Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan 45 menit dari jantung Kota Ruteng pada awal Agustus lalu berakhir di bibir sebuah gua besar. Pagar kawat membentang di depannya. Ada satu jalan masuk kecil dengan gapura sederhana bertuliskan ”Selamat Datang”.
Gua itu bernama Liang Bua. Dalam bahasa setempat berarti gua (liang) dingin (bua). Letaknya di Dusun Bere, Kecamatan Ruteng. Jaraknya cuma 15 kilometer dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai—kabupaten di ujung paling barat Pulau Flores. Toh perlu waktu cukup lama untuk mencapai Liang Bua. Letaknya di wilayah perbukitan. Jalan ke sana cukup buruk, berbatu-batu dengan kemiringan yang kadang amat terjal. Lubang-lubang besar bekas gerusan banjir adalah pemandangan biasa di tepi jalan.
Toh, Liang Bua yang terpencil ini meraih kesohoran di tingkat internasional sejak tahun lalu. Kesohoran ini bermula dari dua artikel di jurnal ilmiah Nature. Diterbitkan di London, jurnal itu memuat tulisan dua peneliti pada edisi 27 Oktober: Prof Dr Mike Morwood dan Prof Dr Peter Brown, dua peneliti senior dari Universitas New England, Australia. Keduanya mengumumkan telah menemukan spesies Homo baru di Liang Bua. Mereka menamakannya Homo floresiensis.
Fosil itu ditemukan pada awal September 2003 ketika tim Mike Morwood melakukan penggalian bersama tim dari Pusat Arkeologi Nasional yang dipimpin Prof Dr R.P. Soejono. Mereka memperkirakan usia fosil itu 18 ribu tahun dan meninggal pada umur 30 tahun. Tinggi fosil cuma 106 sentimeter. Kepalanya hanya sebesar jeruk bali dengan volume otak 380 sentimeter kubik. Tangannya lebih panjang dari proporsi tangan manusia modern. Diperkirakan, ia mampu berjalan tegak.
Klaim Morwood dan Brown di Nature kontan menggegerkan dunia antropologi. Kalangan antropolog selama ini mengira—sejak punahnya Neanderthal sekitar 40 ribu tahun lalu—spesies genus Homo yang tersisa cuma Sapiens atau manusia modern. Publikasi itu juga yang membuat Liang Bua kerap ditengok para turis mancanegara, terutama peminat antropologi.
Seseorang berpapasan dengan Tempo di depan gapura. ”Anda turis juga?” ia menyapa. Mengaku berasal dari Belanda, pria asing itu mahasiswa antropologi. Dia memutuskan berkunjung ke Liang Bua setelah membaca artikel di Nature. Namun, ia kecewa karena hanya menemukan bekas-bekas galian. ”Sayang tidak ada orang yang bisa menjelaskan semua ini kepada saya,” ujarnya lagi.
Sekilas gua besar itu tampak tak begitu istimewa. Mungkin karena sering digali, dasarnya kini rata. Hanya tersisa sedikit stalagmit menyembul dari bawah. Di atas gua, masih banyak stalaktit bergantungan, namun seperti sudah berhenti tumbuh. Hanya satu-dua stalaktit yang sesekali meneteskan air. Di dasar gua, tiga lokasi bekas galian telah tertimbun rapi. Itu satu-satunya ”jejak” penemuan heboh itu. ”Mereka sudah bawa rangka orang kecil itu ke Jakarta, Karaeng (sapaan hormat dan bersahabat untuk pria dalam dialek setempat),” ujar Karel Sam.
Karel keturunan tu’a golo (pemimpin adat) Rancang. Pada zaman Manggarai masih berbentuk kerajaan, klan Rancang ini yang memimpin Dusun Bere. Dusun ini masuk wilayah Kedaluan (wilayah dalam Kerajaan Manggarai dulu) Cibal, tempat Liang Bua berada. Keluarga Karel Sam memiliki tanah di sekitar gua itu. Dinas Pariwisata Manggarai mempekerjakan dia menjaga situs tersebut sekaligus memungut iuran Rp 5.000 dari setiap pengunjung dewasa.
Atas petunjuk Karel, Tempo mendaki ke bagian yang lebih tinggi. Di sana ada sebuah lorong alam seukuran manusia dewasa. Jika merangkak melalui lorong itu, orang akan sampai ke bagian dalam gua yang tak kalah besarnya. Amat gelap dan pengap. Sepertinya, para pemburu tulang-belulang purba belum menggali di situ.
Karel dan beberapa warga setempat tak punya ingatan khusus tentang sejarah Liang Bua. Justru masyarakat Dusun Teras, sekitar satu kilometer ke arah utara Liang Bua, yang punya cerita. Konon, gua itu diberi nama oleh Magang, seorang pemburu asal Dusun Teras. Maganglah yang mula pertama menemukan Liang Bua bersama lima kawannya saat berburu.
Dahulu kala, di masa Dusun Bere dan Kedaluan Cibal masih penuh hutan, banyak hewan liar hidup dekat pertemuan dua sungai besar Wae Racang dan Wae Mulu. Pada suatu hari, Magang dan teman-temannya berburu ke tempat itu. Mereka meninggalkan Teras pagi-pagi sekali membawa serta lima ekor anjing.
Sial. Hingga sore, belum satu buruan pun terpegang. Padahal sedikitnya mereka memikul pulang lima ekor babi hutan saban kali berburu. Ketika malam turun dan mereka bersiap pulang, tiba-tiba anjing menyalak. Ternyata dua ekor babi hutan muncul. Segera saja binatang itu dikejar oleh Magang dan kawan-kawan. Babi itu gesit larinya, berkali-kali lolos. Di depan sebuah gua, kedua babi itu berubah wujud menjadi burung puyuh, lalu menghilang ke dalam diikuti oleh anjing-anjing yang mengejarnya.
Magang dan teman-temannya menunggu. Kedua anjing mereka tak kunjung keluar. Magang akhirnya mengajak Mambo, salah seorang temannya, menyusul ke dalam. Ternyata gua itu besar dan gelap. Mulanya mereka takut. Tapi, manakala mendapati air menetes dari langit-langit gua, kedua pemburu yang kehausan itu melupakan rasa waswasnya. Buru-buru mereka menampung tetesan air itu dengan tangan, lalu menghirupnya. Dingin dan segar.
Sesaat lewat, dari bagian gua yang lebih dalam, tiba-tiba muncul dua manusia: pendek, hitam, berbulu seperti monyet. ”Mai tite kaeng neki, kudut bantang cama reje leleng kudut tawa lima gantang reges lima leked ce tanah lino ho o (Mari kita tinggal bersama dan bergembira selama hidup di atas bumi ini),” ujar salah satu makhluk yang mengaku bernama Reba Ruek.
Magang dan Mambo menolak. Reba Ruek tiba-tiba menghilang. Ketakutan, keduanya berlari tanpa menoleh. Tiba di Teras—dusun mereka—keduanya meninggal secara misterius. Sejak itu masyarakat setempat menamakan gua itu Liang Bua. Kisah Magang dan Mambo menjadi buah bibir sampai turun-temurun. Takut akan Reba Ruek, penduduk Teras tak lagi berani berburu di wilayah Dusun Bere.
Mitos tentang Reba Ruek ini kembali ramai dituturkan warga setempat menyusul penemuan fosil manusia katai purba di Liang Bua. Fosil ini ditemukan pertama kalinya pada awal September 2003. Mungkinkah ketujuh fosil Hobbit (nama komunitas katai rekaan J.R.R. Tolkien dalam cerita Lord of the Rings) yang ditemukan di Liang Bua adalah keluarga Reba Ruek?
”Ah, itu cuma legenda. Secara rasional tidak bisa dibuktikan,” ujar pakar folklore Universitas Indonesia, Prof Dr James Danandjaja, mengomentari dongeng tentang Reba Ruek. Cerita itu, menurut James, tak memiliki bentuk khas. ”Orang Bunian di Sumatera punya legenda tentang manusia bersisik, berwarna hijau, dan memiliki ekor. Struktur ceritanya sama.”
Dalam kehidupan sehari-hari, folklore atau cerita rakyat, menurut James, muncul ketika manusia mencoba menjelaskan fenomena alam di sekitarnya. Kadang tidak masuk akal. Namun, karena memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, folklore bisa bertahan lama. ”Kalaupun mati suri, dia akan hidup lagi jika fungsinya ditemukan kembali,” ujarnya
Folklore bisa menjadi penjelasan alternatif jika ada jejak putus dalam rantai sejarah. ”Kalau tidak ada catatan sejarah yang cukup, kita bisa coba mencari penjelasannya dalam cerita rakyat,” James melanjutkan. Di Flores, sebagian besar kehidupan prasejarah diperkirakan terkubur bersama muntahan larva, batu, dan berbagai material panas ketika letusan gunung berapi yang mahadahsyat melanda pulau kecil itu 12 ribu tahun lalu.
Menelusuri jejak-jejak Hobbit Flores, Tempo sampai ke Museum Bikon Blewut, di Seminari Tinggi Ledalero, Maumere. Di museum inilah Pater Dr Theodore Verhoeven SVD, seorang misionaris asal Belanda, menyimpan sebagian penemuan arkeologisnya saat melakukan berbagai penggalian di Flores pada era 1950-1960-an.
Pater Verhoeven adalah ahli antropologi linguistik pertama yang menemukan tanda-tanda kehidupan prasejarah di Flores. Di Lembah Soa, Kabupaten Ngada, pada 1951, ia menemukan peralatan batu yang umurnya kira-kira 840 ribu tahun (lihat, Dari Afrika ke Daratan Flores). Hasil itu ia umumkan di jurnal arkeologi Anthropos, terbitan Wina, pada 1951. Verhoeven menyimpulkan, Homo erectus yang sudah menetap di Jawa sejak 1,5 juta tahun lalu entah bagaimana menyebar ke Flores.
Sebagian temuan Verhoeven—termasuk alat-alat purba dari berbagai zaman di Flores itu dan fosil stegodon (gajah purba)—tersimpan rapi di Bikon Blewut. Dekat artifak-artifak prasejarah itu ada sebuah poster besar mengenai penemuan fosil orang pendek di Liang Toge, sekitar 30 kilometer ke arah utara dari Liang Bua. Menurut Verhoeven, itulah nenek moyang ras Negrito, setua Pithecanthropus dan Homo soloensis. Karena itu, pastor antropolog asal Belanda ini memberi nama fosil itu Protonegrito florensis.
Pengelola Museum Bikon Blewut, Pater Ansel Doredae SVD, bercerita, ketika melakukan penggalian pada periode 1950-1960-an itu Verhoeven membawa serta tiga muridnya di Seminari Mataloko, Ngada. Salah satunya Rokus Due, kini pegawai Pusat Arkeologi Nasional dan anggota tim Mike Morwood. Pater Ansel menduga tim Morwood hanya mengikuti jejak-jejak galian Verhoeven sesuai dengan petunjuk Rokus.
Dia benar. Morwood dan teman-teman menggali di bekas temuan Verhoeven. Namun, Thomas Sutikna, pegawai Pusat Arkeologi Nasional yang menjadi koordinator lapangan dalam penggalian itu, berkeras Homo floresiensis temuan baru. ”Verhoeven hanya menggali sampai kedalaman dua meter. Kami menggali jauh lebih dalam,” ujarnya. Tepatnya, fosil Hobbit Flores mereka temukan pada kedalaman 5,85-5,95 meter, di bawah lapisan vulkano purba.
Pater Ansel bukan orang pertama yang mempertanyakan klaim Morwood dan Brown di Nature. Di Yogyakarta, seminggu setelah dua artikel Morwood dan Brown terbit di jurnal Nature, pakar antropologi ragawi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Teuku Jacob, dan rekannya, Etty Indriati, menggelar konferensi pers di Laboratorium Paleoantropologi UGM, Bulaksumur. Menurut mereka, fosil di Liang Bua itu hanya Homo sapiens yang mengidap penyakit mikrosefali.
Mikrosefali membuat ukuran kepala Hobbit Flores tak berkembang dan volume otaknya hanya sebesar otak simpanse. Ini kelainan genetis yang jarang terjadi. Kecuali dalam perkawinan sedarah, Jacob mengatakan, kemungkinan munculnya penyakit ini menjadi lebih besar, mencapai 1 : 25 ribu. Adapun ukuran tubuh yang kecil dan pendek merupakan akibat dari evolusi di pulau kecil yang serba terbatas. ”Makanan dan lain-lain terbatas, sementara mereka terpisah dari pulau-pulau lain. Lama-kelamaan mereka menyesuaikan diri,” ujarnya.
Laboratorium Paleoantropologi UGM meminjam fosil itu dari Pusat Arkeologi Nasional untuk diteliti secara lebih saksama. Kesimpulannya sama saja. Bahkan mereka mengaku menemukan beberapa kekeliruan Morwood yang lain. Kerangka yang katanya wanita, menurut mereka pria. Dan jauh lebih tinggi, sekitar 126 sentimeter. ”Jadi, itu adalah Homo sapiens, pigmi, dan mikrosefali,” ujar Etty (lihat, Wawancara Etty Indriati).
Toh gugatan-gugatan itu tak menggoyahkan Morwood dan teman-temannya. Arkeolog dari Universitas New England, Australia, itu berkeras: temuan mereka di Liang Bua adalah spesies Homo yang baru. ”Mikrosefali mempengaruhi volume otak, namun tak membuat seseorang memiliki kaki, tangan, pinggul, gigi, rahang yang unik,” katanya (lihat, Wawancara Mike Morwood).
Konferensi pers di UGM itu terus memantik perdebatan mengenai status Hobbit Flores. Para ahli dari berbagai belahan dunia turut urun pendapat. Ada yang membela Jacob. Ada yang mendukung Morwood. Pers pun ikut ambil bagian. ”Di Australia, tak ada media yang membela saya. Di Turki, Timur Tengah, dan Afrika umumnya membela saya, tapi alasannya lucu, hanya karena saya berseberangan dengan orang Australia,” ujar Teuku Jacob sambil tertawa.
Agar mendapatkan lebih banyak bukti untuk memperkuat kesimpulan mereka yang bertentangan dengan teori Morwood dan Brown, April lalu Jacob memimpin tim UGM meneliti ke Liang Bua. Di luar dugaan, perjalanan itu mengungkap sebuah fakta baru: ada perkampungan pigmi di dekat Liang Bua!
”Hingga beberapa waktu lalu, para ahli hanya menemukan jejak orang katai di beberapa tempat berbeda. Kini kita bisa melihat mereka hidup dan bermasyarakat,” ujar Prof Jacob saat mengumumkan penemuan itu sepulang mereka dari Manggarai.
Kampung yang dimaksudkan oleh Jacob dan timnya bernama Rampasasa. Dusun kecil itu terletak di daerah gunung di Kecamatan Waerii, sekitar satu kilometer dari Liang Bua. Sekilas tak berbeda dari dusun-dusun di sekitarnya: amat sederhana. Tapi, begitu kita masuk, keunikannya langsung terasa. Postur penduduk di sana pendek-pendek. Dari empat tetua adat mereka, misalnya, hanya seorang yang memiliki tinggi 160-an sentimeter. Tiga lainnya 150 sentimeter pun tak sampai.
Tu’a golo masyarakat adat Rampasasa, Viktor Jerubu, 65 tahun, tingginya cuma 147 sentimeter. Ketika Tempo bertamu ke gendang (rumah adat) Rampasasa, dia mengeluarkan selembar koran lusuh dari kamarnya. ”Ini Empo Paju,” katanya sambil menunjuk sebuah sketsa pada koran tersebut (lihat, Kaum Keturunan Empo Paju). Itu rekaan Homo floresiensis, digambarkan sebagai orang katai berbulu tebal di sekujur tubuh.
Masyarakat Rampasasa meyakini Empo Paju atau Kakek Paju itu nenek moyang mereka. Konon, Paju mirip sketsa pada koran lusuh itu. Terungkapnya kehadiran komunitas pigmi di Manggarai membuat kontroversi seputar Homo floresiensis kian seru. Jacob dan timnya memang belum menyimpulkan apa pun yang mengaitkan orang Rampasasa dengan fosil di Liang Bua. Namun, terinspirasi oleh kisah Empo Paju, beberapa media lokal di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah mulai menghubung-hubungkan fosil Hobbit di Liang Bua dengan penduduk Rampasasa.
Itu yang kini menjengkelkan Frans Salesman, pemuka masyarakat Rampasasa. ”Seharusnya mereka menunggu bukti ilmiah yang lebih pasti,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Manggarai itu. ”Mudah-mudahan penelitian tim dari UGM cepat rampung agar teka-teki tentang asal-usul orang Rampasasa menjadi jelas,” ujarnya lagi.
Lepas dari segala kontroversi, penemuan fosil manusia katai di Liang Bua membawa berkah tersendiri bagi Manggarai dan tentu saja Dusun Rampasasa, yang letaknya sekitar seratus meter dari ruas jalan menuju situs prasejarah itu. Jumlah wisatawan yang sempat melorot ke angka 3.510 pada 2003 kembali menanjak ke angka 7.147 pada 2004.
Lonjakan besar jumlah turis asing terjadi pada akhir tahun 2004. ”Kebanyakan akademisi dari Prancis dan Swedia yang secara khusus ingin melihat Liang Bua dan Rampasasa,” ujar Maxi Teras, Kepala Tata Usaha Dinas Pariwisata Manggarai. Dia berharap grafik jumlah pengunjung terus meningkat. ”Kan ada banyak hal lain yang unik di Flores,” ujarnya (lihat, Jejak Tua di Pulau Bunga).
Awal tahun ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai telah mengajukan usulan ke pemerintah pusat untuk membangun sarana pendukung seperti museum bertaraf internasional, penginapan, serta berbagai fasilitas lain di Liang Bua. ”Termasuk meminta repro tengkorak serta kerangka yang terkenal itu untuk kami simpan di museum,” kata Frans.
Tapi ”restu” dari atas belum turun. Toh, menurut Frans, ada pekerjaan penting yang harus segera dilakukan pemda, yakni membereskan jalan penuh lubang ke situs prasejarah itu, yang bisa membikin kumat sakit encok para turis.
Dari Afrika Ke Daratan Flores
”Out of Africa” adalah suatu hipotesis yang menduga manusia modern berkembang dari sebuah populasi kecil di Benua Afrika, yang lalu menyebar ke seluruh dunia. Ini antara lain karena fosil Homo tertua, Homo habilis, ditemukan di sana. Berikut urut-urutan spesies Homo:
AFRIKA
EROPA
Homo Erectus Menyebar dari Afrika
CINA
Jalan Panjang ke Liang Bua
1930-an Para ahli dari Belanda mulai melakukan penggalian arkeologi di Flores.
1951 Pastor Dr Theodore Verhoeven SVD menemukan fosil stegodon (gajah purba) dan peralatan batu dari 840 ribu tahun lalu di dekat Lembah Soa, Manggarai.
1954 Verhoeven menggali beberapa gua di Manggarai dan menemukan fosil manusia pendek di Liang Toge, sekitar 30 kilometer dari Liang Bua. Dia menamakan temuan itu Proto-negrito florensis.
1965 Verhoeven kembali melakukan penggalian di Liang Bua dan menemukan tujuh fosil.
1978 Tim Pusat Arkeologi Nasional mulai melakukan penggalian di Liang Bua. Prof Dr R.P. Soejono memimpin ekspedisi ini.
2000 Dr Mike Morwood, arkeolog dari Universitas New England, Australia, yang lebih dikenal sebagai ahli lukisan kuno di gua, meminta izin kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk meneliti di Liang Bua. Permintaannya ditolak.
2001 Morwood akhirnya mendapat izin melalui Pusat Arkeologi Nasional. Bersama-sama ahli dari Pusat Arkeologi Nasional, tim dari Universitas New England, Australia—selaku penyandang dana—mulai menggali di Liang Bua. Murid Verhoeven, Rokus Dae, memandu mereka.
2003 Pada awal September, tim peneliti Indonesia dan Australia itu menemukan fosil manusia purba setinggi 106 sentimeter di Liang Bua pada kedalaman 5,85-5,95 meter.
2004 Morwood dan rekannya dari Universitas New England, Dr Peter Brown, menerbitkan dua artikel tentang Homo floresiensis di jurnal Nature pada 27 Oktober. Seminggu kemudian, Prof Dr Teuku Jacob membantah fosil itu sebagai spesies Homo baru.
2005 Pada April, Prof Dr Teuku Jacob memimpin tim dari Universitas Gadjah Mada mengunjungi Liang Bua. Mereka menemukan komunitas katai (pigmi) di Dusun Rampasasa, Kecamatan Waerii, Manggarai, yang letaknya hanya sekitar 1 kilometer dari situs prasejarah itu.
Sumber: National Geographic
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo