Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ohkuno, pulau senjata kimia

Di masa lalu, jepang ternyata juga mengembangkan senjata kimia beracun. itu dipusatkan di sebuah pulau yang tak ada dalam peta. kini di pulau itu didirikan museum.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada musim panas, banyak warga Hiroshima yang lari dari kota industri ini untuk mencari kesejukan di tengah laut, termasuk Wali Kota Hiroshima yang gemar berlayar dengan yacht-nya di Teluk Hiroshima. Teluk Hiroshima mirip Teluk Jakarta, yang dihampari banyak pulau. Bedanya, di Teluk Jakarta terdapat Kepulauan Seribu yang sebenarnya hanya terdiri atas sekitar 300 pulau, sedangkan di Teluk Hiroshima terhampar sekitar 8.000 pulau. Salah satu pulau yang paling ramai dikunjungi warga Hiroshima di musim panas adalah Ohkuno. Pulau ini dibuka sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat Hiroshima sejak tahun 1964. Pulau Ohkuno, yang luasnya sekitar 100 hektare, ternyata mempunyai sejarah mengerikan. Sejak zaman Restorasi Meiji, abad ke-19, pulau nan mungil tapi berbentuk menara ini telah dimanfaatkan sebagai pulau pertahanan yang strategis. Semua kapal yang memasuki Hiroshima bisa dipantau dari pulau yang mempunyai ketinggian sekitar 100 meter ini. Angkatan perang Kekaisaran Jepang sebenarnya sudah membangun sebuah benteng di pulau ini sejak zaman Restorasi Meiji. Benteng ini dibangun sebagai perlindungan terhadap basis angkatan laut Kerajaan Jepang di Kure (sekitar 30 km sebelah timur Hiroshima). Kedoknya baru ketahuan setelah banyak warga Hiroshima yang datang melancong ke sini mati lemas. Mereka tewas bukan karena keletihan berenang, tapi terkena gas kimia beracun. Pada Perang Dunia II, Ohkuno ternyata dimanfaatkan Jepang sebagai basis produksi senjata kimia. Akhir dasawarsa lalu, pemerintah Jepang membangun museum gas beracun di pulau ini. Museum itu dikelola Hatsuichi Murakami, kini 67 tahun, yang dulu bekerja di pabrik gas racun ini. Menurut Murakami, kendati pada tahun 1920 ada konvensi internasional yang melarang penggunaan senjata kimia, pada tahun 1925 Jepang justru tertarik mengembangkan senjata kimia. Tentu saja harus secara rahasia. Maka, dipilihlah Pulau Ohkuno, yang tak ada dalam peta. Pada tahun 1929, Jepang sudah mulai memproduksi senjata kimia secara diam-diam. Murakami, pada tahun 1940, mula-mula menjadi penjaga pintu. Setelah diketahui ia bisa dipercaya, militer mengangkatnya sebagai teknisi dengan kontrak kerja 20 tahun. Semula ia diberi tahu bahwa ini adalah pabrik pupuk. Ketika pabrik ini dibuka, rakyat di sekitar pulau itu merasa gembira karena mengharapkan pabrik ini akan mengembangkan ekonomi pertanian di sekitar Hiroshima. Rakyat pun menduga itu pabrik pupuk. Ketika tahu bahwa gaji karyawan sangat tinggi, bisa sampai beberapa kali lipat gaji dosen universitas, Murakami dan kawan- kawannya mulai sadar bahwa ini adalah pabrik yang sangat berbahaya. Mereka kemudian sadar bahwa ini adalah pabrik gas beracun. Tapi mereka diwajibkan merahasiakan semua kegiatan yang ada di sini. Padahal, sudah banyak karyawan yang menjadi korban. Diperkirakan, sekurangnya 2.000 orang terkena gas beracun karena pakaian karet serta topeng (masker) mereka bocor. Tentara yang menjadi pemimpin di pabrik itu kemudian menjelaskan bahwa senjata yang dibuat di situ masih manusiawi. Sebab, gas beracun yang dibikin hanya mengganggu pernapasan sebentar dan melukai kulit. Jadi, hanya melemahkan musuh sebentar. Kenyataannya, karyawan sering mengalami musibah terkena gas beracun ini. Mereka sendiri mengalami betapa gas ini bisa membakar ketiak dan pangkal paha. Pada tahun 1937 hingga 1945, pabrik ini berproduksi penuh, 24 jam sehari. Jumlah tenaga yang dikerahkan pada waktu itu diperkirakan sekitar 5.000 orang. Sebagian besar di antaranya adalah anak sekolah putri. Kisah tentang anak sekolah ini diungkapkan oleh Reiko Okada. Okada, kini 64 tahun, menuangkan pengalamannya di pabrik tersebut dalam sebuah buku berjudul Pulau Ohkuno, Kisah Mobilisasi Pelajar. Buku setebal 36 halaman ini diterbitkan tahun 1989, kebetulan bersamaan dengan pembukaan museum senjata kimia Ohkuno. Okada, kini berstatus janda, hidup sebagai seorang pensiunan guru. Kini ia mengisi hidupnya sebagai artis pelukis di Kota Mihara, sekitar 60 km sebelah timur Hiroshima. Dalam pertemuan dengan wartawan TEMPO Max Wangkar di Pulau Ohkuno, Okada menuturkan bahwa ia merasa terpanggil untuk menulis buku ini ketika pecah perang Iran-Irak dan mendengar ada pihak yang menggunakan senjata kimia. Kebetulan pula Kaisar Jepang Tenno Heika, yang disebut-sebut sebagai ahli kimia, baru saja meninggal. Menurut Okada, pabrik ini mulai memproduksi senjata kimia pada tahun 1929. Pabrik ini dijalankan oleh sejumlah buruh pabrik, staf administrasi, tenaga magang, dan sejumlah tenaga sukarelawan anak-anak sekolah yang terkena wajib militer (mobilisasi). Menurut penelitiannya, ada 1.084 pelajar yang telah dikerahkan dalam mobilisasi tahun 1944 sampai Jepang ditaklukkan Sekutu tahun 1945. Para pelajar dikerahkan membuat balon gas yang dipakai untuk membawa bom gas beracun ke Amerika. Mereka membuat balon gas sejak November 1944. Dari hasil penelitian Okada, 209 balon serta sejumlah senjata telah dibuat para pelajar. Tapi balon gas pembawa bom racun yang telah dilepaskan Jepang dengan embusan angin ke Amerika semuanya berjumlah 9.300. Ternyata ada sekitar 285 kasus gas beracun akibat balon ini menimpa Amerika. Korban berjatuhan khususnya di daerah Negara Bagian Oregon, yang menimpa rakyat biasa dan anak-anak. Berapa banyak korban di Amerika belum dilakukan penelitian. Ternyata, di antara pelajar yang dikerahkan bekerja di sini banyak juga yang menjadi korban. Okada menuturkan dalam bukunya, antara lain, ada dua pelajar putri ngobrol di bawah pohon pinus sewaktu istirahat sehabis makan siang. Kedua pelajar ini memetik daun pinus untuk pengumpil sisa makanan yang melekat di gigi. Tak lama kemudian, kedua pipi mereka membengkak, dan kedua gadis ini dipulangkan sambil mengerang kesakitan. Udara di sekitar pulau ini pun tercemar gas beracun. "Jika orang menghirup napas dalam asap kuning yang keluar dari pabrik, tenggorokan terluka, lalu pusing kepala. Pohon pinus yang terkena asap ini langsung layu dan mati. Dengan demikian, siapa pun akan berpikir bahwa di sini ada pabrik gas beracun," tutur para guru dari SMP Tadanoumi. Okada menuturkan bahwa ia pernah melihat seorang buruh pabrik, yang keluar dengan jaket dan masker gas, berjalan terpincang- pincang dan kesulitan bernapas. Menjelang Sekutu menduduki Hiroshima, semua pelajar yang berkerja di sini diajari bagaimana memakai pakaian anti gas beracun. Namun, banyak di antara pekerja dan pelajar yang dikerahkan di pulau ini kemudian ketahuan terkena penyakit kanker paru-paru. Menurut Okada, mereka memang dilarang menuturkan semua pengalaman ini. "Banyak orang yang kemudian menelepon atau mengirim surat kaleng, mengatakan saya pengkhianat bangsa. Tapi saya harus menyadarkan generasi muda bahwa perang tidak manusiawi," tutur Okada dengan wajah menerawang dan mata yang basah. Bahkan sampai satu dasawarsa kemudian, ketika Pulau Ohkuno sudah dijadikan tempat pariwisata, masih terdapat beberapa kasus rakyat yang bersenang-senang di sini menemukan tong gas beracun di laut. MW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus