kapal." Ucapan bernada merendah itu keluar dari mulut Hadi Poernomo 13 tahun lalu.

Ketika itu, dia baru saja menjabat Direktur Jenderal Pajak dan memberikan wawancara khusus untuk majalah Forum Keadilan. "Tepung yang saya hitung itu milik Liem Sioe Liong," katanya kemudian, menyebut nama konglomerat yang dekat dengan mantan presiden Soeharto itu.

Pada 2001, ketika wawancara itu dilakukan, nama Hadi Poernomo tengah moncer. Setelah hampir tiga dekade meniti karier di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dia akhirnya berhasil menduduki kursi tertinggi di sana. Namun Hadi berusaha tak jemawa dan menegaskan latar belakangnya yang bersahaja sebagai penghitung tepung terigu.

Sembilan tahun kemudian, Hadi terpilih untuk posisi yang lebih penting lagi: Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Sebagai pemimpin di lembaga tinggi negara itu, kedudukan Hadi setara dengan Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketika diwawancarai Tempo setahun kemudian, pada Juni 2010, Hadi tak lagi merendah. Ia mengaku berasal dari keluarga terpandang. "Kakek saya Raden Abdul Gani, dulu patih atau Wakil Bupati Sampang," ujarnya.

Ayahnya, Raden Abdul Hadi Notosantoso, punya kedudukan sama cemerlang. Dia mengakhiri karier sebagai bupati yang diperbantukan di Nganjuk, Jawa Timur. Tak lupa Hadi menyebutkan asal-usul istrinya, Melita Setyawati, yang tak kalah gemerlap. Mertuanya, Raden Soedadi Prodjosutedjo, pernah menjadi Kepala Kantor Pajak Jakarta Raya. "Jadi saya menikahi anak wong sugih," kata Hadi, kini 67 tahun. "Alhamdulillah, aku ikutan sugih." Kakak ipar Hadi, pengusaha Setiawan Djody, memang dikenal tajir.

Hadi membeberkan trah ningrat keluarganya bukan tanpa alasan. Pada waktu itu penegak hukum tengah mengendus laporan harta kekayaannya yang mencurigakan. Soalnya, Hadi mengaku sebagian besar pundi miliknya senilai Rp 37,9 miliar berasal dari hibah. Kalau hanya mengandalkan gaji pegawai pajak, mustahil hartanya sebanyak itu.

Riwayat Hadi memang tak selalu terang. Banyak episode hidupnya yang agak misterius. Misalnya, ketika Hadi baru menjadi pegawai rendahan di Direktorat Pajak pada 1980-an, ada kabar bahwa dia mendapat sanksi keras dari atasannya di sana. Lebih dari satu sumber Tempo mengatakan bahwa Hadi bahkan sempat dicopot dari posisinya dan tidak mendapat pekerjaan apa pun sebagai hukuman.

Sepuluh tahun tanpa kejelasan, menjelang 1990, Hadi kemudian mengajukan cuti di luar tanggungan untuk mengambil gelar master di Amerika Serikat. Namanya baru muncul lagi di radar petinggi Direktorat Jenderal Pajak pada 1996 saat dia diangkat sebagai Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Manado, Sulawesi Utara. Sejak itu, barulah kariernya mulus.

Yang mengherankan, tak ada satu pun pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berani memastikan benar-tidaknya kisah ini. Atasan Hadi waktu itu, Mahfud Sidiq, mengaku mendengar soal adanya sanksi administratif untuk Hadi. "Tapi saya tak tahu persis, hanya dengar-dengar kabar saja," katanya mengelak ketika dihubungi akhir pekan lalu.

Ketika dimintai konfirmasi, Hadi membantah cerita ini. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, empat tahun lalu, dia mengaku ketika itu sedang mengambil cuti panjang. "Cuti kok dibilang di-grounded?" ucapnya sambil terkekeh.

Meski gelap di sana-sini, kisah hidup Hadi teramat berwarna. Lahir dan besar di Pamekasan, Madura, Hadi dan keluarganya hidup berpindah-pindah mengikuti tempat dinas sang ayah. Hadi pernah tinggal di Jember sampai tamat sekolah menengah pertama, lalu pindah ke Kediri, Jawa Timur. Dia menamatkan sekolah menengah atas di kota itu pada 1965, lalu berangkat mengadu nasib ke Jakarta.

Bisa jadi pada periode inilah Hadi berusaha mandiri dengan menjadi penjual beras dan tukang hitung tepung terigu di Gambir. Nasibnya berubah setelah menikahi istrinya yang kaya raya itu pada Mei 1971. Dua tahun kemudian, Hadi diterima sebagai pegawai pajak.

Karier Hadi terhenti di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada 2006, di tengah gelombang reformasi di Kementerian Keuangan, Hadi terpental. Dia dicopot dari kursi Dirjen Pajak tepat pada hari ulang tahunnya. Ada kabar bahwa Hadi amat terpukul oleh pemberhentian tersebut dan bersumpah tak akan pernah menjejakkan kaki lagi di kantor Kementerian Keuangan.

Tapi bukan berarti kisah hidup Hadi tamat sampai di sini. Diam-diam dia merapat ke kantor Badan Intelijen Negara di Kalibata, Jakarta Selatan. Kepala BIN waktu itu, Syamsir Siregar, memintanya menjadi Ketua Bidang Ekonomi di Dewan Analis Strategis lembaga tersebut.

Sepak terjang Hadi sebagai analis intelijen tak banyak diketahui orang. Dia juga tak pernah secara terbuka menjelaskan tugas dan tanggung jawabnya di sana. Ketika dihubungi Tempo pekan lalu, Kepala Dewan Analis Strategis BIN Rubianto merespons permintaan konfirmasi soal ini dengan jawaban pendek, "Iya, betul."

Setelah tiga tahun berkutat di lembaga telik sandi itu, pada September 2009, nama Hadi mendadak muncul di bursa pemilihan anggota BPK. Pada pemilihan yang riuh-rendah di Senayan, Hadi meraup 44 suara—nomor dua terbanyak. Hanya auditor BPK, Hasan Bisri, yang mendapat suara melebihi Hadi.

Setelah sembilan anggota BPK dilantik, sesuai dengan peraturan, mereka harus memilih seorang ketua di antara mereka. Selain Hadi dan Hasan, tujuh anggota lain adalah Taufiequrachman Ruki, Herman Widyananda, Rizal Djalil, Muhammad Nurlif, Ali Masykur Musa, Sapto Amal Damandari, dan Moermahadi Soerja Djanegara.

Sebagian besar dari mereka punya kaitan—langsung ataupun tak langsung— dengan partai politik. Rizal, misalnya, politikus Partai Amanat Nasional. Sedangkan Ali Masykur Musa berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun Herman dan Nurlif mantan anggota DPR dari Golkar.

Pemilihan Ketua BPK berlangsung sengit. Dua orang muncul sebagai calon kuat: Hadi dan Ruki. Istana kabarnya menyokong Ruki, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi Hadi bergeming. Di sinilah mulai tampak kekuatan lobi dan jejaring politik di belakang Hadi. Dia pun menang.

Lima tahun kepemimpinan Hadi di lembaga auditor negara itu tak lepas dari kontroversi. Pada zaman Hadi-lah audit atas kasus pengucuran dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan. Menanggapi audit itu, kalangan Istana, terutama Staf Khusus Presiden Andi Arief dan Denny Indrayana, gencar mengaitkan Hadi dengan Misbakhun, politikus Partai Keadilan Sejahtera.

Misbakhun disorot karena perusahaannya, PT Selalang Prima International, merupakan salah satu debitor Bank Century. Kebetulan pula pria asal Pasuruan, Jawa Timur, itu mantan pegawai pajak. Ketika mengundurkan diri pada 2005, Misbakhun adalah sekretaris Hadi Poernomo. Meski begitu, relasi khusus antara Hadi dan Misbakhun tak pernah bisa dibuktikan. Hadi selalu enggan menanggapi pertanyaan wartawan soal ini.

Akhir tahun lalu, Bank Century—yang kini beralih nama menjadi Bank Mutiara—kembali jadi kepala berita. Pasalnya, bank ini lagi-lagi disuntik dana talangan dari Lembaga Penjamin Simpanan sebesar Rp 1,25 triliun. Tak banyak yang tahu bahwa salah satu alasan di balik merosotnya rasio kecukupan modal (CAR) Mutiara adalah Selalang Prima terlambat membayar angsuran pinjamannya.

"Ada perusahaan Misbakhun di situ, ada perusahaan Tantular, ada beberapa perusahaan lagi. Nah, ini perlu diselidiki juga penyebab-penyebab hancurnya Bank Mutiara," ujar pengamat ekonomi Faisal Basri, Desember tahun lalu. Misbakhun dalam sejumlah kesempatan menyangkal ada kejanggalan dalam pengucuran kredit yang diterima Selalang.

Yang menarik adalah reaksi Hadi Poernomo. Senin pekan lalu, Hadi mengumumkan temuan terbaru BPK soal dana talangan Bank Mutiara itu. "Setidaknya ada empat temuan pemeriksaan yang mengindikasikan dugaan pelanggaran," katanya. Hadi mendesak DPR mempertanyakan keabsahan penyelamatan bank tersebut.

Beberapa jam setelah pengumuman temuan itu, Hadi dinyatakan sebagai tersangka. Seperti kabar pemberhentiannya dari Dirjen Pajak dulu, berita buruk ini diterima Hadi tepat pada hari ulang tahunnya.

Sandy Indra Pratama, Angga Sukma Wijaya, Martha Ruth Thertina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus