Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ikan Sungai Ciliwung Terancam Punah

Jumlah spesies ikan yang bertahan di perairan Sungai Ciliwung menyusut dari 178 menjadi 23 spesies. Angka ini berpotensi semakin menurun karena pencemaran air masih terus berlangsung dan meningkat.

12 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga memperlihatkan ikan hasil tangkapan di aliran Sungai Ciliwung yang mulai mengering akibat kemarau di Kawasan Depok. Dokumentasi TEMPO/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Enam dari 23 spesies ikan di Sungai Ciliwung berpotensi punah dalam waktu dekat.

  • Masyarakat diduga banyak mengkonsumsi dan mengolah pangan berbahan ikan dari Sungai Ciliwung, terutama jenis ikan sapu-sapu.

  • Ahli menyebutkan partikel plastik baru bisa menyebar ke tubuh manusia kalau ukurannya mencapai satuan nano.

JAKARTA – Organisasi pemerhati lingkungan hidup, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), memprediksi pencemaran air yang tinggi memicu kepunahan sejumlah spesies biota Sungai Ciliwung yang tersisa. Padahal, saat ini, jumlah ikan yang hidup di aliran sungai sepanjang 120 kilometer tersebut telah berkurang 92,5 persen. Dari 187 spesies yang terdeteksi pada 1910 menyusut menjadi 23 spesies. “Itu pun enam spesies di antaranya dalam kondisi terancam punah,” kata Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, penurunan angka populasi ikan juga disebabkan rendahnya angka biota air yang menjadi sumber pangan. Pada bagian hulu, kata dia, penggundulan hutan di kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, menghilangkan nutrisi yang menjadi konsumsi penghuni Sungai Ciliwung, seperti serangga air dan sejumlah hewan makroinvertebrata. Biota air tawar ini menjadi salah satu mata rantai makan bagi sebagian besar ikan di perairan tersebut, selain plankton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ecoton pun menemukan bahwa tingginya angka kematian ikan dan kerusakan telur diakibatkan pencemaran aliran air Sungai Ciliwung berupa limbah pertanian, limbah industri, dan limbah rumah tangga. Senyawa nitrat, fosfat, logam berat, sintetis, detergen, dan klorin dalam kadar tinggi merusak insang serta sistem reproduksi ikan. Proyek betonisasi badan sungai juga telah memangkas habitat ikan untuk pemijahan.

Selain itu, populasi ikan Sungai Ciliwung terganggu akibat pencemaran mikroplastik. Limbah plastik yang terfragmentasi hingga lebih kecil dari 5 milimeter ini terbukti mengganggu sistem hormon ikan. Hal ini memicu penurunan ikan berjenis kelamin jantan hingga hanya mencapai 20 persen dari total populasi. “Di perairan yang sehat, perbandingan jantan dan betinanya berkisar 50:50 persen,” ujar dia.

Ecoton bersama sejumlah organisasi lingkungan hidup—Ekspedisi Sungai Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Ciliwung Institutememang telah menggelar pemeriksaan sampel air dari enam titik Sungai Ciliwung pada Agustus 2021. Berdasarkan pemeriksaan hasil, jumlah kandungan mikroplastik di dua lokasi, yaitu Manggarai, Jakarta; dan Yasmin, Bogor, mencapai 205-268 partikel per 100 liter air.

Sejumlah anak berenang di Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta. TEMPO/Subekti.

Koordinator Ekspedisi Sungai Nusantara, Amiruddin Muttaqin, mengatakan mikroplastik tak akan terurai saat masuk ke tubuh makhluk hidup. Partikel plastik ini berpotensi terbawa dalam sistem rantai makanan hingga pada manusia atau masyarakat. Sejumlah biota sungai ukuran kecil, seperti plankton dan bentos, mudah terpapar saat berada di perairan dengan kadar mikroplastik tinggi.

Sesuai dengan mata rantai, makhluk ini menjadi sumber pangan sejumlah ikan air tawar. “Kemudian masuk ke dalam tubuh manusia yang memakan ikan itu. Padahal mikroplastik masuk dalam kategori EDC (endocrine disruption chemical), bahan kimia pengganggu hormon,” kata dia.

Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Suci Fitriah Tanjung, pun mengatakan lembaganya masih menemukan informasi penangkapan ikan Sungai Ciliwung sebagai sumber pangan oleh masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai atau DAS. Bahkan beberapa kegiatan usaha kuliner kecil masyarakat menggunakan ikan jenis sapu-sapu yang berasal dari perairan keruh tersebut. “Kondisi sungai dan ikan-ikan yang memprihatinkan karena pencemaran tentu sangat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, terutama dari sisi kesehatan,” kata dia.

Guru besar Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, menilai mikroplastik tak berpotensi merusak dan menyebar di tubuh manusia. Berdasarkan ukuran, membran sel manusia baru bisa disusupi senyawa asing yang berukuran sangat kecil atau mencapai nanometer. Partikel plastik berukuran kecil ini bisa menempel pada setiap organ dan mulai merusak dari dalam tubuh. Adapun mikroplastik masih bisa disaring pada organ hati untuk dikeluarkan dalam bentuk feses atau air seni.

Meski demikian, ahli ekotoksikologi ini juga menyebutkan mikroplastik berbahaya bagi makhluk hidup karena kerap menjadi medium sejumlah polutan B3 atau bahan beracun berbahaya. Keberadaan mikroplastik di perairan lebih sering menjadi tempat menempel polutan, seperti logam berat dan sejumlah polycyclic aromatic hydrocarbons. “Yang menempel pada mikroplastik ini yang lebih berbahaya dan bisa menyusup ke seluruh tubuh,” ujar dia.

FRANSISCO ROSARIANS | M.A. MURTADHO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus