Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengantar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap generasi memiliki dan merasakan romantismenya masing-masing. Romantisme anak muda di Jakarta kerap dihubungkan dengan tempat-tempat nongkrong atau mejeng favorit yang amat berkesan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada ulang tahun atau HUT Jakarta ke-491, Tempo menyajikan tempat-tempat nongkrong dan peristiwa yang menonjol bagi generasi era 1980-an. Salah satunya adalah tawuran pelajar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan antara SMA Negeri 9 dan 11. Kedua sekolah akhirnya digabungkan menjadi SMA Negeri 70.
TEMPO.CO, Jakarta - Pecahan kaca berhamburan di salah satu kelas di SMA Negeri 9. Pelajar perempuan menjerit dan berhamburan keluar kelas. Kaca itu pecah dilempar seseorang dari gedung di SMA Negeri 11. Lokasi kedua sekolah memang berdampingan di Jalan Bulungan, Jakarta Selatan.
“Kemudian para komandan datang ke kelas-kelas, bilang, 'Ayo semua, keluar, keluar’. Komandan itu pentolan sekolah," ujar Iskandar Bakri yang diwawancarai Tempo di Kalibata City, Jakarta Selatan pada Kamis 21 Juni 2018.
Para komandan itu menggalang kawan-kawannya untuk menyerang balik SMAN 11. Menurut Iskandar Bakri, kepala sekolah dan guru seakan tidak berdaya menghentikan perkelahian.
Para pelajar memanfaatkan segala barang yang bisa ditemukan di lingkungan sekolah untuk tawuran. Mulai dari kaca ruang kelas hingga kompor penjual makanan di kantin.
"Pada saat itu memang hawa anak-anak sekolah menengah atas maunya berantem melulu," kata Iskandar, pelajar SMA Negeri 9 yang lulus tahun 1983.
Tak hanya di halaman sekolah, tawuran antar siswa yang saling bertetangga itu juga sering terjadi di luar lingkungan sekolah. Pernah, kata Iskandar, saat ia hendak pulang, beberapa siswa SMAN 11 telah menunggu di depan salah satu toko busana di bilangan Blok M.
Iskandar dan beberapa orang temannya pun disambut dengan acungan celurit oleh para siswa itu. Ada dua pilihan, kabur atau bertahan dan membela diri dengan memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitar mereka.
"Kami tidak mau tawuran. Tapi kalau sudah begitu ya mau bagaimana lagi. Apa saja kami pakai buat melawan," tutur dia.
Untuk menghentikan aksi tawuran, pada Oktober 1981 pemerintah membubarkan SMAN 9 dan 11. Para pelajar kedua sekolah itu digabungkan menjadi SMAN 70.
“Saat itu tidak ada gejolak internal. Pertimbangannya, kalau digabungkan, mereka tidak punya alasan lagi untuk tawuran karena sudah sama semua," ucap Iskandar yang ketika duduk kelas dua menjadi siswa SMA Negeri 70.
Apakah tawuran pelajar itu berhenti? Ternyata tidak. Pelajar SMA Negeri 70 ikut terlibat tawuran dengan siswa SMA Negeri 6 yang letaknya juga di Jalan Bulungan. Selain itu juga berkelahi dengan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 29 Jakarta atau biasa dikenal Sekolah Teknik Menengah (STM) Penerbangan.
Tawuran antara SMAN 70 dan 6 pun kerap terjadi sejak saat itu. Salah satu tawuran yang paling disoroti terjadi pada 24 September 2012, di mana satu siswa SMAN 6, Alawi Yusianto Putra, tewas.
Saat itu, ia bersama empat temannya sedang makan gulai tikungan di daerah Blok M. Tiba-tiba, sekitar 20 siswa SMAN 70 datang dan menyerang mereka tanpa ada adu mulut sebelumnya.
Alawi sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah, namun nyawanya tidak tertolong. Sementara itu, dua murid lainnya mengalami luka di pelipis dan di jari tangan.
Siswa SMAN 70 yang melakukan pembacokan, FR, ditangkap tak lama setelah kejadian dan diberhentikan dari sekolahnya.
Kedua perwakilan pelajar SMA Negeri 6 dan 70 kemudian mendeklarasikan perdamaian di atas kapal legendaris TNI, KRI Dewaruci, pada 11 Oktober 2012.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto dan Kepala Dinas Penerangan Umum Angkatan Laut saat itu, Laksamana Pertama Untung Surapati memimpin deklarasi tersebut.
Semua siswa yang menggunakan batik itu, melupakan kejadian nahas akhir September 2012 yang merenggut nyawa Alawy, seorang siswa SMA 6.
"Hal seperti ini yang perlu kita bina," ujar Kepala Dinas Penerangan Umum Angkatan Laut Laksamana Pertama Untung Surapati.
Untung berharap dengan semakin meningkatnya pembinaan dan perhatian semua pihak, rivalitas di antara kedua sekolah itu akan berkurang. "Mereka itu bisa diandalkan asal kita bina dengan baik," ujarnya. "Semuanya harus turun tangan dan memberikan perhatian," kata Untung.
Kak Seto, memuji komitmen perwakilan SMAN 70 dan 6 itu. Menurut dia, aksi kekerasan dalam bentuk tawuran pelajar segera diakhiri untuk memulai hidup baru yang lebih baik. "Jadikan kapal ini sebagai kapal perdamaian bagi semuanya," ujar Seto.