Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua bulan Ahmad Suprapto tak mendengar kabar tentang anaknya. Suatu hari datang sepucuk surat. Dalam suratnya, sang anak, Achriyani Yulvie, mengabarkan kepada orang tuanya di Karawang, Jawa Barat, bahwa dirinya tak lagi kuliah di Politeknik Universitas Padjadjaran Bandung, tapi pindah ke sebuah perguruan swasta. Perguruan swasta mana, tak ia sebut dalam suratnya. ”Yani berkirim surat pada 20 Oktober, tapi cap posnya 2 Oktober,” ujar Ahmad menyebutkan keganjilan surat anaknya.
Yani hilang setelah menjadi jemaah Quran Suci. Di Bandung, aliran ini banyak merekrut kalangan mahasiswa. Ajarannya, umat muslim cukup berpedoman pada Al-Quran. Nabi Muhammad tak perlu. Diajak rekannya, Yani yang masih duduk di semester dua itu terpikat Quran Suci.
Ahmad sendiri sudah menempuh berbagai cara untuk menemukan anak gadisnya. Lapor ke polisi dan menghubungi teman-teman dekat anaknya, semua sudah dilakukan. Hasilnya tetap nihil, sampai kemudian datang sepucuk surat itu. Kini, yang bisa harapkan, anaknya sadar dan kembali ke pangkuannya.
Perempuan muda lain yang dilaporkan hilang setelah ikut Quran Suci adalah Fitriyanti. Warga Desa Kiara Concong, Bandung, ini lenyap sejak 7 September silam. Sebelumnya, kepada orang tuanya, gadis 19 tahun ini pamit ikut pesantren kilat di Dago, Bandung. ”Dia tak bilang di mana alamat lengkap pesantren itu,” tutur Mulyana, ayah Fitri.
Pada pertengahan Oktober lalu, datang surat dari Fitri. Kendati tetap kebingungan lantaran tak tahu di mana anaknya berada, toh Mulyana agak lega. Setidaknya anaknya masih hidup. ”Dari tulisannya, saya yakin ini surat dari Fitri,” kata Eni Siti Hariani, ibu Fitri.
Walau polisi sudah mendapat laporan tentang aliran ini, di mana markas Quran Suci itu, aparat belum bisa menemukan. Polisi menduga para gadis itu diperdaya sedemikian rupa sehingga takluk dan mengikuti kehendak ”penculiknya”, termasuk mengirim surat kepada orang tuanya.
Rera Megasari, 18 tahun, yang pernah ikut aliran ini, juga mengaku tak tahu persis di mana pusat ajaran itu. ”Doktrin yang diajarkan, puasa saya sia-sia karena saya dipimpin para ahli neraka,” ujar gadis 18 tahun yang tinggal di Jalan Cisako Barat, Bandung ini. Sulit membayangkan apa yang terjadi jika keberadaan markas Quran Suci ini terlacak. Bisa jadi, nasibnya bakal seperti yang dialami Sallamulah pimpinan Lia Eden atau Ahmadiyah.
Dua tahun silam, warga menyatroni rumah Lia di Jalan Mahoni, Jakarta Pusat, lantaran dianggap pusat ajaran sesat. Sejumlah warga melempari rumah pimpinan ”Kerajaan Tuhan” yang mengaku jibril tersebut. Lia ditangkap polisi, diajukan ke pengadilan, dan divonis dua tahun penjara. Pada akhir Oktober lalu ia bebas dan tetap teguh pada keyakinannya.
Nasib yang sama dialami pengikut Ahmadiyah, ajaran yang pada 1980 dicap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak hanya markas mereka yang dihancurkan massa, pengikutnya pun dikejar-kejar bak pelaku kriminal. Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, warga yang mengikuti ajaran ini diusir dari kampung halamannya sendiri.
Di Kediri, Jawa Timur, perlakuan tak nyaman harus diterima para anggota kelompok Syahadatain. Kendati anggotanya hanya terdiri dari beberapa gelintir orang, toh warga tak memberi ampun pada aliran yang mengajarkan jika salat, pria dan perempuan boleh berbaur. Rumah pasangan Sukardi dan Umi Kulsim di Desa Cerme, Kecamatan Grogol, yang menjadi tempat pengajian Syahadatain, disatroni warga. ”Pemerintah menutup aliran ini,” kata juru bicara Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri, Sigit Rahardjo.
Munculnya aliran semacam ini tak urung membuat MUI menyerukan agar warga waspada. Beberapa pekan lalu, misalnya, MUI Jawa Timur meminta penduduk siaga dengan munculnya ajaran Udeng Ireng, yang pengikutnya memakai jubah dan ikat kepala hitam. Apa ajaran Udeng Ireng itu? Ketua MUI Mojokerto, Faqih Usman, menyatakan bahwa pihaknya belum tahu persis. ”Aliran ini baru muncul empat bulan lalu,” kata Faqih.
Kini yang tengah ”mendidih” adalah perang melawan Al-Qiyadah. Warga Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya, menangkapi sejumlah orang pengikut aliran ini. Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Utara, Komisaris Roma Hutajulu, pengikut aliran ini terancam hukuman empat tahun penjara. ”Mereka melakukan penodaan terhadap agama dan meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Di Klaten, Jawa Tengah, polisi justru mengamankan pengikut Al-Qiyadah agar tak digebuk warga. ”Baru empat orang yang kami temukan,” kata Kapolres Klaten, Ajun Komisaris Besar Suwarno.
Elik Susanto, Dwidjo U Maksum (Kediri), Deffan Purnama (Bogor), Erick Priberkah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo