Tak ada yang berharap sebuah malam berujung pada kematian yang keji. Mereka semua memulai akhir pekan dengan seseruput bir di ujung lidah dan menyapu lantai. Tak ada yang mengharapkan ledakan yang memorak-porandakan tubuh dan nyawa. Inilah kisah mereka yang tertatih melintasi maut malam itu.
JAMES WOODLEY, 30 tahun, turis asal Inggris
"Sabtu malam belum larut. Saya melangkah masuk ke Sari Club, bar favorit saya, karena tenggorokan begitu haus. Seperti malam-malam sebelumnya, saya menyusuri jalanan Legian dan tak terlalu peduli dengan situasi sekeliling saya.
Saya masuk, mencari tempat duduk di dekat bar, dan memesan bir. Tanpa berniat apa-apa, saya sempat melirik jam tangan saya, yang menunjukkan pukul 22.30 waktu setempat. Saya pikir, ah, malam masih panjang.
Saya sempat menebar pandangan ke seluruh lantai. Tampak para pengunjung berdansa dengan sebotol bir di tangan. Senyum ceria dan kecupan ringan pun menjadi santapan mata. Lampu kelap-kelip mengiringi pasangan nan tengah melepas penat. Tak lama setelah menyesap dua botol bir, saya tak tahan. Melantai. Tapi, belum puas kaki bergoyang mengiringi entakan seorang gadis di depan saya, tiba-tiba..... bllaaaarrrr!!!!......
Belum sempat mata saya menyadari apa yang terjadi, saya merasa ada yang menindih saya. Astaga, saya tertindih atap bangunan yang terbuat dari kayu. Belum sempat berpikir, sebuah pilar bangunan menimpa pipi dan kaki kiri saya! Kacamata saya terlempar entah ke mana. Seketika lampu padam. Kayu-kayu terbakar. Saya mendengar jerit tangis dan teriakan meraung-raung. Dalam hitungan detik, yang ada hanya kesenyapan. Antara sadar dan tak sadar, saya mencoba bangun. Tapi tubuh saya terasa separuh melayang. Bau arang dan kegelapan malam begitu mencekam. Penglihatan saya kabur akibat kacamata saya hilang. Saya pasrah. 'Selamat tinggal,' bisik saya kepada orang tua saya di Inggris.
Ketika tinggal sekedipan mata, tak diduga ada lubang yang menganga di antara reruntuhan. Entah karena habis terlalap api atau dikirimi mukjizat oleh Tuhan, saya terkejut dan merasa masih ada kesempatan untuk hidup. Saya segera mengerahkan kekuatan untuk berdiri, berlari sembari menyeret kaki kiri yang terluka. Sepanjang saya berlari menuju jalanan, saya melihat mayat-mayat yang teronggok hangus dan terburai ke mana-mana. Saya heran, kenapa saya bisa berhasil lari keluar dan menyelamatkan diri, mengingat kaki saya sudah tertindih balok besar. Di luar, pemandangan lebih mengerikan. Saya melihat begitu banyak serpihan-serpihan tubuh yang hangus. Saya bergidik dan gemetar. Namun, saya tetap berlari menjauhi kobaran api yang menyala makin besar. Beruntung, ada penduduk yang segera mencengkeram pundak saya dan memapah saya menuju tempat yang aman.
Saya masih belum mau pulang dan ingin menenangkan pikiran. Sudah dua pekan saya di sini dan tak menyangka akan berakhir seperti ini..."
MANSUR SURYADI, 39 tahun, sekuriti Paddy's Cafe
"Malam itu saya bersama Kadek, pacar saya, mengendarai Daihatsu Feroza warna biru menuju kantor saya di Paddy's Cafe. Karena macet dan parkir mobil sangat padat, saya berusaha menerobos masuk ke halaman gedung Panin, yang terletak di sebelah kanan (utara) Paddy's. Ini tempat saya biasa memarkir mobil. Karena jam sudah menunjuk pukul 23.10 Wita, saya bergegas meninggalkan pacar saya.
Saya masuk lewat pintu belakang, menyapa rekan kerja, menceklok kartu absen, dan mencangkung di kursi panjang. Saya terbiasa bersenda-gurau dengan rekan kerja, meski pacar saya sudah menunggu di depan. Nah, karena saya harus segera mengantar pacar saya menari di tempat kerjanya, saya tak bisa lama-lama bercengkerama dengan teman saya. Tapi, tak sampai lima menit, saya mendengar suara ledakan kecil, mirip petasan. Saya tak tahu bunyi apa itu. Tapi, karena saya ingin tahu, saya berjalan mendekat ke pagar. Tiba-tiba terdengar ledakan kedua. Kali ini ledakan yang lebih besar. Sangat besar. Sedetik kemudian, saya baru menyadari ada darah yang mengalir di kening saya; sobek tertimpa benda panas. Saya tak tahu apa benda panas itu. Toh, darah yang mengucur deras tak menghalangi saya untuk berlari sekencang-kencangnya ke jalanan. Padahal saat itu saya juga melihat ledakan dan kebakaran hebat yang menghantam Sari Club, tetangga depannya. Yang saya pikirkan cuma 'bagaimana nasib pacarku?'
Setelah berlari kencang, saya mengubek-ubek mobil saya yang sudah remuk dan pecah kacanya. Sembari berharap-harap cemas, saya menoleh ke kiri-kanan. Tapi, sejauh mata memandang, saya tak juga menemukan pacar saya. Saya menangis dan menangis. Jantung saya berdegup keras. Penglihatan saya kabur akibat darah yang mengucur ke seluruh muka saya. Samar-samar saya melihat seorang gadis tertidur di balik tembok. Saya mendekati tubuh gadis itu pelan-pelan. Betapa kagetnya ketika saya liat itu adalah tubuh Kadek, yang justru tak tersentuh luka sama sekali. Saya melampiaskan syukur dengan merangkul Kadek sambil terisak-isak menangis. Bom telah menjadi pemisah pasangan lainnya. Tapi saya beruntung. Akibat peristiwa ini, saya jadi tambah sayang pada dia.
Rommy Fibri (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini