Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saling Silang Kredit Macet

Koreksi atas neraca laba-rugi BCA 1999 berpotensi mendatangkan penerimaan pajak penghasilan. Hadi Poernomo menganulirnya.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki ruang konferensi pers, Jahja Setiaatmadja mengumbar senyum kepada ratusan wartawan yang membeludak di lantai 22 Menara BCA, Jakarta, Selasa pekan lalu. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk itu berbicara dengan wartawan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus pajak sehari sebelumnya.

Hadi, yang menjadi Direktur Jenderal Pajak pada 2001-2006, disangka menyalahgunakan kewenangan saat memerintahkan Direktur Pajak Penghasilan mengubah kesimpulan atas keberatan BCA pada 2004. Akibat intervensi itu, BCA lolos dari kewajiban membayar pajak kepada negara pada 2003. "Di situlah peran Dirjen Pajak," kata Ketua KPK Abraham Samad.

Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan skandal pajak itu berawal dari kerugian BCA pada 1998 yang mencapai Rp 29,2 triliun. Dari kerugian itu, sebesar Rp 28,8 triliun dapat dikompensasi dengan laba BCA maksimal lima tahun yang berakhir pada 2003. Artinya, BCA tak perlu membayar pajak penghasilan selama kerugian itu belum ditutup laba. Sebaliknya, BCA harus membayar pajak jika kerugian sudah habis terkompensasi kendati belum lima tahun.

Pada 1999, BCA mengklaim untung Rp 174 miliar. Masalah datang ketika pada 2002 pemeriksa pajak mengoreksi kerugian BCA pada 1998 menjadi Rp 17 triliun dan laba pada 1999 menjadi Rp 6,78 triliun. Pemeriksa pajak menganggap penghapusbukuan terhadap kredit macet yang dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebesar Rp 5,58 triliun tak bisa dipakai untuk mengurangi kerugian.

BCA kemudian mengajukan keberatan pada Juni 2013. Konsultan pajak BCA, Hary Mulyanto, mengatakan kliennya keberatan kredit macet itu dimasukkan ke laba. Menurut Hary, piutang macet itu tidak layak disebut penghasilan karena BCA telah menjualnya ke BPPN sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. "Ini pengalihan hak tagih, bukan penghapusbukuan," ujar Hary.

Dalam perjalanan menelaah keberatan BCA, pemeriksa pajak menemukan laba rekapitalisasi Rp 10,7 triliun. Temuan ini semakin menggandakan laba BCA pada 1999 menjadi Rp 17,5 triliun. Dengan skenario laba jumbo itu, pada 2003 BCA terhitung mengantongi laba-setelah dikurangi kompensasi kerugian-sebesar Rp 1,28 triliun.

Sehari menjelang jatuh tempo jawaban terhadap keberatan BCA, Direktur Pajak Penghasilan Sumihar Petrus Tambunan menyiapkan draf penolakan keberatan kepada Hadi. Di luar dugaan, bukannya menguatkan temuan anak buahnya, Hadi malah menyodorkan nota dinas yang isinya berkebalikan.

Hadi memerintahkan pembatalan semua koreksi pajak alias menerima semua keberatan BCA. Anehnya, Bank BII dan Danamon, yang menghadapi perkara serupa dan mengajukan keberatan, mendapat perlakuan sebaliknya. "Permohonan bank lain ditolak," kata Samad.

Dampak terbitnya nota dinas Hadi, laba BCA pada 1999 menjadi Rp 1,01 triliun. Dengan skenario itu, pada 2003 BCA masih bebas pajak. Bandingkan jika laba merujuk pada penolakan keberatan BCA. Dengan skenario itu, BCA seharusnya sudah membayar pajak senilai Rp 386 miliar pada 2003 dari laba sebesar Rp 1,28 triliun. KPK menghitung kerugian negara sebesar Rp 375 miliar.

Sumber Tempo menilai ada keanehan dalam pembebanan pajak kredit macet kepada BCA. Dalam proses pemulihan (recovery) atas piutang macet sebesar Rp 5,58 triliun itu, BPPN berhasil mengantongi Rp 3,2 triliun. "Pemerintah yang terima duit, tapi kenapa BCA yang harus membayar pajaknya?" katanya.

Pengamat pajak Justinus Prastowo mengatakan inti polemik bermuara pada penafsiran piutang macet BCA itu. Dia menilai perbedaan pendapat ini akan berakhir jika KPK mengantongi bukti ada aliran dana suap yang mendorong dikabulkannya keberatan BCA. "Kalau ada, segera umumkan, jangan ditahan-tahan," ujarnya.

Akbar Tri Kurniawan, Martha Thertina, Angga Sukma Wijaya


Skenario Pajak BCA

Laba/Rugi BCANota Dinas Hadi Poernomo
(Rp triliun)
Tanpa Nota Dinas
(Rp triliun)
Rugi 199828,8028,80
Revaluasi aktiva tetap 19991,041,04
Rugi 1998 terkompensasi(27,76)(27,76)
Laba 19991,0117,53
Sisa rugi terkompensasi(26,75)(10,23)
Laba 20001,581,58
Sisa rugi terkompensasi(25,17)(8,65)
Laba 20013,693,69
Sisa rugi terkompensasi(21,48)(4,94)
Laba 20022,792,79
Sisa rugi terkompensasi(18,69)(2,15)
Laba 20033,453,45
Sisa rugi terkompensasi(15,24)1,30 (pembulatan)
PPh terutang0Rp 386 miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus