Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ibu Robot Semua Anak

Sukses memperkenalkan robotik dari pintu ke pintu sekolah, Jully Tjindrawan bermimpi membangun pabrik robot di Indonesia. Peduli pada anak berkebutuhan khusus.

13 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluhan siswa duduk lesehan menghadap laptop di salah satu ruang belajar Sekolah Dasar Mahanaim, Bekasi, Senin pekan lalu. Siswa kelas IV itu sibuk mengetikkan bahasa pemrograman komputer yang dituliskan instruktur di depan kelas. Sembari mengerjakan tugasnya, bocah-bocah itu terus berceloteh. "Belajar robotik kayak bermain saja. Menyenangkan," ujar Gaby, salah seorang murid, kepada Tempo.

Sekolah Dasar Mahanaim sudah lima tahun menggelar kelas robotik. Semula, menurut Kepala SD Mahanaim Abraham L.G. Sulistyo, urusan rakit-merakit robot itu hanya kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa yang berminat. Ternyata praktek merakit robot berdampak positif. Siswa yang ikut kelas robotik, kata Abraham, umumnya lebih cermat dan teliti ketika mengikuti pelajaran lain, seperti matematika dan sains. Karena itu, sejak tiga tahun lalu, robotik dijadikan mata pelajaran resmi bagi semua siswa sekolah tersebut.

Sekolah Dasar Mahanaim adalah satu dari sekitar 40 sekolah yang bekerja sama dengan PT Robotic Explorer. Perusahaan yang didirikan pada 2005 itu berfokus memperkenalkan seluk-beluk robot untuk anak-anak. Dibangun dengan modal awal sekitar Rp 700 juta, Robotic Explorer terus berkembang. Perusahaan itu kini memiliki aset senilai Rp 8 miliar. Omzet Robotic Explorer dalam setahun bisa mencapai Rp 4 miliar. "Untungnya sih tak terlalu besar, tapi kami berkomitmen terus mengembangkan bisnis ini," ujar pemilik dan pendiri PT Robotic Explorer, Jully Tjindrawan, di kantornya di kompleks Greenville, Jakarta Barat.

****

JULLY, 43 tahun, awalnya tak pernah membayangkan bakal menggeluti usaha di bidang robotik. Alumnus Fresno State University, California, Amerika Serikat, itu bahkan tak akrab dengan berbagai perangkat teknologi. "Saya enggak suka banget sama gadget," katanya. "Tugas akhir kuliah saja saya tulis tangan."

Perkenalan Jully dengan dunia robot terjadi secara tak sengaja. Semua berawal dari niat Jully memperkaya alat peraga di King's Kids, lembaga kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar yang dia kelola. Untuk itulah Jully memesan perangkat eksperimen sains anak-anak dari Jerman. Namun dia mempercayakan pemesanan perangkat uji coba itu kepada rekan bisnisnya.

Jully terkaget-kaget ketika pesanan barang tiba pada Agustus 2005. Soalnya yang datang bukan perangkat eksperimen biologi atau fisika seperti yang dia bayangkan. Sang teman rupanya memesan satu kontainer robot. "Pertama kali melihat barang itu, saya sampai menangis," ujar Jully. Kala itu ia teringat nasihat bapaknya bahwa berbisnis itu bukan mencari masalah. "Yang kita mengerti saja belum tentu bisa, apalagi yang tidak kita pahami," kata Jully, menirukan nasihat sang ayah.

Telanjur mengeluarkan dana hampir Rp 600 juta untuk satu kontainer robot itu, Jully tak mau larut dalam kebingungan. Dia pun merintis PT Robotic Explorer. Tentu saja tak mudah membangun usaha yang waktu itu masih terbilang "asing" tersebut. Tenaga kerja lokal yang paham robot pun sangat terbatas. Koneksi keluarga Jully-yang lama berkecimpung dalam usaha tekstil-juga tak banyak membantu.

Pada tahun-tahun awal, Jully sampai terjun langsung menawarkan program robotik ke sekolah-sekolah. Namun sekolah yang berminat pada tawaran pelajaran robotik bisa dihitung jari. Proposal Robotic Explorer pun kerap kandas pada tahap penjajakan.

Baru tiga bulan Jully memulai usaha, rekan bisnisnya mengundurkan diri. Waktu itu ia hampir menyerah. Namun Jully mengulur waktu sampai dua tahun, hingga akhir masa kontrak kantor Robotic Explorer di Muara Karang, Jakarta Utara.

Sembari mencari-cari mitra, dia belajar merakit robot sederhana. Dia juga menyusun sendiri kurikulum pelajaran robotik. Untuk sekolah yang ingin mengadakan ekstrakurikuler robotik, Jully menyediakan perangkat robot dan tenaga pengajar. Sekolah juga bisa membeli perangkat robot dari Robotic Explorer. Ada juga paket pelatihan untuk para guru, sehingga sekolah bisa menggelar program robotik secara mandiri.

Semua kerja keras Jully itu tak sia-sia. Dari tahun ke tahun, sekolah yang menjadi mitra Robotic Explorer terus bertambah. Bukan hanya sekolah nasional yang bersedia bekerja sama. Sejumlah sekolah bertaraf internasional di Jakarta pun menjadi rekanan Robotic Explorer.

Seiring dengan perjalanan waktu, koleksi robot mereka kian bertambah. Sebagian di antaranya berharga ratusan juta rupiah. Misalnya robot Darwin produksi Korea Selatan, yang berharga US$ 12 ribu (sekitar Rp 155 juta) per buah. Ada pula robot NAO produksi Prancis seharga US$ 7.990 (sekitar Rp 103 juta) per unit.

Meski koleksi robotnya kian mahal, Jully mengklaim tetap mempertahankan tarif kerja sama yang "terjangkau". Biaya pelajaran robotik bergantung pada jumlah murid, tingkat kesulitan pelajaran, dan kemajuan teknologi robot yang dipakai. Robotic Explorer mengenakan biaya rata-rata Rp 150 ribu per orang per bulan, dengan jumlah peserta minimal 300 siswa per sekolah. Harga itu bisa turun jika jumlah peserta lebih banyak. Di SD Mahanaim, yang memiliki 1.600 peserta, misalnya, setiap siswa dikenai biaya Rp 50 ribu per bulan. "Itu termasuk murah," kata sang kepala sekolah, Abraham.

Mitra kerja sama Robotic Explorer pun bukan hanya sekolah. Sejak Desember 2010, berkongsi dengan perusahaan properti dan perusahaan komputer, mereka membangun World Robotic Explorer di Thamrin City, Jakarta Pusat. Rumah robot seluas 2.400 meter persegi itu merupakan wahana bermain sekaligus tempat belajar robotik terbesar di Indonesia.

Jully dan timnya tak hanya memperkenalkan pelajaran robotik ke sekolah umum. Robotic Explorer juga menyediakan paket belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan pengamatan Jully, sebagian anak dengan keterbatasan itu malah lebih teliti dan lebih ulet dalam merancang robot. Mereka juga lebih cepat mandiri. Jully mencontohkan dua murid khusus Robotic Explorer. Setelah belajar robotik selama sekitar delapan tahun, keduanya kini menjadi pengajar robotika di sejumlah sekolah.

Pengawas Sekolah Luar Biasa dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bekti Dwi Hastuti, membenarkan bahwa program robotika berdampak positif bagi anak-anak berkebutuhan khusus. "Terutama untuk anak tunagrahita dan tunarungu," ujarnya. Sayangnya, menurut Bekti, belum banyak orang seperti Jully yang menaruh perhatian pada anak-anak berkebutuhan khusus itu.

Sukses memperkenalkan pelajaran robotik di banyak sekolah, Jully rupanya masih menyimpan sejumlah mimpi. Dia, misalnya, ingin mendirikan lembaga pendidikan keterampilan mekatronika, yang menjadi dasar pengetahuan robotik. Awal tahun ini ia pun mengajukan kurikulum robotik ke Badan Nasional Sertifikasi Profesi. "Suatu ketika nanti saya juga ingin punya pabrik robot di Indonesia," ucap Jully.


Jully Tjindrawan
Tempat dan tanggal lahir:
Jakarta, 10 September 1971
Pendidikan:
- Bachelor of Arts, Fresno State University (1990-1993)
- Master of Business Administration, National University, San Diego (1993-1994)
Karier:
- Pemilik perusahaan tekstil (1996-sekarang)
- Pemilik preschool (2002-sekarang)
- Pemilik kursus bahasa Inggris, King's Kids (2004-sekarang)
- Pendiri dan pemilik Robotic Explorer (2005-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus