TAK dinyana, hilangnya ikat pinggang Anwar, petugas polisi, telah menjadi pangkal peristiwa panjang. Anwar, 27, dari Polsek Betian Besar diundang sekaligus dimintai bantuan pengamanan ketika di Desa Tuku, Kutai, Kalimantan Timur, belum lama ini diadakan upacara kangkai - menguburkan mayat. Malam menjelang upacara, Anwar menginap di desa itu dan kehilangan ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu tahu-tahu sudah dipakai Paguh, 27, anak angkat pemilik rumah tempat dia menginap. Anwar lalu meminta kembali barangnya, sambil menjitak kepala Paguh. Sedikit keributan pun terjadi, tepat saat upacara berlangsung. Hermanto, kepala adat di daerah permukiman suku Dayak itu, segera bertindak. Anwar dan Paguh disidangkan secara adat, dengan tuduhan membuat keributan. Keduanya didenda masing-masing Rp 5.000. Paguh kontan membayar, tapi Anwar menolak. Alasannya, dialah pihak yang kehilangan barang. Paguh, yang mendapat jitakan, rupanya menjadi penasaran. Apalagi ketika Anwar mengatakan bahwa pukulan tadi dilakukan sebagai pribadi, bukan dalam kedudukannya sebagai polisi. Maka, bersama temannya, Rohis, 33, Paguh memukul Anwar. Sudah tentu anggota polisi itu tak tinggal diam. Sekali lagi keributan terjadi, dan lagi-lagi kepala adat turun tangan. Senjata api laras panjang yang dibawa Anwar cepat-cepat diamankan, takut digunakan pemiliknya. Sidang adat kembali dibuka. Kali itu, baik Anwar maupun Paguh didenda Rp 25.000. Anwar mau membayar. "Saya takut di-kerjai mereka," katanya. Ternyata, persoalan belum selesai, karena senjata api Anwar baru dikembalikan seminggu kemudian lewat komandan Koramil setempat. Akibatnya, Paguh, Rohis, Hermanto, dan seorang lagi, Pudak, diperiksa dan kemudian diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyembunyikan senjata api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini