Wartawan TEMPO Ahmad Taufik melaporkannya dari perbatasan Afganistan.
PERS Amerika kerap menyebutnya sebagai war room—ruangan perang. Tapi tempat itu—nama resminya White House Situation Room—sebetulnya semacam "pusat komando" bagi setiap Presiden Amerika. Ke ruangan itulah Presiden Geoge Walker Bush mengundang para pejabat seniornya untuk satu pertemuan penting pada Jumat, 5 Oktober. Suasana tegang. "Dick, apakah Tommy Franks siap berangkat?" Bush bertanya kepada Jenderal Richard B. Myers, kepala staf operasi gabungan politiknya. Tommy Franks adalah jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah dan Asia Selatan yang sedang menyiapkan serangan ke Afganistan.
Myers menganggukkan kepala, dan Bush berkata: "Baiklah. Jadi, kita siap berangkat." Demikian yang dituturkan Karen Hughes dan Condoleezza Rice, penasihat politik sang Presiden, kepada harian The New York Times. Esoknya, sembari berakhir pekan di Camp David, Bush menerima laporan terakhir detail rencana penyerangan ke Afganistan. Beberapa jam kemudian, pesawat-pesawat tempur Jenderal Franks membelah langit Kabul, Kandahar, dan Jalalabad.
Bush, menurut Condoleezza Rice, meminta agar dua jam setelah pengeboman hadiah makanan segera dibagikan ke seluruh penjuru Afganistan. Ada 37.500 kantong ransum bergizi bertuliskan kalimat gagah, "Bantuan dari Amerika", dihujankan dari langit oleh "sinterklas" pesawat C-17. Sebelumnya, radio Voice of America mengudara di Pakistan dan menyiarkan "kabar gembira" itu dalam bahasa Pashtoon. Mencampur roti dengan bom memang resep baru dalam strategi perang Amerika. Seorang pejabat Pentagon—seperti dikutip mingguan Time—mengakui: "Ini hal baru dan kita tidak tahu bagaimana hasilnya."
Strategi menggabungkan citra welas asih dan haus darah ini yang membuat operasi Enduring Freedom—nama operasi AS di Afganistan—pada Minggu malam, 7 Oktober, terkesan mendadak. Sebelumnya, Bush meng-indikasikan akan menahan diri melakukan gempuran. Tapi gagasan lain kemudian melintas bahwa, kalaupun perang itu digelar, harus ada potret simpatik tentang aksi AS. Dengan lain kata, masyarakat muslim harus bisa melihat bahwa tindakan Amerika membombardir Afganistan bertujuan menghancurkan, tapi membebaskan negeri itu dari pemerintahan lalim: Taliban. Untuk itu, diperlukan sebuah politik citra.
Bush lalu membagi-bagi tugas. Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfield dia tugaskan berkeliling ke Timur Tengah, melobi dan mencari dukungan negara-negara Arab. Sementara itu, di dalam negeri, Condoleezza Rice mendapat titah menyiapkan politik "mentega" ini. Time menulis, kebijakan ini ibarat judi bagi Bush. Medicine Sans Frontier, lembaga kemanusiaan yang membantu pengungsi Afganistan selama ini, menuding bantuan pangan Bush tak lebih dari propaganda. Dan ironis bahwa harga bantuan makanan itu bernilai tak sampai separuh harga sebiji rudal (lihat infografik Ironi Perang, Derita Afganistan).
Tapi politik citra jalan terus. Alhasil, di hari pertama penyerangan, pilot-pilot AS menjatuhkan kantong-kantong mentega, vitamin, obat-obatan ke Afganistan selepas menghumbalangkan rudal-rudal yang membinasakan Kabul dan kota-kota lain. Presiden kemudian tampil di podium Gedung Putih dan menyatakan serangan mencapai titik optimal. Dengan bantuan global positioning system—sistem satelit yang memberikan posisi akurat sasaran tembak—semua fasilitas radar, artileri antiserangan udara, bandara, tangsi-tangsi bahan bakar, barak-barak, bunker-bunker di gua, stasiun radio, telepon milik Taliban luluh-lantak. "Ini lambang supremasi udara Amerika," ujar Bush dengan gagah.
Wajar saja jika pada hari keempat mereka tidak lagi sungkan-sungkan menyerbu Afganistan di siang bolong. Kepada harian The Asian Wall Street Journal, seorang teknisi penerbangan asal Jacksonville, Florida, yang bertugas di USS Carl Vinson—salah satu kapal induk AS di Lautan Arabia—mengaku gembira. "Ini sudah soal pribadi," ujarnya. Teknisi ini rupanya punya keluarga di New York. Mereka ikut menjadi korban serangan teroris yang melenyapkan lebih dari 6.500 jiwa di Washington, DC dan New York pada 11 September silam. Tak mengherankan jika ia girang menyaksikan pesawat-pesawat tempur Amerika menyapu tanah Afganistan—dibantu Inggris.
Inggris memang sahabat lama. Pada masa Perang Dunia II, dua negara ini bahu-membahu menggempur Jepang. Dalam perang kali ini, kekuatan militer dua sekawan itu telah menewaskan 200 warga sipil—suatu akibat yang enggan dikomentari Bush dan Rumsfield. Jumlah korban terbanyak terdapat di Desa Karam Jalalabad. Di Kandahar, seorang anak dan ayah tiri Mullah Muhammad Umar, pemimpin besar Taliban, dikabarkan tewas.
Wartawan The Guardian di Kabul, Sayed Salahudin, menyaksikan seorang bayi berusia 6 bulan mati karena "gempa bumi" akibat bom itu. "Rasanya seperti neraka," ujar si ayah sembari menangis. Dari London, Menteri Pertahanan Inggris Geoff Hoon menjawab: "Selalu ada risiko yang tidak bisa dicegah." Bush dan Rumsfield juga tutup mulut melihat kenyataan kado-kado mereka tak sampai jatuh ke tangan masyarakat sipil. Penguasa Taliban menghajar paket-paket itu dengan mesiu dan melarang warga memungutnya.
Wartawan TEMPO Ahmad Taufik menyaksikan korban-korban dari Jalalabad yang dirawat di Rumah Sakit Hayatabad Medical Complex, Peshawar (lihat Hujan Bom, Banjir Pengungsi). Salah seorang keluarga korban itu menuturkan kepada TEMPO, serangan AS telah mematikan listrik di Jalalabad. Kota gelap-gulita. Rumah sakit tak bisa lagi menampung korban-korban luka parah. Maka, pasukan Taliban mengizinkan mereka melintasi perbatasan mencari pertolongan ke Pakistan. Beberapa orang menggeletakkan korban-korban yang tak tertampung di rumah-rumah sakit Jalalabad di bagasi belakang mobil. Lalu, di malam hari mereka bermain kucing-kucingan dengan pasukan Pakistan di perbatasan sehingga berhasil mencapai rumah sakit di Peshawar.
Jalalabad memang boyak-boyak dihajar bom. Tapi dua sasaran utama AS adalah Kabul dan Kandahar, kota simbol kekuatan Taliban. Pentagon juga melirik dengan penuh minat Mashar-I-Sharif, sebuah kota berdebu di utara Afganistan. Kota ini direbut Taliban dari tangan Aliansi Utara pada tahun 1998. Dengan menghajar Mashar-I-Sharif, Amerika ingin menggempur tank-tank Soviet serta SA-3, misil antiserangan udara milik Taliban. Bila kota ini bisa ditekuk, Aliansi Utara—konco AS di Afganistan—bisa meluncur ke jantung pertahanan Taliban. Aliansi Utara memang menyimpan dendam: mereka kalah melulu dalam duel selama lima tahun terakhir melawan Taliban.
Tapi Mayor Jenderal Babajan, pemimpin Aliansi Utara, seperti dilaporkan The Washington Post, mengkritik taktik dan strategi "hujan bom" Amerika ini. "Percuma mereka menyerang Mashar-I-Sharif dan Kabul dari udara jika tidak membombadir langsung formasi-formasi terdepan pasukan Taliban," katanya. Soalnya, misil-misil hanya menghantam bangunan kosong yang telah ditinggalkan pasukan Taliban—yang ahli dalam teknik serang dan lari (hit and run).
Edmuns Williams, bekas orang kedua Kedutaan Besar AS di Afganistan, sepakat dengan Babajan. Menurut analisisnya, belum teraba benar apakah kekuatan Taliban sekarang sudah melemah. "Banyak rudal Stringer Taliban yang dipangggul di pundak, tentu luput dari serangan bom," ujarnya kepada koresponden TEMPO di New York, Supriyono. Taliban, bagi Pentagon, adalah musuh yang penuh muslihat. "Kami tidak tahu bagaimana respons mereka saat diserang," kata Kapten Richard B. Wren, salah satu komandan Kapal Induk Carl Vinson. Saat bom-bom berjatuhan di Kandahar, pasukan Taliban malah tak terlihat sama sekali. Juga tak ada tanda-tanda mereka membalas.
Tidak seperti Irak atau Serbia—dua negara yang pernah dibombardir Amerika—Afganistan tak memiliki banyak lokasi militer atau politik penting yang bisa dijadikan target bom. Afganistan di bawah Taliban tak dapat disamakan dengan negara yang pemimpinnya akan menyerahkan tongkat komando bila ia ditekuk. Pemimpin Taliban Muhammad Umar, Usamah bin Ladin, dan tangan kanannya, dr. Ayman Adz-Dzowahiry, adalah pribadi-pribadi yang misterius, tidak seperti Saddam Hussein atau Slobodan Milosevic. Singkat kata: serangan udara tak cukup efektif.
Kendala lain yang akan dihadapi AS adalah salju yang akan turun dalam beberapa minggu ini (lihat Siapa Bakal Melipat Bendera?). Alam adalah benteng pertahanan terbaik Taliban. Dan salju akan membuat alam kian ganas dan liar. Kondisi ini membuat bingung para perencana aksi militer gabungan Amerika-Inggris. Mereka menyadari serangan udara beruntun ini cuma bisa diumpamakan sebagai suatu overture, pembukaan orkestra musik klasik. Artinya?
Pentagon mau tidak mau harus menurunkan seribu personel Pasukan Divisi Pegunungan Ke-10, yang kini bersiaga di Uzbekistan. Mereka akan diturunkan ke kancah peperangan dengan helikopter Apache, yang sering dijuluki tank terbang.
Tapi, lagi-lagi, untuk sebuah perang darat, Amerika harus banyak mengambil hikmah dari Soviet ataupun Inggris. Pelajaran-pelajaran dari para veteran jenderal Soviet adalah pegunungan-pegunungan Afganistan yang berkelok-kelok penuh perangkap.
Serangan-serangan mendadak bisa muncul dari celah mana pun. Bahkan dengan kapak, minyak tanah, korek api, seorang pejuang Afganistan bisa menghancurkan tank Soviet. Ranjau-ranjau Rusia sampai kini masih banyak tertanam di setiap jengkal tanah Afganistan—yang bisa jadi jebakan berbahaya bagi pasukan Amerika. Menurut catatan Human Rights Watch , dari 29 provinsi di Afganistan, hanya dua provinsi yang tanahnya bebas dari ranjau.
Pengamat Asia Tengah dari Mesir, Dr. Muhammad Abdul Kariem, yang hari-hari ini menulis khusus soal Taliban secara berseri di harian Al-Araby dan Al-Osbuk, percaya Taliban akan bertahan cukup lama melawan Amerika. Meski persenjataan Amerika tiga kali lebih canggih dari Uni Soviet dahulu, menurut Kariem, Taliban jauh lebih menguasai medan. "Di sinilah el-Insan wara el-Silah (manusia di balik senjata) lebih berarti ketimbang el-Silah wara el-Insan (senjata di balik manusia)," katanya kepada koresponden TEMPO di Kairo, Zuhaid el-Qudsy.
Yang sepadan dengan Taliban dalam hal penguasaan medan adalah Aliansi Utara. Gerilyawan mujahidin tersebut kini "bergandengan mesra" dengan Pentagon untuk menggembosi Taliban. Tapi di sini Aliansi Utara bisa menjadi kuda hitam yang membahayakan bagi Amerika. Washington banyak diperingatkan agar jangan sampai memberi jalan kepada Aliansi Utara menjadi rezim baru pasca-Taliban. Reputasi mereka yang tak kalah buruk dengan Taliban bisa membuat Afganistan bergeser dari mulut harimau ke mulut buaya.
Pemimpin Pakistan Jenderal Pervez Musharraf adalah salah satu yang paling getol memperingatkan Amerika. Menurut Musharraf, kemenangan Aliansi Utara akan menimbul gejolak lebih hebat di Afganistan. Mengapa? Sebab, kelompok ini didominasi minoritas Tajikistan. Sementara itu, mayoritas etnis Afganistan—sebagaimana Taliban dan Pakistan—adalah Pashtoon. Maka, sang Jenderal menganjurkan, Washington jangan sampai membiarkan Aliansi Utara menyerbu Kabul sebelum mendapat lampu hijau dari Amerika. Lalu, siapa yang kelak harus mengambil alih jika Taliban betul-betul rontok?
Hari-hari ini, suatu usulan mengenai pemerintahan transisional di Afganistan sedang digodok. Bila Kabul jatuh, direncanakan statusnya dikembalikan dulu untuk sementara ke Perserikatan Bangsa-Bangsa—seperti Timor Loro Sa'e. "Yang perlu adalah menyatukan elemen-elemen moderat dari berbagai faksi Afganistan. Lalu, membentuk pemerintahan yang berbasis dukungan luas dan diterima oleh rakyat," begitu pendapat Williams. Celakanya, gerilyawan Aliansi Utara terlihat sekarang gelisah, tak sabar menunggu perintah Amerika.
Menurut pantauan The Washington Post, kesepakatan agar Aliansi Utara menunda penyerangan ke garis depan Taliban menimbulkan frustrasi mendalam di kalangan pemimpinnya. Ada tanda-tanda mereka sekarang memiliki agenda sendiri lantaran mulai menduga Amerika akan menelikung mereka. Jadi, dengan atau tanpa perintah Washington, mereka akan menyerang saat pilot-pilot AS menjatuhkan bom. Apalagi sekarang ini mereka yakin bahwa moral pasukan Taliban di Mashar-I-Sharif tengah merosot. Mengapa? Aliansi Utara mengklaim komandan tempur udara Taliban di Mashar-I-Sharif, Akhtar Mukhamed Mansur, tewas. Dan kota Chaghcharan telah direbut kembali dari Taliban oleh tentara mujahidin pimpinan Ismail Khan.
Jika Aliansi Utara juga jalan terus dengan agendanya, kepala Amerika bakal makin pusing. Jumat dan Senin ini—saat Isra Mikraj—operasi gabungan Amerika dan Inggris berniat istirahat sejenak. "Kita paham hari itu memiliki makna amat penting bagi umat muslim," kata Menteri Muda Pertahanan Inggris, Lewis Moonie. Lalu, bagaimana dengan bulan Ramadan, yang akan berawal pada 16 November? Akankah Amerika dan Inggris meliburkan operasi Enduring Freedom? Ini pertanyaan sulit.
Bila serangan Amerika beristirahat, konsolidasi Taliban akan makin kuat. Tapi bila mereka nekat menghajar, tentu akan memicu kemarahan umat muslim di seluruh dunia. Lewis Moonie sendiri menyatakan Inggris jelas tak akan mengirim pasukan saat Ramadan. Jadi, satu-satunya cara adalah melakukan serangan besar-besaran sebelum Ramadan dimulai. Marry Robinson, Ketua Komisi Hak Asasi Manusia di PBB, mengimbau agar Amerika dan Inggris menunda serangan selanjutnya. Itu akan memberi peluang bantuan makanan bisa sampai merata ke semua warga Afganistan sebelum musim dingin tiba. "Bantuan itu harus sampai sebelum tanggal 15 atau 16 November saat Ramadan tiba, ketika salju sudah mulai turun. Jika tidak, sekitar 2 juta warga sipil Afganistan yang lari dari perang akan kedinginan, kelaparan, dan mati," ujarnya seperti dikutip kantor berita Reuters.
Amerika selalu sesumbar bahwa perang yang dilansirnya bukan sebuah pembalasan. Dan menurut Robinson, cara membuktikannya mudah saja: membiarkan "kantong-kantong sinterklas" itu sampai ke masyarakat Afganistan yang betul-betul menderita. Bila lewat udara gagal, makanan itu harus diantar dengan konvoi truk. Tapi itu juga bukan soal gampang. Lewat udara ataupun darat, Amerika harus memperhitungkan ransum makanan itu tidak jatuh di daerah yang mengandung ranjau. Hal itu akan mencelakakan warga yang berniat mengambilnya.
Amerika harus berpacu dengan waktu sebelum salju tiba. "Sesungguhnya, operasi paling berbahaya adalah pengiriman bantuan pangan ini," begitu ditulis Charles Krauthammer, kolomnis The Washington Post. Sebuah esai tajam dari Arundhathi Roy, novelis ter-kemuka Amerika keturunan India, berjudul Algebra of Infinite Justice, minggu lalu berusaha menelanjangi hipokritisme perang ini.
Roy menulis, melalui operasi Enduring Freedom, Amerika seolah ingin melakukan kalkulasi pembalasan yang matematis. Mereka ingin membayar setiap nyawa warga Amerika yang mati di World Trade Center New York dengan nyawa rakyat Afganistan. Yang menjadi soal: berapa nyawa orang Afganistan yang dianggap sepadan untuk "membayar" nyawa warga Amerika yang telah melayang?
Bukan tidak mungkin korban yang jatuh di Afganistan akan jauh lebih besar lantaran faktor kelaparan itu. Dahulu, Amerika telah melakukan kesalahan besar dengan meninggalkan tanah ini setelah hengkangnya Soviet. Apakah negara adidaya itu akan membiarkan rakyat Afganistan tercerai-berai, tak punya naungan, dan mati kelaparan dalam perang kali ini?
Pertengahan 1975, Amerika harus menanggung malu saat sisa-sisa prajuritnya pulang ke rumah dengan tangan hampa setelah Perang Vietnam—Dirty War—berakhir. Dan Afganistan bukan mustahil menjadi Dirty War Amerika yang kedua, betapapun kerasnya upaya Bush "mendandani" misi perangnya: dengan membungkus setiap rudal dalam kantong-kantong roti.
Seno Joko Suyono (Jakarta), Ahmad Taufik (Peshawar), Ahmad Fuadi (Washington, DC), Supriyono (New York), Zuhaid el-Qudsy (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini