ONGKOS melaksanakan perdamaian Palestina-Israel memang tidak murah. Sampai Senin pekan lalu, sudah 48 orang Palestina dan 23 Israel tewas, terhitung sejak Deklarasi Prinsip diteken oleh Arafat dan Rabin, 13 September 1993 lalu. Pukul rata, tiap dua hari seorang tewas di Jalur Gaza, karena bentrokan antara orang Palestina dan tentara Israel. Dan jika saja pelaksanaan deklarasi tersebut -- seharusnya harinya adalah 13 Desember 1993 lalu -- masih juga tertunda terus, jumlah korban tentunya akan terus bertambah. Tentara Israel yang terus menaruh curiga dan semangat berjuang warga Palestina yang tak kunjung padam adalah dua sikap yang siap berbentrokan dan makan korban. Tapi, bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan jika pelaksanaan perjanjian damai tertunda-tunda terus. Perjanjian itu sendiri terancam berantakan. Yakni jika saja terjadi pergantian penguasa, baik di Israel maupun di tubuh PLO sendiri. Dan jalan ke sana tampaknya bukan sama sekali tertutup, meski Partai Buruh, partai yang berkuasa sekarang, demikian yakin bahwa perdamaian bakal terwujud. Misalnya, sudah direncanakan pembangunan jalan bebas hambatan yang menghubungkan permukiman Yahudi di selatan dan utara di Tepi Barat tanpa melewati Kota Yerikho, kota yang akan diserahkan ke PLO menurut Deklarasi Prinsip. Tokoh-tokoh Partai Buruh pun yakin, akan ada dua negara berdaulat nantinya di Tanah Palestina. Pekan lalu, Yossi Katz, anggota parlemen dari Partai Buruh, di hadapan pemukim Yahudi di utara berpidato: "Suka atau tidak, sebuah negara Palestina akan lahir." Tapi seberapa kuat dukungan terhadap optimisme itu? Sebuah pengumpulan pendapat baru-baru ini di Israel menyimpulkan, dukungan terhadap perjanjian damai menurun dibandingkan ketika perjanjian itu baru saja diteken. Dan masih saja ada penulis Yahudi di koran Israel Jerusalem Post yang menyebut Yasser Arafat sebagai "komandan geng teroris PLO." Yitzhak Rabin sendiri, menurut sebuah artikel di Jerusalem Post edisi internasional, 25 Desember 1993, ternyata punya tafsiran sendiri pada pasal keamanan dalam Deklarasi Prinsip. Yang tertulis, tanggung jawab keamanan di Gaza dan Yerikho setelah ditinggalkan tentara Israel ada pada pihak PLO. Israel boleh saja memberikan informasi, misalnya ada teroris bersarang di kedua wilayah itu, dan silakan PLO mengambil tindakan. Tapi, kata artikel yang ditulis oleh anggota parlemen dari Partai Likud itu -- partai kanan yang tak menyetujui total perjanjian damai Israel-PLO -- bahwa Rabin tetap berharap tentara Israel bisa sewaktu-waktu masuk ke Gaza atau Yerikho, bila dianggap pihak PLO tak menggubris adanya info tersebut. Ini mirip sikap Israel terhadap Libanon: kapan saja Israel bisa mengebomi Libanon Selatan dengan dalih mengusir teroris dari dekat perbatasan Israel. Mungkin atau tidak hal itu dilakukan Israel tanpa memancing konflik yang lebih besar (mengingat Libanon berada di luar Israel, sedangkan Gaza dan Yerikho berada di dalam Israel plus sejarah permusuhan yang dalam), itu tidak penting. Yang penting adalah yang tersirat dari sikap tersebut: Rabin tampaknya belum benar-benar mempercayai pemerintahan otonomi PLO di Gaza dan Yerikho yang direncanakan. Bila benar demikian, pantas saja dukungan terhadap perjanjian damai itu menurun. Bagaimana bisa diharapkan pihak Israel yang tak percaya pada PLO bisa berubah mempercayainya, bila pemrakarsanya sendiri, Perdana Menteri Yitzhak Rabin, ternyata belum sepenuhnya percaya? Tapi memang terbuka kemungkinan lain. Sikap Rabin yang pelit berkompromi, seperti sudah sering disebutkan, adalah strategi dia untuk melunakkan pihak-pihak yang menentang perjanjian damai. Dengan menunda-nunda pelaksanaan perjanjian damai, antara lain dengan menuntut kejelasan detail mana yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh Israel dan PLO, Rabin menunggu perubahan sikap para penentangnya. Tapi sampai kapan Rabin bisa menunggu tanpa membahayakan perjanjian damai itu? Fakta menunjukkan, justru para pendukung perdamaian kemudian yang berbalik: menentang, atau sedikitnya tak lagi mendukung. Dalam jangka pendek, andai saja penarikan tentara Israel mulai dilaksanakan, keadaan ini akan menjadi sumber konflik antara Israel dan PLO. Dalam jangka panjang, andai pelaksanaan perjanjian tak juga kunjung terwujud, tentu membahayakan kedudukan Partai Buruh dalam pemilu yang Israel mendatang, sekitar dua tahun lagi. Bila Likud menang, kemungkinan besar perjanjian damai Israel-PLO akan dicampakkan. Sejauh ini suara Likud masih mencitakan sebuah Isrel Raya. Di pihak PLO, tak kurang gawatnya bila pelaksanaan perjanjian yang diteken di Washington itu tertunda terus. Beberapa tokoh PLO mulai menyangsikan kepemimpinan Yasser Arafat, yang mereka nilai otokratis, tidak demokratis. Ketika menyiapkan barisan pemimpin untuk pemerintahan otonomi Gaza-Yerikho, kata mereka, Arafat hanya memilih orang-orang yang disukainya, tanpa melalui prosedur pemilihan demokratis. Ini mengakibatkan beberapa pemimpin PLO mengundurkan diri, antara lain Ihab Al-Ashkar, pemimpin Fatah di Jalur Gaza. Ihab tampaknya sudah sama sekali kehilangan kepercayaan pada Arafat. Sampai-sampai ia lebih memilih "tetap menjadi warga wilayah pendudukan" jika "PLO tidak berhasil mendirikan sebuah negara atas dasar demokrasi." Posisi Yasser Arafat memang makin rentan belakangan ini. Tak kurang dari Raja Hussein (Yordania), yang telah menganggap Arafat sebagai saudara perjuangannya, telah melontarkan kecaman keras. Terutama karena beberapa langkah koordinasi mempersiapkan pelaksanaan damai yang sudah disepakati PLO- Yordania ternyata telah diabaikan begitu saja oleh Arafat. Misalnya, menyangkut kerja sama ekonomi, dalam bentuk antara lain keterlibatan bank sentral Yordania untuk mengatur lalu lintas moneter di wilayah Palestina nanti. Kerja sama ini sudah disiapkan beberapa bulan lalu, tapi sampai pekan ini Arafat belum juga teken. Padahal, tanpa dukungan Yordania dan Suriah -- dua negara yang juga terlibat dalam Konferensi Damai Tmur Tengah yang diprakarsai oleh Amerika, dulu -- tampaknya posisi tawar-menawar PLO lemah. Menurut survei majalah The Economist, Israel merasa belum aman meski menyerahkan Gaza-Yerikho pada PLO, meski mendapat jaminan keamanan penuh, bila belum mencapai solusi dengan Suriah. Sebab, akan tetap ada ancaman keamanan, datang dari perbatasannya dengan Suriah, dan itu dikhawatrikan mudah menyulut warga Palestina radikal, misalnya anggota kelompok Hamas atau gerakan perlawanan Islam. Itu sebabnya Perdana Menteri Rabin tak peduli dengan batas waktu. Itu ditegaskannya kembali Kamis pekan lalu, ketika meninjau Jembatan Allenby yang menghubungkan Tepi Barat dengan Yordania. "Batas waktu adalah nomor dua. Yang penting semua perjanjian dibicarakan detailnya, lalu disetujui kedua pihak," kata Rabin. Sebenarnya tak semua pasal perjanjian diributkan Israel. Menurut harian Maarif, ada enam hal yang diprioritaskan Israel: masalah perbatasan, penjagaan di pintu perbatasan, keterlibatan pasukan internasional, jalan raya, tempat-tempat suci, dan jalur jalan menuju Laut Mati. Israel menghendaki menjadi satu- satunya pengontrol semua pintu perbatasan mana pun. Tidak perlu ada pasukan internasional di pintu perbatasan. Di tempat suci, antara lain di makam Nabi Musa dan Nabi Isa, hanya kegiatan keagamaan yang boleh dilakukan warga Palestina. Dan wilayah otonomi Palestina tak meliputi jalur sepanjang 10 km menuju Laut Mati, jalur di tenggara Yerikho. Semua itu bersebalikan dengan keinginan PLO. Tampaknya, tanpa keajaiban semacam yang terjadi di Oslo, yang mendorong lahirnya Deklarasi Prinsip, persetujuan pelaksanaan perjanjian damai belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.Mohamad Cholid (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini