Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh tahun berkecimpung di dunia lelaki tak membuat Eka Sari Lorena Soerbakti ikut maskulin. Dikunjungi di salah satu pul bus Lorena miliknya di kawasan Tajur, Bogor, perempuan 45 tahun ini tampak rapi dengan setelan blazer dan rok model pensil. Lantai pul yang tak rata dan ceceran oli agak merepotkan langkahnya. Maklum, hari itu dia bersepatu dengan hak 15 sentimeter. "Agak repot memang jadi perempuan di bisnis transportasi ini. Isinya hampir semua laki-laki," katanya Selasa pekan lalu.
Eka mulai masuk ke perusahaan yang dibangun ayahnya itu pada usia 25 tahun sebagai anggota staf pemasaran. Bekalnya adalah pengalaman sebagai tenaga marketing di sebuah hotel bintang lima kala menyelesaikan program master di Amerika Serikat. Itu sebabnya ia terbiasa berbusana rapi, lengkap dengan rias muka hingga bulu mata palsu.
Mulanya gaya dan penampilan Eka itu justru membuat orang cenderung meremehkannya. "Mereka pikir apa iya saya bisa betah lebih dari tiga bulan dengan pekerjaan baru itu," ujarnya.
Tak banyak orang tahu bahwa sudah sejak belia Eka akrab dengan industri jasa angkutan darat. Sang ayah, G.T. Soerbakti, kerap membawa Eka kecil ke pul saat libur sekolah pada akhir pekan. Bermain di antara bus-bus berbobot 15 ton tak pernah menciutkan nyalinya.
Sudah 20 tahun Eka mengurusi Lorena. Perusahaan yang oleh Soerbakti didirikan setahun setelah kelahiran Eka itu memang dinamai sesuai dengan nama tengah sulung dari tiga bersaudara ini. Berawal dari dua unit bus yang melayani rute Jakarta-Bogor, kini Lorena beroperasi dengan 500 bus, yang melintasi 60 kota di Jawa-Sumatera, Bali, dan Madura. Dari modal pertama Rp 12 juta, kini nilai perusahaan sudah lebih dari Rp 4 triliun.
Lorena tak semata bergerak di bidang jasa angkutan penumpang. Sejak 18 tahun lalu, perusahaan telah mengembangkan jasa angkutan barang dengan bendera PT Eka Sari Lorena Express (ESL Express). Sekarang perusahaan logistik ini telah memiliki sekitar 350 armada, termasuk truk, minibus, dan sepeda motor. ESL juga terbantu oleh jaringan rute Lorena yang luas, sehingga barang bisa "dititipkan" di bagasi bus.
Di tangan Eka, Lorena bahkan merentangkan usaha ke sektor lain, yakni perkebunan kelapa sawit, restoran, dan hotel. "Tapi masih kecil-kecil," kata Eka.
Toh, jalan Eka tak selalu mulus. Rencananya merambah jalur transportasi udara lewat Lorena Air gagal total. Krisis global yang terjadi pada 2008-2009 membuat harga avtur meroket hingga empat kali lipat. Eka, yang saat itu hampir mendatangkan dua unit Airbus, pun mengurungkan niat. "Saya berfokus saja ke angkutan darat."
Kini tantangan yang dihadapinya adalah harga bahan bakar minyak yang berubah-ubah. Beruntung Lorena hanya bermain di segmen non-ekonomi, yang tarifnya ditetapkan menurut batas bawah dan atas. Perusahaan masih punya keleluasaan mengatur tarif-selama masih di antara batas tersebut.
Masalah lain adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Untuk angkutan penumpang, Lorena hanya menggunakan bus Mercedes-Benz. Alasannya, menurut Eka, bus bikinan Jerman itu punya sasis paling bagus untuk meredakan getaran dari jalanan kita yang tak rata. Tapi ongkos perawatannya mahal karena 60 persen suku cadang masih harus diimpor.
Di sinilah persoalannya. Biaya suku cadang itu mencapai 28-30 persen dari harga tiket bus. Pelemahan nilai rupiah setahun belakangan sekitar 5 persen memang belum terlalu berpengaruh. Namun, saat krisis 1998, Lorena harus rela menutup hampir sepertiga rutenya. "Makanya, sebagai Ketua Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), saya sering minta pemerintah menghapus bea masuk impor suku cadang angkutan umum."
Tak cuma sibuk mengurus usaha sendiri, sejak 2010 Eka menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat Organda. Dia juga menjabat Ketua Komite Tetap Perhubungan Darat dan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Tentu saja Eka tak bisa menjalankan itu semua sendirian. Di perusahaan, ia didukung 2.500-an karyawan. Banyak di antara mereka telah bekerja puluhan tahun. Amir Silalahi, misalnya, sudah 32 tahun bergabung dengan Lorena. Mengawali karier sebagai tukang ganti oli, Amir sempat tamat sebagai sarjana teknik mesin di Institut Teknologi Bandung dan kini dipercaya jadi general manager. "Biaya kuliahnya dibantu Pak Soerbakti," ucapnya.
Lorena juga punya pelanggan setia. Ina, 42 tahun, yang Selasa pekan lalu hendak berangkat dari Bogor untuk menengok keluarganya di Lampung, mengaku sudah lama menjadi penumpang Lorena. "Sejak saya kecil, orang tua sudah mengajak naik Lorena. Jadi terbiasa."
Eka Sari Lorena Soerbakti
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 3 Juni 1969
Pendidikan:
- University of San Francisco, California, Amerika Serikat, Master of Business Administration (1993-1994)
- Salve Regina University Newport, Rhode Island, Amerika Serikat, Master of Science International Business (1994-1995)
Pekerjaan:
- Marketing Executive Westin International, San Francisco, Amerika Serikat (1993-1995)
- Staf pemasaran Lorena & Karina Transport (1995)
- Direktur PT Eka Sari Lorena Transport Tbk (2000-sekarang)
- Managing Director PT Eka Sari Lorena (ESL) Express (2013-sekarang)
Profil Bisnis
PT Eka Sari Lorena Transport Tbk (Lorena)
- Berdiri: 1970, oleh G.T. Soerbakti
- Modal awal: Rp 12 juta
- Armada: 2 bus rute Jakarta-Bogor
Kini:
- Armada angkutan penumpang: 500 bus Mercedes-Benz Euro 3, menjangkau 60 kota di Jawa, Sumatera, Bali, dan Madura
- Armada angkutan barang (ESL Express): 350 truk, minibus, dan sepeda motor
- Usaha lain: Perkebunan kelapa sawit di Sumatera serta beberapa hotel dan restoran
- Nilai bisnis: sekitar Rp 4 triliun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo