Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rofinus Jangkung adalah nama yang agak berlebihan bila menilik rupa yang empunya nama: tingginya cuma 145 sentimeter. Pria berumur 70 tahun itu adalah sesepuh Rampasasa, sebuah dusun dataran tinggi di wilayah Kecamatan Waerii, Kabupaten Manggarai, Flores Barat. Kaum kerabat Rofinus pun kurang padan mewarisi nama keluarga Jangkung. Anaknya, Siprianus Tuas: 149 sentimeter. Istri-istri dan anak per-Empoan mereka 140 sentimeter tak sampai.
Hari itu—suatu petang pada pertengahan Agustus lalu—Tempo datang ke Rampasasa. Wartawan mingguan ini, yang tingginya 162 sentimeter, tiba-tiba terlihat jangkung di tengah penduduk dusun itu. Rofinus dan warga dusun datang berkumpul di gendang (rumah adat Manggarai) pada sore hari itu. Bangunannya amat sederhana. Dindingnya dari bambu yang mulai rapuh. Lantainya tanah, bukan panggung seperti lazimnya rumah adat Manggarai. Tumpukan padi yang baru dituai tergeletak di salah satu pojok ruang tengah, menebarkan aroma harum samar-samar.
Dusun itu berjarak sekitar satu kilometer dari Liang Bua, tempat para peneliti Indonesia dan Australia menemukan tengkorak manusia prasejarah yang hidup kira-kira 18 ribu tahun lalu. Sekitar 80 persen warga dusun ini berukuran pigmi atau katai. Tinggi mereka rata-rata 140 sentimeter lebih. Orang pun mulai bertanya-tanya adakah mereka punya hubungan dengan fosil Hobbit Flores setinggi 106 sentimeter yang ditemukan di Liang Bua.
Di tengah kerumunan warga dusun, Rofinus menuturkan ulang sejarah kampungnya kepada Tempo. ”Rampasasa berasal dari kata rampas,” ujarnya. Dalam bahasa setempat berarti merebut. ”Kami ini keturunan Empo Paju,” ia melanjutkan. Paju dan keturunannya konon pernah tinggal di Dusun Bere tempat Liang Bua berada. Lantaran kalah perang melawan orang Teras, mereka terpaksa hengkang dan merampas Dusun Rampasasa sejak beberapa generasi lalu.
Viktor Jerumbu, 65 tahun, tu’a golo (pemimpin adat) Rampasasa, kemudian meneruskan kisah Empo Paju. Awalnya sekitar 800 tahun lalu. Suku mereka masih berdiam di Dusun Akel, satu kilometer dari Rampasasa. Sudah menjadi kebiasaan, para wanita setiap hari mengantarkan makanan untuk ayah dan saudara laki-laki mereka yang bekerja di kebun. Suatu hari dalam perjalanan pulang dari kebun, dua anak gadis tetua adat suku bertemu seorang lelaki pendek, kecil, dan hitam. Bulu lebat tumbuh di sekujur tubuh serta wajahnya. Orang itu tengah asyik menguliti seekor babi hutan.
Mereka berkenalan. Lelaki itu bernama Paju. Dan dia hendak menyantap daging babi mentah-mentah. Merasa risi, kedua gadis itu mencegah. ”Jangan. Lebih baik kau bakar dulu, baru makan.” Dia menurut. Daging babi mereka panggang dan makan bersama. Ternyata lezat melelehkan lidah.
Selesai makan, Paju, yang seketika kepincut pada kedua nona itu, minta ikut. Yang diminta tidak menolak. Mereka lalu mengendap-endap kembali ke Akel. Agar tidak ada orang yang tahu, Paju diselundupkan ke dalam gendang melalui kolong dengan membuka lencar (lantai rumah panggung yang terbuat dari bambu). Sejak itu, mereka bertiga hidup bersama.
Hari pertama, kedua, ketiga, segala sesuatu berjalan lancar. Rahasia tiga insan yang tinggal bersama dalam salah satu kamar di gendang aman-aman saja. Lama-kelamaan orang tua kedua gadis itu mulai curiga, kok akhir-akhir itu dua anak mereka selalu meminta agar makanan yang diantar ke kamar mereka porsinya lebih banyak dari biasanya.
Sampai suatu ketika, ayah kedua gadis itu sengaja pulang lebih cepat dari kebun. Astaga. Dia memergoki Paju sedang bersama kedua gadis itu. ”Kenapa kalian menyembunyikan orang ini?” tanya orang tua itu dengan marah. Keduanya menangis. ”Hiat toe pake deko (dia tidak memakai celana),” jawab mereka.
Dusun geger. Sidang adat digelar. Orang tua kedua nona itu menuntut Paju membayar mas kawin 10 ekor kuda dan 10 ekor kerbau serta mengawini anak-anak mereka. Paju setuju. Singkat cerita, mereka menikah dan memiliki keturunan yang pendek-pendek.
Cerita mengenai Empo Paju menurun dari ke generasi ke generasi secara lisan. Masyarakat Rampasasa percaya, postur tubuh mereka yang pendek adalah warisan dari Paju. Bedanya, tubuh mereka tak lagi berbulu seperti leluhurnya. ”Bulu di tubuh Empo Paju gugur semua sehabis makan daging babi yang dipanggang anak-anak nona kami,” ujar Viktor.
Viktor kemudian berlalu ke biliknya sejenak. Rumah gendang itu memiliki empat kamar. Keluarga tu’a golo dan tiga tetua adat lain menempatinya bersama-sama. Ada empat kamar besar, dua di kiri dan dua di sebelah kanan ruang tengah. Dapur berada di belakang, digunakan bersama.
Beberapa menit kemudian Viktor keluar lagi. ”Ini Empo Paju,” katanya sambil menunjukkan gambar orang bertubuh pendek, hitam, berbulu, tengah memikul seekor babi hutan, yang terdapat pada selembar koran lusuh. Itu sketsa rekaan Hobbit Flores. Viktor mendapatkan koran itu beberapa bulan lalu. Sebagian dari mereka percaya, itu gambar Empo Paju yang tertangkap kamera pada saat para wartawan memotret Liang Bua.
”Jadi begitu, Karaeng (sapaan hormat untuk pria),” kata Viktor menutup ceritanya kepada Tempo. Menurut dia, keturunan Empo Paju kini tersebar di dua dusun, Rampasasa dan Akel di Kecamatan Waerii. Orang tertua suku mereka saat ini adalah Yohanes Dak, tinggal di gendang Akel. Usia Kakek Yohanes sudah 115 tahun. Tingginya cuma 105 sentimeter.
Siang itu Viktor baru kembali dari Akel, memimpin acara Teing Ela Tinu (menyuguhkan babi) untuk Yohanes, yang tengah menderita sakit berat. ”Ini adat kami orang Manggarai. Sebagai ucapan terima kasih kami, anak-anak, kepada orang tua,” tuturnya kepada wartawan mingguan ini.
Sebagai mantu paling tua dari Kakek Yohanes, Viktor punya kewajiban memimpin acara adat itu. Apalagi Yohanes bukan orang lain. Dia saudara laki-laki dari ibu Viktor. ”Kami kawin tungku tiga kali,” ujar Viktor. Ayah dan ibu Yohanes bersaudara sepupu.
Kawin tungku atau mengawini anak perempuan paman adalah lazim dalam adat perkawinan di Manggarai, selain kawin cangkeng (perkawinan dengan orang di luar keluarga). Itu terjadi karena adat setempat memberi hak kepada anak laki-laki dari saudara perempuan (anak wina) untuk mengawini anak perempuan dari saudara laki-laki (anak rona)—semacam perkawinan antar-sepupu.
Sejak beberapa puluh tahun lalu Gereja Katolik di Flores telah melarang perkawinan tungku. Tapi adat ini masih berlangsung di Rampasasa. Dari 76 keluarga di dusun itu, hanya sedikit yang suami atau istrinya berasal dari klan lain. ”Meski suaminya orang tinggi (berpostur tinggi—Red) dari luar, anak per-Empo-an mereka tetap pendek-pendek,” ujar Viktor sambil terkekeh-kekeh. Viktor sendiri tingginya tak sampai 150 sentimeter.
Nah, mungkinkah Empo Paju keturunan manusia gua prasejarah yang fosilnya ditemukan di Liang Bua? Frans Salesman, pemuka masyarakat Rampasasa yang kini menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Manggarai, menjawab: ”Saya ragu,” katanya. ”Paju hidup sekitar tahun 1200 Masehi, sementara fosil Homo floresiensis itu berusia 18 ribu tahun. Saya baru percaya kalau ada pembuktian ilmiah, misalnya tes DNA (deoxyribonucleic acid).”
Tapi cerita Empo Paju, menurut Frans, bukan mitos. Bapaknya, seorang guru sekolah dasar di Liang Bua pada tahun 1950-an, pernah mengatakan Empo Paju berasal dari Ngada. ”Dia mengawini anak per-Empo-an kami dan pindah menetap bersama kami. Kuburan Paju sampai sekarang masih ada,” Frans mengutip kata-kata bapaknya.
Di Kabupaten Ngada, yang berbatasan dengan Kabupaten Manggarai, memang ada legenda tentang komunitas orang kecil. Masyarakat setempat menyebut mereka Ebu Gogo. Dalam bahasa Ngada, berarti nenek (ebu) pemakan segala (gogo). Mereka hidup bersama manusia, namun hanya bisa menirukan kata-kata, seperti burung nuri. Ada cerita, komunitas itu mulai terlihat bersamaan dengan datangnya kapal-kapal dagang Belanda di Flores sekitar 300 tahun lalu. Ada juga yang bilang, mereka sudah hidup di Ngada jauh sebelum itu.
Semuanya memang serba lisan—dan tak pernah terbukti secara ilmiah apakah Empo Paju sungguh-sungguh ada. Dan juga apakah pernah melanglang dari Ngada menuju Manggarai serta meninggalkan kaum keturunan yang berukuran mini hingga berabad-abad kemudian.
Jejak Tua di Pulau Bunga
Penemuan fosil ”Hobbit” di Liang Bua membuat Pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur kian dikenal. Nama pulau ini berasal dari Cabo da Flora atau Pulau Bunga, yang diberikan oleh para penjelajah Portugis ketika menjejaki pulau ini pada 1512. Konon karena mereka takjub menemukan bunga-bunga indah saat berlabuh di Flores.
Belakangan, kian banyak keunikan yang terkuak dari Pulau Bunga: danau tiga warna Kelimutu, biawak raksasa komodo, taman laut, dan berjenis-jenis burung yang khas. Berikut berbagai keunikan yang tersebar di lima kabupaten di pulau tersebut.
1 Kabupaten Manggarai Barat Di wilayah ini terdapat taman laut yang indah dan kaya, juga kadal raksasa atau Varanus komodoensis. Hewan dari zaman purba ini hidup di dua pulau kecil, Komodo dan Rinca. Di Pulau Komodo juga hidup burung kakatua kecil jambul kuning, yang terancam punah.
2 Kabupaten Manggarai Beberapa burung khas Flores bisa ditemui di hutan-hutan Kabupaten Manggarai di Flores Barat. Antara lain kehicap Flores, gagak Flores, serindit Flores, celepuk Flores, yang semuanya kini terancam punah. Banyak peninggalan prasejarah ditemukan di wilayah ini. Dari peralatan batu berusia 840 ribu tahun di Lembah Soa hingga Hobbit Flores yang unik. Belakangan diketahui ada perkampungan pigmi di Rampasasa.
3 Kabupaten Ngada Cukup banyak artifak purba ditemukan di daerah ini. Antara lain fosil stegodon (gajah purba) kecil dari 300 ribu tahun lalu di Desa Ola Bua. Di hutan-hutannya hidup beberapa jenis burung yang indah.
4 Kabupaten Ende Lio Belanda pernah mengasingkan Soekarno ke Kota Ende, ibu kota kabupaten. Rumah yang dulu ditinggali presiden pertama RI itu masih bisa kita temui sampai sekarang. Ende sohor oleh danau tiga warna di puncak Gunung Kelimutu.
5 Kabupaten Sikka Gugus Teluk Maumere (Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka) memiliki salah satu kehidupan bawah laut dan terumbu karang yang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Di hutan Gunung Egon, hidup beberapa jenis burung yang khas, antara lain gosong kaki merah.
6 Kabupaten Flores Timur Kabupaten ini menyimpan banyak tradisi tua yang masih hidup hingga saat ini: dari acara berburu ikan paus di Pulau Lembata pada musim-musim tertentu hingga prosesi religius menjelang hari raya umat Katolik, Paskah, di Larantuka. Juga terdapat Gunung Lewotobi dengan puncak kembarnya (laki-laki dan perempuan) serta hutan lebat di atas bekas aliran lava yang berlapis-lapis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo