Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMIS pagi, 31 Desember 1931, Mohammad Hoesni Thamrin sudah berada di rumah Inggit Garnasih, istri Sukarno, di Jalan Ciateul (kini Jalan Inggit Garnasih), Bandung, Jawa Barat. Mereka akan menjemput Sukarno, yang hari itu dibebaskan dari penjara Sukamiskin. Selain M.H. Thamrin, hadir beberapa tokoh pergerakan lain, termasuk Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamidjojo, dan Sartono. Peristiwa ini dikisahkan kembali oleh Inggit dalam buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno yang ditulis Ramadhan K.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk penjemputan itu, Inggit mengajak Ratna Djuami, putri angkatnya yang berusia delapan tahun yang biasa disapa Omi. Mereka semobil dengan Thamrin dan Sartono. Di Sukamiskin, hanya Thamrin, Inggit, dan Omi yang diizinkan masuk. Penjemput lain menunggu di halaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga orang itu menunggu beberapa saat di ruang tamu. “Betapa gelisahnya aku waktu itu tidak perlu lagi aku beberkan. Barangkali tak beda dengan sewaktu aku akan dinikahkan dengannya sekian tahun yang lalu,” tutur Inggit dalam buku tersebut.
Sukarno kemudian keluar. Inggit dan Omi bergantian memeluk dan mencium pipinya. Thamrin juga menyambut Bung Karno dengan pelukan hangat.
Setelah meninggalkan Sukamiskin, iring-iringan mobil mereka dihentikan sepasukan polisi yang dipimpin Komisaris Polisi Albrechts. Tanpa berbicara, Albrechts merobek bendera Merah Putih yang terpasang di mobil itu dan menginjak-injaknya.
Empat terdakwa dari kiri Maskun, Supriadinata, Sukarno, dan Gatot Mangkupraja di depan gedung Landraad, Bandung, 18 Agustus 1930. (sumber: Buku Indonesia Menggugat, 1951)
Thamrin pun keluar dari mobil. Ia terlihat bertengkar dengan polisi Belanda itu.
“Apa yang terjadi? Apa yang ia katakan?” Sukarno bertanya setelah Thamrin kembali ke mobil. “Gila dia. Saya katakan, ia tidak berhak merusak bendera itu. Itu adalah milik orang lain,” ucap Thamrin. “Saya katakan, akan saya bawa soal ini ke Volksraad. Biar dia ketakutan.” Lalu Thamrin tertawa sedikit keras.
•••
SUKARNO pada hari itu dibebaskan setelah dipenjara selama hampir setahun. Dulu ia ditangkap di Surabaya, 9 Desember 1929, bersama Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata. Mereka dituduh terlibat organisasi yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda. Mereka ditempatkan di penjara Banceuy, Bandung.
Kondisi sel Sukarno buruk. Ia harus tidur di lantai hanya beralas tikar. Kamar mandi berada di luar sel dan digunakan bersama-sama tahanan lain. Di sel yang sempit dan pengap itu, Sukarno ditahan selama delapan bulan.
M.H. Thamrin mempersoalkan kondisi ruang tahanan Sukarno itu di Volksraad, dewan perwakilan rakyat bentukan pemerintah Hindia Belanda, pada 24 Maret 1930. Seperti diceritakan dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin karya Bob Hering, Thamrin menyampaikan pertanyaan tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kecilnya ukuran sel itu. Menurut dia, tahanan politik semacam Sukarno seharusnya tidak diperlakukan seperti tahanan kriminal biasa.
Thamrin bersama Sartono juga membantu Sukarno menyusun pleidoi legendaris “Indonesia Menggugat” di Banceuy. Mereka memasok alat tulis dan bahan rujukan yang diperlukan. Pada saat yang sama, keduanya juga membantu Inggit Garnasih dengan uang untuk menyokong kebutuhan sehari-hari.
Inggit mengungkapkan hal itu dalam Kuantar ke Gerbang. “Selain naskah yang diperlukan Kusno, ada sehelai amplop buatku. Waktu aku buka amplop itu, ternyata di dalamnya ada uang 50 gulden, jumlah yang lumayan. Betapa girangnya aku tidak bisa aku lukiskan. Bantuan dari Sartono dan Thamrin itu—begitu ditulis oleh Sartono dalam suratnya kepadaku—datangnya tepat pada waktu aku memerlukannya sekali,” tuturnya. Kusno adalah nama kecil Sukarno.
Arsip foto Mohammad Hoesni Tamrin milik Diennaryati Tjokrosuprihatono. (Repro: Tempo/Martin Yogi Pardamean)
Thamrin secara teratur menghadiri persidangan Sukarno, yang dimulai pada 18 Agustus 1930. Ia selalu duduk di deretan bangku depan untuk memberikan dukungan moril, termasuk saat Sukarno melakukan pembelaan dengan membacakan “Indonesia Menggugat”.
Bob Hering menggambarkan aksi Sukarno saat membacakan pembelaan itu sebagai penampilan yang mempesona dan hebat. Namun pleidoi tersebut tak mempengaruhi para hakim. Pada 22 Desember 1930, Sukarno divonis hukuman empat tahun penjara. Tiga rekannya mendapat hukuman beragam, tapi lebih ringan. Mereka kemudian menjalani hukumannya di penjara Sukamiskin. Sukarno akhirnya dibebaskan setelah mendapat ampunan.
•••
SUKARNO dan M.H. Thamrin kerap digambarkan sebagai dua sosok yang berseberangan. Tapi kejadian-kejadian tersebut menunjukkan keduanya sebenarnya berhubungan erat. Sukarno, yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, memilih jalan keras dalam pergerakan. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa mau bekerja sama dengan penjajah Belanda. Ia berada di garis nonkooperatif dan lebih mengandalkan aksi massa.
Sebaliknya, Thamrin memilih berada di jalur kooperatif. Gugatannya terhadap pemerintah kolonial Belanda ia suarakan melalui Volksraad sejak ia diangkat menjadi anggota dewan itu pada 16 Mei 1927.
Meskipun menempuh cara berbeda, kedua gerakan memiliki tujuan yang sama. Thamrin pun pernah menekankan hal itu dalam pidatonya di Volksraad. “Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama, yakni Indonesia merdeka!” katanya.
Perbedaan pilihan taktik ini, menurut Bob Hering, mungkin terjadi karena keduanya memiliki latar belakang pembawaan dan karakter yang berbeda. Sukarno adalah pribadi yang penuh pesona. Gelora kata-katanya mampu menggetarkan hati pendengarnya. Imajinasinya melayang jauh ke depan, yang membuat ia lebih tertarik pada masalah-masalah besar. Bung Karno bukan meremehkan soal-soal kecil, tapi selalu berpendapat bahwa masalah-masalah detail akan bisa diselesaikan nanti bila Indonesia sudah merdeka dan demokrasi ditegakkan.
Adapun Thamrin memiliki pembawaan santun dan tenang. Ia lebih mencerminkan seorang pekerja keras yang dengan teliti memperhatikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat kecil, seperti permukiman, sandang-pangan, lapangan kerja, pajak, sewa tanah, dan harga barang.
Dengan taktik perjuangan berbeda, keduanya tidak lantas berseberangan. Sejarawan JJ Rizal melukiskan keduanya sebagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Thamrin adalah pengagum Sukarno, menaruh respek terhadap pemikirannya, dan bahkan terinspirasi. “Dari pengagum ia kemudian naik dengan menjadikan tokoh yang dikaguminya itu partner diskusi dan perjuangan,” ujar Rizal pada Senin, 5 Agustus 2024.
Sel nomor lima dan patung Sukarno di eks penjara Banceuy yang dibangun pada tahun 1877 di Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 2024. Tempo/Prima Mulia
Pertalian awal Thamrin dengan Sukarno terjalin lewat Front Sawo Matang. Ini adalah wadah yang digagas Sukarno untuk menyatukan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang memiliki ideologi dan latar belakang berbeda.
Dalam pertemuan di Bandung, 17-18 Desember 1927, Front Sawo Matang dilembagakan menjadi federasi Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Beberapa organisasi pergerakan nasional bergabung, seperti PNI, Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Sumatranen Bond, Pasundan, dan Kaum Betawi. Sukarno kala itu menjadi pemrakarsa yang mewakili PNI dan Thamrin dari Kaum Betawi.
Peran Thamrin untuk PPPKI cukup besar. Hartawan yang dermawan itu membeli sebuah gedung untuk dihibahkan kepada federasi tersebut. Gedung ini kemudian dijadikan Sekretariat PPPKI dan diberi nama Gedung Permufakatan Indonesia, yang kini menjadi Museum M.H. Thamrin.
Thamrin juga mengadopsi gagasan Front Sawo Matang di Volksraad. Pada 27 Januari 1930, ia mengumumkan pembentukan Fraksi Nasional yang diisi 10 anggota Volksraad dari kalangan pribumi. Fraksi itu terkenal dengan kecaman-kecaman pedasnya terhadap kebijakan pemerintah Kolonial. Dengan posisinya itu, Thamrin menjadi penghubung antara kelompok pergerakan yang kooperatif dan grup nonkooperatif. Ia sekaligus menjadi jembatan kelompok pergerakan dengan Volksraad.
Ketika para tokoh pergerakan ditangkap Belanda dan banyak yang diasingkan, Thamrin mengambil peran sangat penting. Ia menjadi ujung tombak pergerakan yang terus menggelorakan aspirasi kemerdekaan Indonesia secara terbuka di dalam sistem yang diciptakan Belanda sendiri.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge sempat menuangkan kerisauannya mengenai ancaman Thamrin itu dalam memoarnya yang dikutip Bob Hering. “Adakah kita akan pernah mampu mengerti Thamrin? Ia paling buruk dari semuanya, kompeten, dan cerdik. Dalam satu segi saya menyukainya, tapi saya akan sangat senang jika dapat melihat ia dikirim ke Banda atau tempat lain. Itu tidak terjadi; ia tidak memberi saya kesempatan,” ucapnya. De Jonge juga menyebutkan Thamrin telah membuat “gerakan pribumi menjadi jauh lebih pintar dan benar-benar menggunakan otak”.
Sukarno masuk jajaran tokoh pergerakan yang diberangus pada 1930-an. Penangkapannya terjadi di depan rumah Thamrin di Jalan Sawah Besar pada Selasa dinihari, 1 Agustus 1933.
Kala itu Sukarno bersama beberapa tokoh pergerakan lain yang baru selesai menghadiri rapat Partai Indonesia bersantap di rumah Thamrin. Mereka berdiskusi tentang situasi pergerakan yang makin genting. Thamrin dan tokoh lain menasihati Sukarno agar bisa bersikap lebih moderat.
Saat makan malam berlangsung, polisi menunggu di luar rumah. Mereka tak memiliki izin memasuki rumah Thamrin dan meminta berbicara dengan Sukarno.
Di halaman rumah, Sukarno menanyakan alasan polisi meminta bertemu dengannya di tengah malam. Polisi menjawab bahwa mereka membawa surat penangkapan. Ketika ditanyai mengenai alasan penangkapan itu, mereka menjawab tak tahu dan hanya menjalankan perintah.
Sukarno akhirnya diciduk. Amplop uang untuk istrinya, yang merupakan pemberian Thamrin, disita polisi. Menurut Bob Hering, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad memberitakan bahwa polisi meneruskan amplop itu ke alamat yang berhak.
Pada paginya, Sukarno dibawa dengan kereta ke Bandung. Ia meringkuk di penjara Sukamiskin untuk kedua kalinya.
Thamrin menjenguknya pada 10 September 1933. Ia juga mencoba mencari cara melepaskan kawannya itu dari jerat hukuman. Ia antara lain menyurati pemerintah Hindia Belanda mengenai kesediaan Sukarno menjadi lebih kooperatif.
Usaha itu terungkap dari suratnya buat Jozef Emanuel Stokvis, anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, partai sosialis di Belanda. “Bulan lalu saya telah menulis panjang lebar tentang situasi politik yang busuk dan meminta apakah rekan-rekan Anda dapat melakukan sesuatu yang konkret untuk Soekarno. Saya mengunjunginya pada hari Minggu yang lalu. Selama pertemuan ia menjelaskan pada saya tentang rencananya untuk mengubah cara-cara dalam berpolitik dan akan berjalan pada alur kooperasi,” tulis Thamrin seperti dikutip Bob Hering.
Usaha Thamrin tak berhasil. Pemerintah Hindia Belanda menganggap Sukarno terlalu berbahaya untuk dilepaskan. Bung Karno pun mendekam di Sukamiskin selama delapan bulan tanpa proses pengadilan. Pada 28 Desember 1933, Gubernur Jenderal De Jonge mengeluarkan surat keputusan pengasingan Sukarno, yang saat itu berusia 32 tahun, ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Berkat campur tangan Thamrin, pembuangan di Ende itu “hanya” dijalani Sukarno selama empat tahun. Thamrin, kata Bob Hering, selalu memikirkan nasib sahabatnya yang berada di pengasingan itu. Ia beberapa kali berkorespondensi dengannya. Dalam salah satu suratnya, Bung Karno mengeluh kesepian karena tidak memiliki teman diskusi selama di Ende.
Thamrin segera mengerahkan kekuatan politiknya untuk membantu. Ia mendesak pemerintah agar memberi keringanan dengan menawarkan berbagai opsi, termasuk mengirim Sukarno ke Belanda untuk studi atau memindahkannya ke Pulau Sumatera, yang dianggap lebih manusiawi.
Atas prakarsa Thamrin, nasib Sukarno dibahas dalam rapat Volksraad pada Januari 1938. Setelah melewati perdebatan sengit, rapat bersepakat bahwa Sukarno dipindahkan ke Bengkulu pada Februari tahun itu.
Selama Sukarno diasingkan, Thamrin tetap menjaga hubungan dengannya. Ketika Bung Karno sudah dipindahkan ke Bengkulu, Thamrin bahkan beberapa kali datang untuk menengok keadaannya sekaligus berbicara tentang kemajuan pergerakan nasional.
Sukarno tak menyaksikan saat Thamrin menjemput ajal dalam kondisi mengenaskan sebagai tahanan rumah pada 1941. Ia masih diasingkan di Bengkulu saat itu.
Setelah Indonesia merdeka, Sukarno, yang kemudian menjadi Presiden RI, tak melupakan Thamrin. Pada 1960, ia menyematkan gelar pahlawan nasional untuk sahabatnya itu dan mengabadikan namanya pada jalan protokol di Jakarta.
Setelah melewati dinamika politik yang panjang, akhir perjalanan Sukarno mirip dengan Thamrin. Ia meninggal ketika menjalani tahanan rumah pada 21 Juni 1970. “Mereka adalah dua sahabat yang mengalami akhir tragis di masa berbeda karena keyakinan dan pilihan politiknya,” ujar JJ Rizal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Jalan, Satu Tujuan"