Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Pisang Ambon dan Satu Rukun

Korting syariat merupakan salah satu daya tarik munculnya aliran sesat. Ada yang yakin, munculnya sebuah aliran baru sebagai isyarat munculnya sebuah gerakan politik.

5 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERLIP dila lilit jojor. Obor kecil terbuat dari lilitan getah jarak dan kapuk di sebatang bambu itu menerangi ruangan tengah Masjid Bayan Beliq. Di masjid kuno berusia ratusan tahun yang terletak di Desa Bayan, 80 kilometer di utara Mataram itu, cahayanya bertebaran di seantero ruangan. Pemandangan yang istimewa. Dan mihrab kayu dengan ukiran kepala naga yang terdapat di bagian depan ruangan berukuran 10x10 meter hanya menangkap sejumput cahaya yang membuatnya terlihat magis.

Empat tiang kayu bulat besar penyangga atap masjid seakan berdiri kesepian. Memang masjid ini tak pernah benar-benar sesak jemaah. Pertama, karena pintu Bayan Beliq hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu. Kedua, yang berhak mengerjakan salat di tempat itu hanyalah para kiai kagungan berikut profesi turunannya, yang dalam bahasa Lombok dikenal sebagai kiai pengulu, kiai ketip, kiai lebe, kiai modin, kiai raden, dan kiai santri. Masyarakat umum? ”Mereka hanya bisa menyampaikan sedekah,” ujar Raden Anggria Kusuma alias Raden Sundadria, 64 tahun, Pemangku Agung Adat Wetu Telu, kepada Tempo. Masyarakat pun terbebas dari keharusan menjalankan syariat Islam lain seperti berpuasa.

Wetu Telu, atau Waktu Tiga, adalah Islam dalam pemahaman Sundadria dan pengikutnya. ”Wetu Telu itu berarti Allah, Adam, dan Muhammad,” ujarnya. Namun ia menampik kabar yang beredar bahwa kelompok Wetu Telu hanya melakukan salat tiga waktu, bukan lima seperti ajaran Islam. Selain itu, ”Siapa pun bisa salat di masjid kuno, bukan hanya para penghulu dan kiai,” ujar Sundadria. Uniknya, sang pemangku adat sendiri mengaku lebih senang salat di masjid kampung ketimbang di Bayan Beliq.

Kiai dalam Wetu Telu berbeda dengan tuan guru yang mengacu pada pemahaman umum tentang seorang ahli agama. ”Seseorang menjadi kiai karena ia keturunan kiai. Kalau leluhurnya tidak ada yang menjadi kiai, meskipun ilmunya banyak, tidak bisa disebut kiai,” tutur Raden Gedarip, 67 tahun, salah seorang pemangku adat lain. Hanya, untuk menjadi Kiai Kagungan—jabatan tertinggi dalam hierarki kiai Wetu Telu yang dipegang selama lima tahun sebelum masa pemilihan berikutnya—ia mutlak harus bisa membaca Al-Quran yang ditulis tangan (bukan mesin cetak) oleh leluhur komunitas Wetu Telu.

Djalaludin Arzaki, Ketua Yayasan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata Nusa Tenggara Barat, yang pernah meneliti kelompok ini selama tiga tahun pada 1960-an, tak ragu menyebut, ”Ini adalah agama tradisional yang diwariskan secara turun-temurun,” katanya.

Wetu Telu yang dianggap bagian dari tradisi lokal itu sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan mayoritas pemeluk Islam sunnah wal jamaah tanpa masalah. Tapi tak demikian halnya dengan yang dialami ”pendatang baru” Haur Koneng di Majalengka, Jawa Barat, pada 1993.

Aliran yang dikembangkan almarhum Abdul Manan ini—ia mati muda pada usia 27 tahun—terlibat kontak fisik yang juga menewaskan Kapolsek Bantarujeg, Majalengka, Serka Sri Ayem. Haur Koneng aliran kecil, pemeluknya hanya petani yang hidup di empat rumah di kaki Gunung Ciremai. Menurut kabar, Manan mengajari para pengikutnya memakai isim yang dipercaya bisa membuat diri mereka menghilang, kebal dari senjata tajam, dan mendatangkan banyak rezeki.

Dan segalanya mendadak berubah ketika cap sesat dilekatkan pada mereka. Aparat keamanan—termasuk anggota Sabhara, Brimob, sampai satu satuan tempur Yonif 321 Majalengka—sekonyong-konyong melakukan pengepungan, dan Abdul Manan beserta pengikutnya melawan dengan semua yang mereka miliki: golok, parang, dan sebagian besar bambu kuning. Darah telah tumpah, tapi belakangan tersiar lagi kabar, kisruh itu sejatinya hanyalah sengketa tanah seluas dua hektare yang dihuni Manan dan pengikutnya dengan kepala desa setempat. Konflik yang sudah berlangsung turun-temurun.

Ratusan aliran agama telah lahir di Indonesia modern ini, termasuk yang aneh. Dari Provinsi Banten, sekitar 30 tahun silam, pernah muncul Tarekat Hak Maliah yang dipimpin oleh Haji Mustafa. Ajarannya ganjil: ”Siapa yang bisa mengaji, harus belajar di kuburan.” Kuburan siapa? Inilah konyolnya. Kuburan yang dimaksud Mustafa tak lain sebuah liang untuk pisang ambon yang dianggap terbaik dari tandannya. Setelah dikafani layaknya orang mati, pisang itu ”dikuburkan” dalam sebuah liang yang dijadikan kubur keramat di Kampung Cikeujeup, Anyer.

Di makam itu, Mustafa mengaku bisa mendatangkan pelbagai roh, dari Soekarno sampai Pangeran Diponegoro. Mustafa juga mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa Nabi Muhammad dan Imam Syafi’i itu tidak pernah ada. ”Yang ada hanya 10 wali, dan seorang pangeran.” Siapa pangeran itu? Ya, pisang ambon tadi. Sama seperti penganut Wetu Telu, jemaah Hak Maliah juga hanya diperbolehkan menyetorkan ”sedekah”. Cuma, yang ini lumayan gawat: harus dalam bentuk 16 orang perawan untuk wak haji Mustafa.

Bentuk lain yang digemari aliran sempalan di Indonesia adalah korting ibadah. Misalnya urusan haji. Ini yang diajarkan R. Muhammad Mayo Mahmud Marzuki, yang lebih populer dengan sebutan Buya Mayo. Dari Pesantren Sindang Resmi di Cigondewah, Bandung, pusat ajaran sang Buya, keluar ”fatwa” bahwa ibadah haji tak bisa dilaksanakan di Mekah, melainkan harus berziarah ke Gunung Gedugan, Cililin, Bandung. Di tempat itulah, menurut Mayo, terletak makam Nabi Adam yang disebutnya ”Bapak”.

Anjuran sejenis dilakukan kelompok Bawakaraeng di Sulawesi Selatan. Bagi mereka, yang disebut berhaji adalah mendaki Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng, keduanya terletak di Sulawesi Selatan. Di pucuk gunung yang udaranya mengerkas tulang dengan suhu tiga derajat itu, jemaah Bawakaraeng melakukan salat dengan mengelilingi tumpukan batu yang dipercaya sebagai makam Tuanta Salamaka, tokoh Islam yang dikenal dunia luar sebagai Syekh Yusuf. Mereka percaya, Lompobattang adalah tempat Nabi Nuh bermukim setelah datangnya bah. Bahkan, Nabi Isa serta Muhammad juga dipercayai pernah tinggal di ”gunung suci” itu.

Korting syariat yang lebih dahsyat dilakukan oleh aliran Rifa’iyah, yang didirikan Achmad Rifa’i pada 1841—lebih tua dari Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 dan Nahdlatul Ulama pada 1926. Rifa’i mengajarkan bahwa rukun Islam hanya satu, bukan lima seperti selama ini dikenal. Cukup syahadat saja, dan empat sisanya—salat, puasa, zakat, dan haji—dilihat Rifa’i sebagai implikasi syahadat belaka. Lewat kitab Tarajumah dan Riayatul Himmah, yang dinyatakan dilarang pada 1982, ajaran yang mengklaim sebagai pengusung ahlussunnah wal jamaah pertama di Indonesia ini berkembang terutama lewat pesantren di pantai utara Jawa seperti Pati, Batang, Pekalongan, dan Cirebon. Disertasi Abdul Djamil, mantan Direktur Pascasarjana IAIN Wali Songo, yang meneliti ajaran ini selama 8 tahun di pelbagai pesantren, menyebutkan jumlah jemaah Rifa’iyah menjelang tahun 2000 yang mencapai 7 juta orang.

Daftar aliran dan kelompok sempalan di atas tentu masih bisa diperpanjang. Sosiolog Inggris Bryan Wilson pernah membuat tujuh tipologi tentang sebuah aliran sempalan. Dari conversionist (memusatkan perhatian pada perbaikan moral individu, membuat orang ”bertobat”), revolusioner (mengharapkan perubahan radikal dalam masyarakat), introversionist (mengharapkan perubahan radikal pada kelompok sendiri), manipulationist (tak peduli pada dunia sekitar seperti aliran kebatinan), thaumaturgical (mengkhususkan pada sistem pengobatan dan kekuatan paranormal secara umum), reformist (yang melihat reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama), dan utopian (kelompok yang berusaha menciptakan masyarakat ideal seperti Darul Arqam).

Namun Menteri Dalam Negeri Mardiyanto punya teori lain. Baginya, setiap kali sebuah gerakan (politik) akan muncul, selalu diawali dengan penyebaran aliran sesat. ”Semuanya sudah terbukti. Mulai dari kasus di Tanjung Mas sampai kasus NII Karanganyar (Jawa Tengah). Semuanya menunjukkan kecenderungan itu,” katanya dengan yakin semasa menjabat Panglima Kodam IV/Diponegoro, sepuluh tahun silam.

Akmal Nasery Basral, Supriyanto Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus