Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

<font color=#FF9900>Sejumlah Tindakan</font> dan Cermin

Dia melegalkan perjudian. Pajak yang ditarik dari sana digunakannya untuk membangun Jakarta. Dia juga membangun Taman Ismail Marzuki agar para seniman bisa berkarya. Untuk para aktivis hukum pembela rakyat jelata, dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum—sebuah cermin tempatnya berkaca bila membuat kesalahan. Bang Ali penuh kontroversi, juga success story. Ia populer, tapi berani untuk tidak populer. Selamat jalan, Bang Ali.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, Desember 2007. Di kediamannya di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat, sejak pagi buta mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin sudah menyisir rambutnya. Hari itu ia kedatangan tamu istimewa: mantan presiden Soeharto. Ketika sang tamu datang, kedua seteru seperti telah meninggalkan rasa canggung. Tertatih-tatih mendekat lalu menyalami tuan rumah dengan hangat, Soeharto menyodorkan oleh-oleh sekantong jeruk. ”Ini saya petik sendiri dari kebun buah Mekarsari,” kata sang tamu.

Tak satu pun yang tahu, apa yang kemudian dibicarakan kedua lelaki sepuh itu. Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Soeharto, dan Sweden, ajudan Soeharto yang setia, memilih menjauh dari keduanya. Kerabat dan sekretaris Ali pun berbuat sama. ”Mereka duduk ngobrol berdua saja,” tutur Mia Ustawati, sekretaris pribadi Ali.

Memang ini bukan pertemuan pertama antara Ali Sadikin dan Soeharto sejak Petisi 50 ditandatangani 28 tahun lalu. Sebelumnya, beberapa kali Ali diam-diam menengok Soeharto di kediamannya di Cendana, ketika bekas presiden yang memerintah selama 32 tahun itu jatuh sakit. Namun itulah untuk pertama kalinya Soeharto menginjakkan kaki ke Borobudur 2, ”markas besar” Petisi 50. Sebulan setelah pertemuan bersejarah itu, Soeharto meninggal. Empat bulan kemudian, di usia 82 tahun, Ali Sadikin menyusul.

l l l

KIPRAH Bang Ali dalam gerakan demokrasi di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum 5 Mei 1980—ketika dia menandatangani pernyataan keprihatinan yang kemudian dikenal dengan sebutan Petisi 50. Ia adalah tokoh di balik berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, lembaga yang pada masanya banyak membela korban kekerasan Orde Baru.

Namun, harus diakui, peran Ali Sadikin dalam Kelompok Kerja Petisi 50-lah yang menjadi jangkar dari seluruh kiprah politiknya. Posisinya sebagai primus inter pares di antara 50 tokoh penanda tangan petisi itu membuatnya menjadi bagian penting dalam pengungkapan tragedi Tanjung Priok 1984, untuk menyebut satu di antaranya. Ketika itu, seorang saksi kunci tragedi itu disembunyikan di rumah Ali Sadikin.

Konsistensi Ali Sadikin menyelenggarakan pertemuan Petisi 50 setiap Selasa di kediamannya juga membuka jalan bagi munculnya beberapa kelompok oposisi di era Orde Baru. Sebut saja Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat yang diprakarsai Deliar Noer, Abdul Madjid, dan H.R. Dharsono pada 1992. Juga kelompok-kelompok pemuda dan mahasiswa yang mendapat dukungan moral dari Ali Sadikin dan Petisi 50. ”Dia merasa bertanggung jawab menjaga kami, aktivis yang lebih muda,” kata Sri Bintang Pamungkas, aktivis politik yang pernah dipenjara karena dituduh menghina Soeharto.

Semua tindakan itu dibayar mahal oleh Ali Sadikin. Dia dicekal, tidak boleh ke luar negeri. ”Juga tidak boleh hadir di acara-acara sosial,” kata sahabatnya, Chris Siner Key Timu. Semua ucapan dan pemikiran politiknya tidak sekali pun boleh muncul di media massa. Tak hanya berlaku untuk Ali seorang, anak-anaknya pun ikut terseret. Semua nadi kehidupan Ali dan keluarganya dipotong. Orde Baru secara perdata membunuh Ali Sadikin—figur yang menurut mantan Menteri Sekretaris Negara Marsillam Simandjuntak, ”Pantas menjadi Presiden.”

l l l

PADA tahun-tahun awal ia meninggalkan posisi Gubernur Jakarta, Ali Sadikin dengan lantang menentang rezim Orde Baru. Pada Mei 1978, ketika budayawan W.S. Rendra ditangkap tentara setelah membaca puisi di pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, Ali Sadikin meradang hebat. Ketika itu Rendra diseret ke rumah tahanan polisi militer di Guntur, Jakarta Pusat, dan disiksa. ”Saya dipaksa makan kotoran manusia,” kata Rendra, mengingat masa lalunya.

Kabar tentang penyiksaan Rendra disampaikan advokat Adnan Buyung Nasution kepada Ali Sadikin pada tengah malam. Tanpa ba-bi-bu, Ali mengajak Buyung ke rumah Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban ketika itu, Laksamana Sudomo, yang letaknya hanya sepelemparan batu dari rumah Ali.

Saking marahnya, Ali ketika itu lupa bahwa ia mendatangi Sudomo dengan hanya mengenakan piyama. ”Saya melihat sendiri, Bang Ali mendamprat Sudomo,” kata Buyung mengenang. Ali minta Rendra dikeluarkan saat itu juga.

”Baik. Besok saya selesaikan,” kata Sudomo. ”Tidak ada besok-besok. Sekarang juga kau telepon Guntur,” kata Ali ketus. Malam itu juga, kata Rendra, penyiksaan dihentikan sama sekali. Keesokan harinya, dia dipindahkan ke sel lain, tidak lagi bercampur dengan tahanan kasus kriminal.

l l l

PETISI 50 diprakarsai oleh dua kelompok: Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang berdiri pada Juni 1978, serta Forum Studi dan Komunikasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Di lembaga pertama, ada tokoh seperti Mohammad Hatta, Jenderal Abdul Harris Nasution, Akhmad Subarjo, Jenderal Hoegeng Iman Santosa, Sabam Sirait, Mochtar Lubis, Chris Siner Key Timu, dan Marsillam Simandjuntak. Kelompok kedua dipimpin Mayor Jenderal Achmad Soekendro, Jenderal A.Y. Mokoginta, dan sederet purnawirawan jenderal.

Pernyataan keprihatinan kedua kelompok ini dipicu oleh pidato tanpa teks Soeharto dalam pembukaan Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, 27 Maret 1980. Pidato itu disusul sambutan tanpa teks bernada serupa dalam peringatan hari jadi ke-28 Komado Pasukan Sandhi Yudha (sekarang Korps Pasukan Khusus) di Cijantung, Jakarta, 17 April 1980.

Dalam kedua pidato tersebut, Soeharto mengajak semua prajurit Angkatan Bersenjata untuk melawan usaha mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di Pekanbaru, dia menegaskan, ”Daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga (anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang ingin mengadakan perubahan.”

Pada awal Mei 1980, Forum Studi menggelar rapat di Gedung Veteran, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itulah, enam butir pernyataan keprihatinan dirumuskan. Butir kedua pernyataan itu tegas dan menohok, ”Pidato Presiden telah menyalahtafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik.”

Ali Sadikin hadir dalam rapat-rapat perumusan pernyataan. ”Waktu itu yang datang hanya sekitar 20 orang,” kata Ali kepada Tempo pada 1994. ”Saya tidak berpikir yang tidak-tidak. Saya tidak berpikir ini akan menimbulkan kepekaan. Kami anggap kondisinya sama-sama berjuang: Republik ini milik kita semua.”

Sekretaris Ali, Andi Mappetahang Fatwa—sekarang Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat—lalu mengumpulkan tanda tangan. Sejumlah nama besar seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, Manai Sophiaan, dan S.K. Trimurti ikut meneken.

Bisa diduga, reaksi Soeharto amat keras. Para penanda tangan Petisi dianggap pembangkang dan musuh pemerintah. Mereka yang berstatus pegawai negeri kehilangan pekerjaan. Ali Sadikin, yang saat itu Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, terpaksa mundur.

Sejak itulah, Ali memberikan seluruh waktu dan tenaganya untuk Petisi 50. Dia menggagas Kelompok Kerja Petisi 50, yang mengurusi aspek teknis: menyelenggarakan diskusi, seminar, dan menerbitkan buletin khusus. Dengan uang pribadinya, Ali menyewa ruangan di lantai 30 Gedung Ratu Plaza sebagai sekretariat Kelompok Kerja Petisi 50.

Menurut Chris Siner Key Timu, empat kali sepekan Petisi 50 berkumpul. Setiap Selasa, selalu ada pertemuan pleno di rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur. Hari Kamis Kelompok Kerja Petisi selalu bertemu di Ratu Plaza. Sabtunya, kelompok ”dapur” yang terdiri dari Chris Siner, Slamet Bratanata, Wachdiat Sukardi, dan Dody Suriadiredja berkumpul untuk merumuskan kesimpulan rapat pleno di rumah Bratanata di Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. Rumusan kesimpulan itu yang dibawa lagi ke rapat pleno untuk mendapat persetujuan. ”Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun itu, kami menghasilkan dokumen pernyataan sikap setebal lebih dari 600 halaman,” kata Chris.

Sejak 1983, Kelompok Kerja juga menerbitkan buletin bertajuk Forum Komunikasi Nasional, yang diedarkan ke daerah-daerah. Buletin 10 halaman yang dicetak 500 eksemplar ini biasanya berisi artikel yang ditulis tokoh Petisi 50 seperti Mohamad Natsir dan Frans Seda. Sejak 1989, buletin itu menipis jadi hanya selembar meski isinya tetap kritis. Pada edisi Juni 1989, misalnya, Ali Sadikin menulis soal pentingnya mempersiapkan pembaruan sistem politik nasional sebagai landasan suksesi kepemimpinan Soeharto.

l l l

TAK ada gading yang tak retak. Kunjungan Ali Sadikin ke PT PAL di Surabaya dan Industri Pesawat Terbang Nusantara di Bandung pada 1993 dikritik banyak orang sebagai tanda melunaknya posisi politik Ali. ”Sepulangnya dari Surabaya, Bang Ali dikirimi celana dalam oleh aktivis mahasiswa Bandung,” kata Chris Siner tersenyum.

Namun Ali tak peduli. Dia membuktikan sikap politiknya tak pernah bergeser. Adnan Buyung punya satu cerita menarik tentang hal ini. Dalam sebuah rapat koordinasi gubernur se-Indonesia di Departemen Dalam Negeri, Menteri Dalam Negeri ketika itu, Amir Machmud, menyindir Ali Sadikin yang juga hadir di sana.

”Para gubernur sekalian, jangan kalian meniru Ali Sadikin. Gara-gara mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, sekarang dia kerepotan sendiri,” kata Amir Machmud seperti ditirukan Buyung. Ketika itu Ali memang menghadapi lebih dari 200 gugatan dari LBH akibat kebijakan penggusurannya di seantero Jakarta.

Apa komentar Ali Sadikin? Dia tersenyum lalu berujar pendek, ”Saya manusia, bisa bikin kesalahan. Peran LBH itu seperti cermin. Mereka bisa menggugat saya kapan pun saya bikin salah.”

Wahyu Dhyatmika, Yugha Erlangga, Rina Widiastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus