Hiroshima, yang porak-poranda di ujung Perang Dunia II, kini sudah bangkit. Kota yang dibagi lima anak sungai ini siap menjadi tuan rumah Asian Games Oktober mendatang. Ini adalah upaya Hiroshima membangkitkan rasa persaudaraan dengan sesama warga Asia -- yang pernah diusik tentara Jepang di masa perang. Kota yang dijatuhi bom atom ini sekarang menjadi pusat gerakan perdamaian internasional. Gerakan ini dikampanyekan oleh Hiroshima International Cultural Foundation (HICF). Agustus tahun lalu, lembaga ini mengundang wartawan TEMPO Max Wangkar untuk melihat-lihat Hiroshima dan merekam sisa-sisa kepedihan dari bom nuklir itu. Berikut ini laporannya: Tuntutan ganti rugi terhadap Jepang masih menghangat di kalangan rakyat Indonesia. Perlakuan tentara Jepang sekitar 50 tahun lalu, semasa Perang Dunia II, sulit dilupakan rakyat Indonesia. Itu telah menjadi sejarah. Kendati Jepang hanya tiga tahun berada di Indonesia, rakyat yang menderita tidak sedikit. Belakangan ini ada sekitar 13.000 orang Indonesia yang menuntut ganti rugi karena pernah disuruh kerja paksa tanpa imbalan (romusha) atau diperlakukan sebagai wanita penghibur (jugun ianfu). Berapa jumlah jugun ianfu sebenarnya mungkin tak akan pernah diketahui secara resmi. Maklum, banyak juga orang yang diperkirakan malu atau dilarang keluarganya membuka aib tersebut. Data romusha barangkali lebih banyak. TEMPO edisi 13 Desember 1986, misalnya, memberitakan ada sekitar 250.000 rakyat Indonesia telah dipaksa tentara Jepang menjadi romusha ke luar negeri, antara lain ke Burma. Dari jumlah itu, hanya sekitar 70.000 orang yang diketahui kembali ke Indonesia. Ada pula bekas tentara KNIL serta orang Belanda yang ditawan tentara Jepang, dan kini sedang bergerak di Belanda untuk meminta ganti rugi. Harapan bahwa pemerintah Jepang akan mengabulkan tuntutan itu tampaknya memang masih terlalu dini. Kondisi ekonominya, yang sedang dilanda resesi sekarang ini, barangkali belum memungkinkan Jepang dituntut bayar ganti rugi. Tak berarti tertutup kemungkinan bagi para korban mendapatkan semacam pampasan. Bagaimana cara atau bentuk ganti rugi itu bisa diperoleh tentu masih harus dicari. Yang jelas, tahun lalu, pemerintah Jepang secara resmi telah meminta maaf atas segala (perbuatan keji) tentara Kekaisaran Jepang di Asia semasa PD II. Kejadian sekitar setengah abad lalu itu baru pertama kali dimohonkan maaf secara resmi oleh Perdana Menteri Hosokawa, beberapa hari setelah ia dilantik 7 Agustus lalu. Di kalangan rakyat Jepang sendiri, banyak yang merasa prihatin atas kebiadaban tentara Kaisar. Keprihatinan ini terutama dirasakan rakyat di sekitar Hiroshima dan Nagasaki. Maklum, kedua kota ini boleh dikatakan ketiban tulah akibat kebengisan pasukan Jepang di Asia, khususnya di Korea, Cina, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Seperti diketahui, menjelang berakhirnya PD II, kedua kota ini ditimpa bom atom. Dalam seketika, ratusan ribu penduduk langsung kehilangan nyawa. Mereka yang masih tersisa harus mengalami derita berkepanjangan. Para korban bom atom yang masih hidup itu dijuluki hibakusha. Penderitaan mereka sebagai korban bom atom (genbaku) sedikit banyak telah diberi semacam ganti rugi. Ada yang dikirim ke AS untuk mendapatkan pengobatan, lewat operasi plastik, misalnya. Paling sedikit, kalau sakit, seorang hibakusha bisa meminta perawatan gratis di Rumah Sakit Palang Merah Hiroshima. Para hibakusha yang sudah jompo pun kini boleh menghabiskan sisa hidupnya di rumah jompo yang mewah. Sementara itu, para hibakusha yang masih kuat secara fisik kini berkampanye di sekitar Hiroshima untuk mengingatkan kembali betapa biadabnya bom atom. Mereka terutama bisa ditemukan di sekitar Museum Bom Atom atau di Taman Perdamaian di pusat kota Hiroshima dan Nagasaki. Kampanye di Nagasaki tidak sehebat di Hiroshima. Pertama, mungkin karena korban di Nagasaki tak sebanyak di Hiroshima. Sebab, Nagasaki merupakan suatu kota berbukit-bukit dan bom atom kebetulan jatuh di kawasan permukiman kelompok masyarakat yang terkucil (antara lain karena mereka memeluk agama Kristen), sedangkan Hiroshima, yang baru terbuka kepada dunia luar seusai PD II, dihuni rakyat Jepang yang fanatik. Tapi kini masyarakat Hiroshima tengah berusaha menjadi masyarakat internasional. Pesta olahraga paling akbar untuk Asia yang akan berlangsung Oktober tahun ini di Hiroshima salah satu buktinya. Perlu diketahui bahwa Asian Games selama ini selalu dilangsungkan di ibu kota negara Asia. Pusat pemerintahan Jepang masih berpusat di kota metropolitan Tokyo. Sementara itu, Hiroshima hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Chugoku. Tapi kota ini beserta rakyatnya tengah bergerak menuju kota dan masyarakat internasional. Globalisasi yang sudah terwujud di sini antara lain Mazda. Saham mayoritas perusahaan industri mobil itu kini sudah dikuasai perusahaan Ford dari Amerika. Hiroshima juga menjadi kota internasional karena, mulai Oktober 1993 lalu, kota ini telah menjadi salah satu gerbang internasional untuk Jepang. Sebab, kini Hiroshima telah mempunyai lapangan internasional. Namun, rakyat kota ini tetap yang paling cengeng mengeluhkan PD II. Sebab, rakyat kota inilah yang paling menderita akibat PD II. Rakyat Jepang di Pulau Okinawa yang menderita sewaktu PD II juga banyak. Tapi, menurut seorang warga Hiroshima, rakyat Okinawa lebih banyak mati karena dibunuh tentara Jepang. "Orang Okinawa dipakai tentara Jepang untuk membawa peralatan tentara, sekaligus sebagai tameng terhadap tentara Sekutu. Tentara AS justru datang menyelamatkan rakyat Okinawa. Sedangkan di Hiroshima, Amerika datang untuk membunuh rakyat," tutur seorang warga Hiroshima yang kini bekerja di Pusat Penelitian Radiasi Nuklir Hiroshima. Betapa rakyat Hiroshima telah menderita akibat bom atom, antara lain, bisa didengarkan dari para hibakusha yang masih hidup (lihat Kisah Para Hibakusha). Kendati Hiroshima merupakan salah satu kota terpadat di dunia, masyarakatnya masih kuat memelihara budaya ketimuran yang asli. Keramahan sebagai sifat khas orang Timur, misalnya, masih sangat menonjol di sini. Banyak keluarga di Hiroshima terlihat makan di restoran lesehan sambil ngobrol dengan keluarga lain yang juga lesehan di meja lain. Bagi orang asing, keramahan Hiroshima bisa diperoleh dalam keluarga-keluarga Hiroshima. Di Hiroshima ada ratusan keluarga yang bersedia memberi tumpangan. Mereka tergabung dalam home stay association. Adanya home stay di sini juga merupakan salah satu bukti rakyat Hiroshima yang ingin mengglobal. Salah satu asosiasi home stay memakai nama Hippopotamus (Kuda Nil). "Hippo bahasa Jepang adalah kaba, tapi suku katanya dibalik, menjadi baka, lalu artinya goblok. Maksud kami memakai nama ini, kami ingin belajar dari orang asing," kata salah seorang anggota asosiasi home stay Hippo. "Kami juga ingin tukar-menukar budaya, tukar-menukar pengalaman, termasuk dalam hal advokat. Kami ingin bertukar pikiran dengan kelompok advokat dari Indonesia," katanya lagi. Tinggal dalam keluarga Jepang, Anda bisa mengenali budaya Jepang secara nyata, orang Jepang yang senang makan-minum. Jika menjadi tamu, tentu saja Anda akan dijamu sambil ngobrol hingga dinihari seakan-akan besok hari libur. Padahal, keesokan harinya, pagi-pagi pukul 7.00 tuan rumah harus berangkat kerja. Jika nyonya rumah tidak bekerja, atau kepala keluarga kebetulan libur, jangan kaget jika Anda diajak pergi jalan-jalan mengunjungi pusat-pusat wisata di Hiroshima. Misalnya, pergi melihat jembatan kuno berbentuk lengkung atau basis tentara AS di kawasan Iwakuni (sekitar 60 km dari Kota Hiroshima). Pada saat hari sangat panas di bulan Agustus, kita bisa menyaksikan rakyat Provinsi Chugoku tak ubahnya seperti orang kampung. Tua muda, khususnya kawula muda -- cowok atau cewek -- tanpa segan-segan pergi menonton pesta kembang api dengan mengenakan baju kimono warna-warni serta terompah kayu alias bakiak. Salah satu pusat wisata yang tak boleh diabaikan di Hiroshima adalah Iwajima. Ini adalah satu dari tiga tempat paling keramat di Jepang. Di sini terdapat sebuah wihara yang keramat. Menurut seorang guru SMA yang juga anggota home stay, Kaisar Jepang biasanya datang kemari setiap bulan purnama untuk menghimpun kekuatan dewata. Soal komunikasi, tak usah terlalu pusing. Kendati penduduk Hiroshima rata-rata sudah belajar bahasa Inggris, banyak warga yang tanpa malu-malu akan mengobrol sambil memegang kamus Inggris-Jepang. Menginap di home stay, Anda juga bisa mempelajari permainan khas Jepang, dari kendama (sebuah bola kayu sebesar apel diikat tali yang harus diayunkan kemudian ditusuk atau ditempakan pada gagangnya) sampai ilmu bela diri Jepang. Menginap di hotel di Hiroshima mungkin akan lebih banyak mengalami kejengkelan, dan tentu saja biaya. Jumlah hotel internasional di kota ini tak banyak. Jika pintu-pintu hotel sudah tutup tengah malam, itu bukan karena ketakutan terhadap yakuza. Manajemen hotel ingin menekan biaya lembur karyawan dan hemat energi. Maklum, gaji buruh di Hiroshima dewasa ini sekitar 2.000 yen (sekitar Rp 40.000) per jam. Penghasilan keluarga di Hiroshima, yang saya dengar dari obrolan di home stay, rata-rata 30.000 yen per hari. Tak mengherankan jika seorang guru SMA saja di sini mampu ganti-ganti sedan baru setiap tiga tahun. Di Hiroshima, Anda bisa menemukan banyak orang mabuk di klub malam atau bar yang dikelola yakuza. Tapi yakuza di sini tak suka memeras seperti di Kota Osaka atau Tokyo. Sekitar pukul 2.00 dinihari, para pemabuk itu biasanya mencari penginapan di hotel kapsul. Menginap di hotel kapsul berukuran 2 x 1 x 1 meter ini lumayan nikmat. Di situ ada telepon, radio, dan televisi, dan tentu saja bantal dan kasur. Satu hal yang terlarang di sini adalah membawa wanita dan merokok. Begitu orang merokok di dalamnya, kapsul secara otomatis akan diguyur air. Namun, satu hal yang paling menonjol di Hiroshima tentu saja Taman Perdamaian serta Museum Genbaku (bom atom). Betapa kejinya bom nuklir itu bisa disaksikan di sini. Setiap tahun puluhan ribu turis, terutama pelajar dari seantero Negeri Sakura sampai siswa-siswi dari mancanegara, berkunjung kemari. Bom atom yang menimpa Hiroshima 6 Agustus 1945 ternyata paling banyak memakan korban rakyat biasa, khususnya pelajar. Menjelang berakhirnya PD II, Hiroshima yang ketika itu berpenduduk sekitar 400.000 jiwa ternyata sudah hampir kehabisan pria dewasa. Hampir semua lelaki sudah di-"ekspor" keluar untuk Perang Asia Timur Raya. Yang tinggal umumnya orang tua dan pelajar putri, anak sekolah, dan tentu saja guru. Mereka pun ternyata tidak sekolah, tapi dikerahkan (dimobilisasi) untuk kepentingan perang. Ada yang bekerja di pabrik perlengkapan tentara (misalnya membuat pakaian dan sepatu militer), dinas telekomunikasi, dan sebagainya. Tak mengherankan ketika bom terkutuk itu jatuh di sini, rakyat dan para pelajar inilah yang menjadi korban. Sebagian besar memang sudah langsung tewas ketika itu. Namun, masih banyak juga yang selamat kendati harus mengalami penderitaan yang tidak ringan. Bahwa para hibakusha di Hiroshima harus menderita banyak dan terkesan menjadi cengeng, mungkin karena mereka harus memikul tulah kekejaman tentara Jepang di Asia. Sebab, pasukan Jepang yang terkenal paling keji di masa PD II yakni Divisi V yang berasal dari Hiroshima. Juli tahun 1937, divisi ini ditugasi ke daratan Cina sebagai pasukan penerobos pertama. Mereka tinggal di sana sampai November 1939. Kota Shanghai mereka rebut dengan menggunakan senjata kimia beracun. Tahun 1939, mereka pergi menyerbu Indocina. Desember 1941, mereka tiba di Thailand. Tahun 1942 (bulan Februari sampai Maret), mereka sudah tiba di Singapura. Selama di Malaysia mereka melakukan pembunuhan massal atas orang Cina di Semenanjung Malaysia. Kisah pembantaian di Malaysia ini bisa disaksikan dalam sebuah rekaman video di perpustakaan Chugoku Shimbun di Hiroshima. Ini penuturan seorang saksi mata yang kini menetap di Iwajima. Waktu itu dia masih pelajar SLA, lalu kena wajib militer. Dia ditugasi menjadi sopir. Pada bulan Desember mereka masuk Malaysia dari Thailand. Sehari setelah mereka masuk, ada seorang anggota pasukan mati terbunuh. Sehari kemudian, pasukannya menangkap semua pria keturunan Cina di kampung sekitar situ, kemudian dibawa ke suatu perkebunan untuk dibantai. Kekejaman Divisi V di Indonesia juga ada. Salah satu pasukan Divisi V menuturkan pernah membantai sekitar 400 orang di Pulau Babar, Kepulauan Tanimbar, Maluku (TEMPO, 13 Desember 1986). Oktober 1945 (dua bulan setelah Jepang bertekuk lutut), ada kasus pertempuran di Semarang. Ketika itu rakyat Semarang minta senjata Jepang, tapi ditolak. Akibatnya, terjadilah perkelahian. Korban di pihak Jepang kira-kira 400 orang, sedangkan korban di kalangan rakyat Semarang 2.000 orang. Hanya, apakah ini hasil perbuatan tentara Divisi V, memang perlu diteliti lagi. Para saksi mata inilah yang kini menjadi pejuang perdamaian. Kisah para hibakusha tadi tampaknya sangat mempengaruhi generasi muda Jepang. Mungkin itu sebabnya generasi Jepang sekarang enggan menjadi tentara. Dewasa ini Jepang memang tidak mengenal istilah tentara. Masyarakat Jepang hanya mengenal pasukan bela diri (self defence forces -- SDF). Berbagai sumber yang saya tanyai, dari ibu rumah tangga, pelajar, guru, sopir taksi, wartawan, sampai kaum intelektual, semuanya menyebutkan tak banyak pemuda yang ingin menjadi anggota SDF. Di Jepang, SDF harus berkampanye ke sekolah-sekolah untuk merayu anak-anak SLA menjadi anggota. Ketakutan menjadi anggota SDF semakin menjadi-jadi sejak Jepang dipaksa PBB (baca: AS) untuk ikut terlibat langsung sebagai peace keeping organization (PKO). Menurut Tomomitsu Miyasaki, wartawan politik dari harian Chugoku Shimbun, parlemen Jepang sempat mendebat pemerintah agar SDF dipisahkan dari PKO. Sebab, SDF hanya ingin menjaga ketenteraman dalam negeri Jepang dan tak mau terlibat perang di luar Jepang. Kini pasukan bela diri Jepang jelas tak ubahnya dengan tentara- tentara di negeri lain. Mereka mempunyai perlengkapan militer. Terutama armada kapal perang, mulai kapal selam sampai fregat, yang dilengkapi senjata-senjata pertahanan udara anti senjata nuklir. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini