Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hujan Bom, Banjir Pengungsi

Lebih dari satu juta warga Afganistan mengungsi setelah serangan Amerika. Termasuk di antaranya milisi Taliban dan keluarganya.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI SEBUAH lorong Kompleks Pengobatan Hayatabad, Peshawar, Pakistan, dia duduk menggelosor. Bersama puluhan pengungsi lainnya, Hasan Munif, 24 tahun, yang berbaju shirwal gamis biru muda dengan rompi warna hitam kumal, menatap nanar. "Saya benci Amerika dan sekutunya. Kenapa mereka menyerang kami yang tak bersalah? Kami jadi korban peperangan yang membabi-buta,'' kata Munif dalam bahasa Inggris yang lancar kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Lulusan madrasah Qasimiyah di Peshawar ini terlihat kuyu setelah menempuh dua hari perjalanan yang melelahkan dari Jalalabad, Afganistan. Munif datang ke balai pengobatan tersebut untuk mengantar saudaranya yang kena pecahan bom yang dijatuhkan di Jalalabad pada Minggu malam, 7 Oktober lalu. Syahdan, di suatu hari yang nahas, Munif tengah mampir di rumah Abdul Azis, sang saudara. Di tengah obrolan yang asyik bergulir, tiba-tiba terdengar suara ledakan beruntun dari arah Bandara Jalalabad di kawasan Kameh, yang terletak sekitar 20 kilometer dari tempat mereka. Mereka berdua langsung keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi, dengan perasaan waswas. Tanpa diduga, pada jarak dua ratus meter bom jatuh dan menimbulkan ledakan dahsyat. Mereka berdua ambruk. Tangisan, jeritan, dan seruan Allahu akbar terdengar di mana-mana. Munif menemukan Azis yang tengah mengerang karena pahanya sobek berdarah. Munif dengan cepat menggendong Azis untuk mencari pertolongan. Puluhan orang lain yang juga tergeletak tak sempat ia pedulikan. Ia mengaku kalut. Yang ada dalam benaknya, Azis harus selamat. Munif baru bisa mencapai pusat kota setelah setengah hari, sementara Azis yang pingsan itu sudah terkulai di bahunya selama berjam-jam. Beruntung, Munif menjumpai sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut empat orang terluka, didampingi dua anggota keluarga yang tak cedera. Menumpang mobil ini, Munif ikut berputar-putar mencari rumah sakit di Jalalabad dan sekitarnya. Begitu Munif tiba di muka rumah sakit yang gelap karena listrik padam total, ia langsung mendengar raungan kesakitan dan tangis yang menyengat telinga. Seseorang turun dari mobil dan masuk ke rumah sakit. Tak lama kemudian, dia kembali dan membawa kabar buruk: rumah sakit tak bisa menerima pasien baru karena sudah kewalahan. Tak ada pilihan tersisa kecuali meneruskan perjalanan ke Pakistan. Jalan berkelok penuh lubang membuat mobil hanya bisa merayap. Akhirnya mereka mencapai perbatasan pada Senin malam, 8 Oktober. Tentara Taliban mengizinkan mereka segera melintasi perbatasan untuk pengobatan. Namun, tepat di pintu tapal batas, mereka dipersulit hingga harus menunggu hampir enam jam. Status Munif sebagai mahasiswa di Peshawar akhirnya membuka pintu masuk ke Pakistan. Munif mengaku ingin secepatnya balik lagi ke Afganistan untuk bertempur melawan serdadu Amerika. Namun, pada saat bersamaan, lelaki berjanggut dan berkumis lebat ini mengakui saat ini memang lebih aman menetap di Pakistan. Munif tak bisa disalahkan. Lebih dari satu juta warga Afganistan juga berupaya keluar dari negaranya setelah bom Amerika jatuh. Dari angka raksasa pengungsi tersebut, tak sedikit yang berasal dari anggota Taliban dan keluarganya. Padahal, pemimpin Taliban tertinggi, Mullah Muhammad Umar, sudah menyerukan agar warga bertahan. Mereka yang sudah mengungsi pada tahun-tahun sebelumnya diminta kembali ke Afganistan untuk bersama-sama melawan Amerika. Seruan ini hanya membelah udara kosong. Ribuan murid pesantren di Kabul yang dipaksa bergabung dalam ketentaraan memilih kabur ke Pakistan. Tamparan paling telak, tokoh-tokoh Kota Kandahar—basis utama Taliban—seperti wali kota, kadi, beberapa pejabat senior polisi syariah, telah ikut mengungsi bersama keluarganya ke Quetta, Pakistan. Di Kota Kabul, polisi syariah yang dulu lalu-lalang dan sangat ditakuti telah menghilang dari jalanan. Mereka dikabarkan kabur karena takut pada pembalasan warga sipil yang selama lima tahun terakhir diperlakukan semena-mena. Di Kota Herat, bagian barat Afganistan, serdadu Taliban praktis tak ada. Titik-titik penjagaan yang berbatasan dengan Iran telah mereka tinggalkan. Mereka kini dikabarkan sedang mengupayakan deal baru dengan Ismail Khan, pemimpin oposisi di wilayah ini. Bertempur untuk Taliban tampaknya tak terlalu mengundang selera sebagian besar warga Afganistan. Hal ini tidak terjadi pekan lalu saja. Selama Taliban berkuasa, salah satu alasan utama terjadinya pengungsian adalah penolakan warga untuk bertempur melawan tentara Aliansi Utara yang dipimpin mendiang Ahmad Shah Mas'ud. Saat itu, bila ada warga yang menolak bertempur, mereka kontan dieksekusi. Tindakan keras ini tak membuat warga patuh. Mereka justru ketakutan dan mengungsi secepatnya. Dengan tambahan satu juta pengungsi baru, jumlah total pengungsi Afganistan yang tersebar di dunia kini mencapai sekitar 6 juta jiwa. Tidak main-main, angka ini berarti separuh dari jumlah keseluruhan pengungsi di dunia. Pa-kistan merupakan negara penampung terbanyak dengan hampir tiga juta pengungsi Afganistan. Iran menampung 1,5 juta pengungsi Afganistan, sementara sisanya tersebar di Turkmenistan, Tajikistan, dan negara-negara lain di dunia. Sementara nasib pengungsi lama tak bisa dibilang menggembirakan, nasib pengungsi baru lebih buruk lagi. Ratusan ribu dikabarkan masih tertahan di kota-kota perbatasan. Pakistan, yang memang sudah kewalahan dengan serbuan ini, telah menutup perbatasannya. "Tak ada toleransi lagi untuk mengizinkan orang Afganistan masuk ke negara kami," kata Syed Iftikhar Hussain Syah, Gubernur Provinsi Perbatasan Barat Daya. Sikap keras tersebut dikeluarkan menyusul pecahnya bentrokan antara pengungsi dan aparat Pakistan pada Selasa pekan lalu, yang menyebabkan puluhan orang luka-luka. Pintu masuk kadang memang bisa terbuka. Hanya, pertimbangannya sangat ketat, misalnya bagi pengungsi perempuan yang sedang hamil tua dan harus segera melahirkan. Setelah sang jabang bayi lahir, ibu beserta anaknya wajib balik lagi secepatnya ke Afganistan. Pemandangan menyedihkan terlihat di Kota Chaman, dekat dengan perbatasan Pakistan. Sekitar 20 ribu pengungsi kini terpaksa hanya bisa berdiam di tanah kering di bawah sengatan langsung terik matahari. Persediaan makanan dan air begitu minim, sementara sebagian dari mereka terlihat sangat lemah setelah berjalan berhari-hari. Yang membuat cemas, beberapa pekan mendatang musim dingin akan datang. "Kami khawatir mereka akan mati kedinginan," kata Abid Zareef, 52 tahun, aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menangani urusan pengungsi. Sekalipun ada hambatan besar, arus banjir pengungsi tampaknya akan kian sulit dibendung. Tengok sikap yang ditunjukkan Munif: ingin segera balik ke Afganistan untuk bertempur tapi menunggu sampai hujan bom reda. Tentu tak salah jika warga seperti Munif sebetulnya mendambakan keamanan. Memang ada orang macam Abdullah Zakh, 35 tahun, lelaki asal Jalalabad yang menghuni kamp pengungsi Kancaghari, 6 km dari Peshawar. Zakh adalah pendukung berat Taliban yang sudah bersiap-siap maju berperang bersama idolanya, Usamah bin Ladin. Namun, pilihan Zakh tampaknya bukan pilihan populer di kalangan pengungsi. Kebanyakan sikap sebagian besar pengungsi tak jauh beda dengan Munif. Simak kata-kata Amir Ghul, pria suku Pashtun berusia 30 tahun yang bekerja sebagai pemotong kayu. Amir mengaku, bila ada yang bisa mengurus keluarganya, ia ingin maju berperang melawan Amerika. Padahal, sebagai pendukung Hekmatyar—salah satu lawan Taliban—ia benci dengan rezim di Kabul. Bagaimanapun, Afganistan adalah tanah airnya. Namun, kata-kata gagah ini diakhiri dengan satu permintaan: "Kalau Anda bisa mengajak saya ke Indonesia, saya mau ikut. Saya ingin hidup layak,'' kata ayah lima anak ini kepada TEMPO, yang menjumpainya di kamp pengungsi Shiahabad Camp Mansehra, 198 km dari Islamabad. Yusi Avianto Pareanom, Ahmad Taufik (Peshawar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus