SECANGKIR KOPI PAHIT Pemain: Alex Komang, Rina Hasyim, Ray Sahetapy Skenario/Sutradara: Teguh Karya BUNYI mesin ketik di awal film ini lemah tertegun-tegun, tidak senyaring rentetan bunyi teleks di akhir film All the President's Men karya Alan Pakula (1976). Lewat adegan mesin ketik, suasana yang dibangun Teguh datar dan tanpa gerak, sedangkan pada Pakula sebaliknya, membangun klimaks. Coba diingat, di antara rentetan bunyi teleks itu terdengar dentuman meriam, lalu di layar terlihat nyala kembang api berkilat-kilat di langit gelap. Sebuah adegan yang sukar dilupakan. Dan adegan itu menggambarkan kejatuhan Richard Nixon, presiden Amerika Serikat pertama yang terpaksa mengundurkan diri karena ulah dua wartawan, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Akibatnya, struktur politik Amerika guncang, berbagai praktek kotor terbongkar, dan wartawan boleh menepuk dada. Lewat karya Woodward dan Bernstein, wartawan mencatat kemenangan terbesar sepanjang sejarah jurnalistik, kemenangan yang membuat mereka pongah dan agak lupa diri. Perbedaan mendasar antara film Pakula dan Teguh bukanlah pada tokoh utamanya - yang satu sukses, lainnya tidak sukses - tapi pada aksentuasi cerita. Pakula berkisah tentang wartawan yang menggumuli profesinya, sedangkan Teguh menghadirkan seorang manusia yang dihanyutkan oleh profesi sebagai wartawan. Tidak heran jika dalam Secangkir Kopi dunia kewartawanan tidak tampak jelas sosoknya. Kesibukan yang berkesinambungan hari demi hari juga tidak ditemukan, dinamikanya tidak muncul. Dan agak lucu, tentu, melihat Togar (Alex Komang) yang lehernya selalu digantungi kamera itu - bagaikan wartawan perang saja - berkutat mengorek informasi dari Karsih (Rina Hasyim). Caranya mendesak gadis desa ini sangat tidak taktis, tepatnya tldak profesional. Tapi seperti sudah dikatakan tadi, Teguh di film ini bercerita tentang pribadi Togar, bukan pribadi seorang wartawan. Togar, pemuda Batak asal Samosir, adalah drop-out sebuah fakultas ekonomi di Yogya, yang kemudian mencari peruntungan di Jakarta. Kesempatan merintis karier Jurnalistik diperolehnya lewat Buyung (Ray Sahetapy), sahabatnya, seorang wartawan. Bersama Buyung pula ia belajar kenal dengan kehidupan Kota Jakarta, dengan rakyat jelata, dan Lola, seorang janda. Ia juga membina hubungan dengan sang majikan, pemimpin redaksi yang selalu berdasi tapi bekerja di ruang sempit dalam kantor yang pengap. Adalah tokoh berdasi ini juga yang menskors Buyung karena "dosa" menerima amplop. Alasannya sederhana, amplop itu menjatuhkan harga diri wartawan. Jadi, bukan karena sebab lain yang lebih mendasar, misalnya bahwa budaya amplop secara moral bertentangan dengan profesi wartawan. Soal amplop saja sebenarnya blsa dijadikan tema yang sangat menarik, apalagi ada usaha mempertentangkan sikap praktis Buyung dan sikap idealis Togar. Tapi, oleh sutradara, masalah itu secara formal diselesaikan lewat skors terhadap Buyung. Sampai sekian saja. Memang jalan cerita kemudian berbelok. Sesudah bertengkar hebat soal amplop itu juga, Togar kemalaman di warung Lola. Akibatnya fatal, ia terperangkap untuk seterusnya di sana, suatu hal yang terjadi begitu mudah. Dan rasa-rasanya kok tidak tipikal untuk seorang pemuda asal Batak. Gawatnya lagi, Togar masih terjeblos di perangkap lain. Karena mengejar-ngejar Karsih - untuk memperoleh Informasi - agen pembantu yang merasa bidang usahanya terancam mengadukan Togar kepada polisi. Ia difitnah, dituduh bermaksud jahat pada Karsih, gadis yang sebenarnya sudah lebih dulu diperkosa oleh agen itu sendiri. Dalam keadaan serunyam itu, tiba-tiba datang abang Lola yang meminta Togar menikahi adiknya yang ternyata sudah hamil. Sampai di sini cerita belum juga mencapai klimaks. Kepahitan lain menyusul. Togar dipermalukan di muka umum, diejek memperistri janda yang tidak bersih masa lampaunya. Seakan itu semua belum cukup, hukuman lain dijatuhkan: ayah Togar meninggal. Pemuda ini, yang digambarkan begitu rapuh, setiba di kampung disambut oleh kemarahan sang ibu. Ia dituduh tidak jujur karena menyembunyikan kegagalannya - tidak lulus fakultas ekonomi - juga karena merahasiakan perkawinannya dengan seorang janda beranak tiga, dan karena tidak berani menghadapi kenyataan. "Kau cuma anak ayam," vonis sang ibu. Penonton yang lemah hati akan merasa rongga dadanya sesak menonton film ini. Sutradara menjejalkan berbagai kepahitan pada Togar, seakan-akan dialah makhluk paling terhukum di atas muka bumi ini. Padahal, kepahitan itu sebenarnya terbagi-bagi juga pada yang lain. Mangara misalnya, sarjana ekonomi yang jadi makelar karena alasan yang tidak jelas, terjeblos ke penjara satu tahun. Dan Karsih adalah prototype tenaga kerja wanita yang pergi ke kota bukannya untuk mendapat kerja, tapi bala bencana. Terlalu banyak yang ingin disampaikan Teguh, yang semuanya aktual dan semuanya menuntut jawaban. Ada soal putus sekolah, soal lapangan kerja, soal amplop, bahkan soal pengkhianatan intelektual yang secara amat sederhana ditampilkan lewat Mangara. Lewat film ini, bisa dicatat upaya Teguh untuk pertama kali bersungguh-sungguh menggarap sebuah tema sosial. Dan lewat celetukan, "Nanti kalau harga BBM turun," ia telah melontarkan kritik yang relevan. Masih ada dua hal lain yang patut dicatat. Yakni adanya warna lokal Batak yang sangat mengesankan dan teknik penceritaan kilas balik (flashback) yang benar-benar eksperimental. Dengan bekal ini, Teguh Karya diharapkan akan lebih mantap menggarap tema sosial yang lain, tanpa terpaksa, misalnya, menghadirkan wartawan sebagai peranutama. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini