TUAN Brooshooft sendiri, seperti dikutip Terdakwa Ir. Soekarno di depan pengadilan penjajah tahun 1930, punya pikiran sehat. Belanda Groningen itu melihat kebejatan pemerintah kolonialnya. Sudah kita jerumuskan orang-orang Indonesia itu ke dalam jurang. Wij duwen hem in den afgrond, sampai mereka ngos-ngosan dan terkulai. Dan Tuan Van Kol, yang juga Belanda, dengan lantang menyindir pemerintahnya atas perbuatan ugal-ugalan, sehingga "Negeri Indonesia merupakan negeri yang tiada bersumsum lagi", uitgemergeldege gewesten. Tak hentinya tuan ini menangisi nasib negeri jajahan yang papa sengsara, noodlijdende kolonie, yang mengalami kemerosotan baik pada bangsa manusia maupun hewan, physiekeachteruitgang van menschen en vee. Tapi, di kalangan awak sendiri ada potongan inlander - yang membedakan diri dari kaum gerakan kebangsaan pimpinan Soekarno-Hatta, memandang pemerintah kolonial seperti seorang oom yang bisa beri sesuap nasi, yang lebih lemah dari cacing karena tak melawan sama sekali di bawah pijakan, yang takut kepada bangsa asing seakan kepada makhluk angkasa luar, menganggap mereka punya segala kelebihan dan kebolehan bagai insan yang terbuat dari perunggu. Sesudah kemerdekaan politik diperoleh, masih adakah para potongan inlander? Masih. Beberapa di antaranya malah mulus seakan baru keluar dari pabrik. Hampir tak masuk akal, mindernya bukan alang kepalang. Bangsa asing dari udik sekalipun diingininya untuk dikecup jidatnya. Ia merasa dirinya sebangsa kacoak. Bangku sekolah kolonial berhasil membuat nya jadi manusia yang sontoloyo dan berperangai seorang jongos. Oleh tarikan nasib baik, inlander kita beruntung jadi birokrat yang necis. Perintahnya datang bagai halilintar, sorot matanya tajam bagai lidah api. Tapi ia tetap inlander jiwanya inlander. Kesukaannya menjilat ke atas menginjak ke bawah. Di depan bangsanya sendiri ia seperti serigala, di depan bangsa asing seperti marmut. Senantiasa goyah, tak yakin akan kemampuan bangsa. Selaku birokrat, ia menjunjung tinggi juragan-juragan konsultan asing, begitu hebatnya mereka sampai-sampai dipercaya bisa mencabut nyawa sendiri. Konsekuensinya, ia tak pernah menaruh hati kepada pengusaha konsultan bangsa sendiri, yang dianggapnya tak lebih dari kaki lima dan makelar musiman. Tak menaruh percaya bahkan kepada biro perjalanan awak, sehingga para pemegang paspor turis Jepang di Bali dibiarkan terang-terangan cari penumpang. Inlander kita ini sampai berwasiat, bila tiada umur supaya dikubur di Tokyo atau San Francisco, kalau bisa di dekat jalan tol. Alhamdulillah, umur panjang sang inlander sanggup menghabiskan karier hingga pensiun. Dan karena pensiunan bisa bego kalau berbaring saja di rumah, ia berkeputusan menyaksikan eksposisi PPI 85 di Lapangan Monas. Masa ia bangsa sendiri sanggup bikin barang-barang selain oncom dan gandasturi? Mana bisa kita orang hidup layak tanpa bergelayut di ujung kemeja si asing? Batok kepala mereka saja sudah lebih panjul dibanding batok kepala kita. Apa bukan omong kosong koran-koran saja bahwa bangsa sendiri mampu melepaskan "ketergantungan" ? Sesudah lelah berputar-putar, inlander kita pulang dan membanting dirinya di tempat tidur. Kaki terasa mau copot, jantung terasa berpindah. Gila-gilaan benar pameran itu - tak kepalang tanggung. Dengan menekan rasa malu, ia mengakui kehebatannya. Nyatanya, bangsa ini banyak juga kebisaannya, sampai-sampai bisa bikin kapal udara segala macam, tidak melulu tikar pandan dan patung raja gendruwo. Kemudian inlander kita jatuh tertidur. Dan langsung mimpi. Seakan ia kembali ke kursi birokrat, lengkap dengan telepon dan tiga tangkai bunga anggrek. Kali ini ia bukan inlander yang dulu. Semua konsultan bangsa sendiri dipanggilnya, termasuk yang tinggal di pinggir gunung. Semua turis yang coba-coba adu untung jadi biro perjalanan terselubung didorong nya masuk Laut Sanur. Semua perlengkapan kantor dan bangunan lainnya diisi belaka dengan produksi dalam negeri. Ia menjauhi barang luar seperti menjauhi daging tikus. Khusus kepada istrinya ia wanti-wanti, jangan sekali-kali beli bedak bikinan Paris, cukup bikinan Boyolali. Dirinya sendiri tak pernah lagi makan T-bone steak, cukup mujair goreng dari warteg. Begitu terbangun, ia meneteskan air mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini