Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2004 hingga 2014, tercatat 41 kasus penggusuran terjadi di berbagai tempat di dalam Kota Makassar. Sebanyak 6.000 orang kehilangan tempat tinggal serta 3.500 jiwa lainnya terancam hal yang sama."
Kalimat berwarna putih dengan latar hitam itu muncul di layar selama sekitar lima detik. Lalu digantikan dengan kerumunan orang. Belasan polisi melindungi diri dengan tameng. Mereka menangkis amukan warga yang menyerang dengan kayu, batu, dan tendangan.
Bentrokan itu terjadi di sebuah jalan raya, satu waktu pada 2010. Warga setempat melawan ketika polisi bersenjata lengkap datang untuk mengeksekusi lahan. Sebelumnya, pengadilan telah memenangkan seseorang yang menggugat kepemilikan atas tanah yang ditempati warga.
Pada gambar lainnya, beberapa rumah kayu berdiri berdampingan di kawasan pesisir pantai. Tempat itu, diceritakan, entah kapan, segera diratakan pemerintah untuk sebuah proyek pembangunan. Dua puluh tahun lebih warga menempati tempat itu, tapi oleh pemerintah dan pengusaha akan dihilangkan.
Cuplikan itu muncul satu per satu dalam film berjudul Menolak Tergusur. Ini merupakan sebuah film dokumenter dari Solidaritas Anti-Penggusuran. Selama 45 menit, jalinan gambar dan suara mengungkap kisah-kisah orang yang tergusur dari tempat tinggalnya. Juga, kehidupan warga setelah "dipaksa" pergi dari tanahnya.
Film Menolak Tergusur mengisahkan dua lokasi penggusuran di Makassar, yakni di Jalan Pandang Raya, Kecamatan Panakkukang, dan pesisir Buloa, di Kecamatan Tallo. Keduanya termasuk kawasan target penggusuran. Namun, di dua tempat itu, usaha penggusuran oleh aparat selalu gagal. Warga setempat melawan. Mereka merasa berhak atas tanah yang mereka tinggali secara turun-temurun.
Dalam salah satu adegan film, warga Pandang Raya bernama Andi Pawellangi duduk di teras rumah panggungnya. Ia bercerita soal penggusuran. "Kenapa kami ditindas?" ia bertanya. Ia dan kebanyakan warga tinggal di sana sejak 1980-an, punya KTP, serta menyimpan sertifikat tanah yang legal. Ia sadar Pandang Raya merupakan daerah strategis. Di sekitarnya, kini berdiri beberapa hotel dan pusat bisnis.
Warga Buloa juga kebagian giliran bercerita. Haji Ramli, salah satunya, mengatakan ia bersama sekitar 40 keluarga sejak lama berdiam di sana. Mereka kebanyakan berprofesi nelayan. Dulu, semua rumah di Buloa berdiri di atas air laut. Tapi sekarang sudah lebih banyak yang didirikan di darat setelah tempat itu ditimbun dengan tanah kerukan pelabuhan.
Film ini tidak hanya berisi kehidupan dan pandangan korban penggusuran serta mereka yang terancam. Solidaritas Anti-Penggusuran juga menghadirkan beberapa narasumber dari kalangan berbeda. Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Haswadi, menganggap penggusuran selama ini terjadi bukan karena sengketa. Hal ini terjadi karena ulah sejumlah oknum yang memaksa masuk ke dalam tanah tempat tinggal warga.
Penulis M. Aan Mansyur juga dihadirkan. Ia menilai alasan penggusuran selama ini sering kali absurd. Pemerintah, contohnya, menggusur warga untuk mempercantik kota agar bisa mendapatkan piala Adipura. "Padahal, Adipura itu prestasi pemerintah, bukan prestasi kita. Adipura tidak bisa digunakan untuk kasih makan warga."
Penggusuran harus dilawan, kata dosen sosiologi Universitas Islam Negeri Makassar, M. Ridha. "Kalau di pengadilan, hasilnya satu. Pasti kalah." Ridha melihat perjuangan untuk menolak penggusuran kini masih bersifat sektoral, orang-orangnya belum bersatu.
Viktor, salah seorang pegiat Solidaritas Anti-Penggusuran, mengatakan film Menolak Tergusur adalah sebuah upaya perlawanan terhadap penggusuran. Pembangunan makin marak di Makassar. Tapi ternyata di balik pembangunan itu ada masalah. Pembangunan banyak mengorbankan warga.
Film Menolak Tergusur diputar lewat roadshow di beberapa kampus di Makassar sejak 21 April lalu. Diawali di Universitas Negeri Makassar, film itu kemudian dibawa ke Universitas Muhammadiyah, Universitas Hasanuddin, serta STMIK Dipanegara. Senin, 28 April, roadshow berakhir di kampus Universitas Islam Negeri Samata, Gowa.
Menolak Tergusur sengaja diputar di kampus-kampus untuk membuka mata mahasiswa. "Mahasiswa yang mayoritas orang daerah selalu bangga dengan pembangunan. Kami mau memperlihatkan tentang tanah-tanah warga yang tergusur," kata Viktor.
Film ini dikerjakan beramai-ramai oleh sejumlah pegiat Solidaritas Anti-Penggusuran sejak November 2013. Film ini diharapkan bisa membuat mahasiswa tergerak untuk melakukan perjuangan bersama, menolak penggusuran. l AAN PRANATA
AGENDA KOMUNITAS
Art and Craft ExhibitionMother. Daughter. Sister. An Endless Conversation
Pameran Seni Rupa "Comrose"
Seminar Nasional Kesusastraan
Pemutaran Film "Menolak Tergusur"
Musyawarah Ikatan Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Makassar
Lomba Mewarnai Tingkat TK dan SD"Menabung Budaya Menabung"
Diklat Jurnalistik Tingkat Lanjut LPPM Profesi UNM
Infokan agenda kampus, budaya, dan kegiatan komunitas Anda ke nomor ponsel 0813-5536-9005 atau alamat surel [email protected].
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo