Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Jeda di Jalan Cemara

"Kamu mesti bikin galeri," kata Mochtar Apin kepada Toeti Heraty. Dua pekan lalu, galeri yang sudah berusia sekitar 20 tahun itu diresmikan menjadi museum seni rupa pribadi. Beberapa koleksinya mengagetkan: lukisan kaca Hendra Gunawan dan sketsa Roelijati.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambaran tentang kolektor karya seni rupa Indonesia adalah mereka yang berlebih harta, yang katakanlah bisa dengan ringan membelanjakan puluhan miliar rupiah untuk "hanya" sebuah "barang" yang terbuat dari kanvas dan cat atau logam dan kayu. Biasanya mereka eksekutif top perusahaan besar atau pengusaha sukses. Lalu bagaimana jika kolektor itu seorang guru besar yang sekaligus penyair, doktor filsafat, pengurus organisasi nonprofit, dan ibu rumah tangga?

Adalah Toeti Heraty Rooseno, 80 tahun, pendiri Galeri Cemara 6, Jakarta. Galeri yang dibuka pada 10 Desember 1993 itu pada Rabu dua pekan lalu diresmikan sebagai Cemara 6 Galeri-Museum. Ruang-ruang selain sebuah ruang untuk galeri di rumah tinggal dua lantai ini dinobatkan sebagai museum tempat menyimpan koleksi Toeti berupa lukisan (sebagian besar), beberapa patung, beberapa karya foto, dan sejumlah benda suvenir. Juga perpustakaan. Sebagai museum, ruang-ruang itu dinyatakan terbuka untuk khalayak. Masih ada lagi ruang pelengkap "bawaan" galeri: kantor, toko suvenir, kafe, dan homestay. Sudah barang tentu ada sebuah ruang pribadi untuk tempat tinggal si empunya.

Dibanding kolektor yang juga memuseumkan koleksinya—Oei Hong Djien di Magelang, misalnya, yang sengaja mengubah rumahnya menjadi museum, bahkan kemudian membangun museum jauh dari rumah—Toeti dengan sengaja tidak mengubah rumah tinggal menjadi ruang museum. Justru karena itu kita merasa akrab mengunjungi ruang ke ruang di Cemara 6 Galeri-Museum.

Ini memang koleksi seorang kolektor yang melihat karya seni rupa tidak dari harga (karena itu tak ada sebiji pun koleksi yang dibeli dari balai lelang). Juga tidak dengan sengaja mencari karya penting dari seorang perupa meskipun Toeti tentulah memahami sejarah seni rupa Indonesia, tapi dari selera pribadi dan pergaulan dengan senimannya.

Jauh sebelum Toeti mengagendakan dalam hidupnya bahwa salah satu kegiatannya adalah mengoleksi karya seni rupa, ada sebuah pertemuan di kapal dalam perjalanan Belanda-Indonesia, akhir 1950-an. Toeti pulang dari belajar psikologi di Universitas Kota Amsterdam dan suaminya belajar biologi. Mereka bertemu dengan Mochtar Apin, perupa yang sejak pertengahan 1950-an berkelana di Eropa: belajar seni rupa di Paris dan kemudian di Berlin sambil berpameran di sana-sini. Perkenalan ini berlanjut menjadi persahabatan bukan hanya karena mereka tinggal di Bandung, suami Toeti juga mengajar di Institut Teknologi Bandung sebagaimana Mochtar Apin. Suatu hari Apin menghadiahi Toeti sebuah lukisan berjudul Perahu, yang bergaya kubistis. Mereka berpisah karena Toeti pindah dan tinggal di Jakarta pada pertengahan 1966.

Di Jakarta inilah minat Toeti pada seni tumbuh, katanya karena "pergaulan dengan seniman", terutama pelukis dan sastrawan. Puisi-puisi Toeti dimuat di majalah sastra Horison dan mendapat ulasan dari sastrawan Soebagio Sastrowardoyo "yang membuat bangga". Bukan hanya itu. Jakarta kala itu memang sedang kreatif: Gubernur Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki serta membentuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Toeti menjadi anggota DKJ beberapa kali, sambil terus berpuisi dan sesekali mengoleksi lukisan (membeli dengan harga persahabatan atau mendapat hadiah langsung dari perupanya). Syahdan, suatu hari, kata Mochtar Apin kepada Toeti, "Kamu mesti bikin galeri."

Rupanya, kata-kata perupa yang karyanya menjadi koleksi pertama Toeti itu begitu melekat. Beberapa lama kemudian, persisnya pada 10 Desember 1993, diresmikanlah Galeri Cemara 6, mengambil ruang depan rumah pribadi Toeti. Segera ­Toeti tahu bahwa menyelenggarakan pameran memerlukan biaya tak sedikit. Jadi, agar galeri tak sepi karena jarangnya pameran, dibuatlah acara-acara lain: diskusi budaya, pembacaan sastra, dan konser musik. Pun Toeti—karena keterbatasan dana—tak leluasa mengoleksi karya seni rupa lantaran, beberapa tahun setelah galerinya berdiri, harga karya seni rupa Indonesia melejit begitu mahal.

Itu sebabnya hampir tak ada karya "kontemporer" dalam koleksi Toeti. Padahal dia salah satu pendukung Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975), yang membukakan pintu untuk lahirnya perupa kontemporer kita. "Pada waktu itu harga karya-karya perupa muda sudah sangat mahal," tutur Toeti. Ia, katanya, bisa mempunyai lukisan Affandi karena boleh mengangsur sepuluh kali dan dengan harga persahabatan. "Lukisan Bambu Kuning itu menarik saya karena warna-warnanya berbeda dengan umumnya lukisan Affandi," begitu Toeti menjelaskan kenapa ia ingin mengo­leksi lukisan tersebut. Dan sebuah lukisan Kartika Affandi, hitam-putih, ia peroleh secara barter. Suatu hari Kartika, yang menginap di homestay Cemara 6 ketika berpameran di Taman Ismail Marzuki, hendak pulang, tapi tak sebiji pun lukisannya ada yang membeli. Ia meninggalkan satu lukisan untuk Toeti dengan imbalan sekadar "ongkos pulang ke Yogya".

Tapi, sengaja atau tidak, dalam koleksi Toeti ada dua lukisan Entang Wiharso dari tahun 1995, kala salah satu perupa "kontemporer" kita yang kini menginternasional itu harga karyanya belum mahal benar. Namun, menurut saya, koleksi Toeti tak bisa dibilang "asal ada". Selera seorang penyair yang termasuk "diperhitungkan", pengalaman melihat berbagai museum di Eropa, serta pergaulannya dengan para perupa pembentuk sejarah seni rupa modern Indonesia menjadi semacam acuan untuk memilih bukan sembarang karya. Mungkin beberapa nama bukan seniman yang karyanya diburu kolektor karena harganya yang top. Sebut, misalnya, Agus Kemas (lahir 1945), pelukis kubistis dari Akademi Seni Rupa Surabaya. Dalam koleksi Toeti, karya Agus, menurut saya, termasuk karya terbaiknya.

Lalu mereka yang peduli pada sejarah seni rupa kita tentunya akan senang bertemu dengan sketsa Roelijati, dua orang perempuan duduk yang bertahun 1961. Sketsa merupakan jenis karya yang dinilai bukan sekadar untuk persiapan melukis, melainkan sebagai karya jadi, senilai lukisan. Pemikiran ini dilontarkan pelukis yang juga kritikus, Kusnadi, pada awal 1950-an di Yogya. Kalau lukisan bak orkestra, sketsa itu gesekan biola tunggal, kata Kusnadi. Juga ada karya yang jarang dari Hendra Gunawan: lukisan kaca. Judul lukisan itu Mengobrol (Ti­tle-tatle) dan bertahun 1950.

Walhasil, berkeliling di dua lantai Cemara 6 Galeri-Museum serasa beristirahat sejenak dari kesibukan Jakarta. Jangan berharap Anda disuguhi lukisan-lukisan yang disusun sedemikian rupa hingga menggambarkan suatu perkembangan seni rupa kita, misalnya. Atau Anda menemukan karya-karya yang sejauh ini dianggap penting dan populer di dunia seni rupa kita. Pun Anda tak akan "menikmati" suatu cara peletakan karya sedemikian rupa hingga detailnya terlihat dan secara keseluruhan enak dilihat.

Demikianlah, museum ini sebuah rumah yang dibiarkan apa adanya, dengan pengaturan yang sederhana tapi masuk akal. Misalnya ada "Ruang Salim" (1908-2008), pelukis Indonesia yang bermukim di Paris. Ada "ruang konsinyasi" (boleh dibeli bila ada yang berminat) yang diisi terutama oleh lukisan-lukisan Semsar Siahaan (1952-2005), perupa yang dikenal dengan karya komentar sosialnya dan semasa mahasiswa membuat gara-gara karena membakar sebuah patung dosennya. Lalu ada "ruang feminis", khusus karya-karya perupa perempuan. Di sini tak hanya ada karya "profesional", misalnya lukisan Umi Dachlan, tapi juga ada karya "pelukis waktu senggang", contohnya lukisan Ratmini Soedjatmoko dan lukisan cat air Timur Bjerknes.

Namun justru karena itu saya merasa menemukan jeda, "berdialog" santai dan senang terhadap karya-karya itu. Apa lagi kejutan bisa terjadi di sudut sana dan sini. Seperti tiba-tiba kita "menemukan" lukisan kaca Hendra Gunawan atau sketsa Roelijati seperti sudah disebutkan. Yang lain, di sinilah rupanya tersimpan salah satu karya Srihadi Soedarsono periode "komentar sosialnya", awal 1970-an, Raden Saleh dengan Seragam Baru, sebuah kritik terhadap kebebasan kreativitas kala itu. Lalu sebuah karya Basoeki Abdullah yang belum berkecenderungan memanis-maniskan model: Raden Ayu Oentari Rooseno, bertahun 1938. Ini potret Nyonya Rooseno, ibu Toeti. Di sini pula ada lukisan Basoeki Abdullah (1915-1993) sebelum meninggal—satu-satunya lukisan abstrak dari pelukis yang dikenal dengan lukisan model-model telanjang ini. Judulnya Blood and Sand. "Saya tak tahu apa yang terjadi pada Basoeki sebelum ia meninggal. Kenapa mendadak ia melukis abstrak seperti itu. Mungkin itu sebuah isyarat tentang kematian," ujar Toeti.

Sementara Rooseno, ayah Toeti, mempercayai Basoeki Abdullah untuk melukis istrinya, Toeti Heraty memilih S. Sudjojono untuk melukis dia dan dua anaknya. Waktu itu, 1971, Toeti mendapat kesempatan belajar ke Belanda lagi dan ia tak mungkin membawa keempat anaknya yang masih kecil. Ia hanya membawa kedua anak kembarnya, sedangkan anak pertama dan kedua ditinggalkan bersama kakek dan neneknya di Jakarta. Untuk pengobat rindu, ia meminta Sudjojono melukis mereka bertiga, dan lukisan itu selama tiga tahun menemani Toeti yang belajar filsafat di Belanda. Di Cemara 6, lukisan ini digantung di samping lukisan hitam-putih Kartika.

Memang Cemara 6 Galeri-Museum belum siap benar, misalnya belum ada katalog yang menceritakan kisah pengoleksian ini, riwayat singkat tiap lukisan, dan biografi tiap perupa. Ini tentulah tugas dewan pengelola museum, yang antara lain ada nama Chandra Johan; pelukis; dan kurator Galeri Cemara 6. Termasuk tugas dewan adalah menjaga agar museum yang dibiayai oleh perusahaan keluarga ini tak kecolongan—mengoleksi karya yang tidak autentik—di masa pemalsuan lukisan sudah terkesan sebagai kerja mafia.

Bambang Bujono, Pengamat Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus