Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Imunisasi dan umur bayi

Peringatan hari kesehatan nasional, di Padang, mengambil tema tentang imunisasi anak untuk menghadapi penyakit menular. Vaksinasi masih jauh dari target para dokter cenderung meniadakan vaksinasi. (ksh)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 570.000 bayi tidak pernah mengalami ulang tahun pertama, dalam lima tahun terakhir ini. Atau, dengan kata lain, di Indonesia setiap satu jam sekitar 70 bayi meninggal dunia (dari setiap 1.000 kelahiran, 93 di antaranya meninggal). Angka ini terbilan tini iika dibandinkan, misalnya, dengan Singapura, yang setiap 1.000 kelahiran hanya 15 yang meninggal. Ini suatu pertanda bahwa tingkat kesehatan di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Maka, peringatan Hari Kesehatan Nasional, yang pekan ini diselenggarakan di Padang, pun mengambil tema "Imunisasi Anak Meniamin Generasi Muda Sehat untuk Pembangunan". Imunisasi, atau pengebalan untuk menghadapi penyakit menular, adalah salah satu upaya mengerem angka kematian bayi yang menakutkan itu. Prof. Loedin, ketua Hari Kesehatan Nasional XX (HKN XX), menyebutkan imunisasi akan menjadi program prioritas Departemen Kesehatan dan mendapat perhatian penuh selama satu tahun mendatang. Program imunisasi yang sudah berjalan sampai kini dilaksanakan untuk menghadapi enam penyakit "maut": tetanus, TBC, batuk rejan, polio, dipteria, dan campak. Untuk menghadapi penyakit-penyakit itu, dikenal empat cara yang disebut vaksinasi, yaitu: suntikan BCG (untuk menghadapi TBC), suntikan DPT (menghadapi dipteria, pertusis atau batuk rejan, dan tetanus), suntikan menghadapi campak, dan obat tetes menghadapi polio. Sampai kini, usaha melakukan vaksinasi di Indonesia masih jauh dari target. "Tidak sampai 20%," ujar dr. Sudiyanto, kepala Imunisasi Bagian Anak RSCM, Jakarta. Sasaran yang semestinya adalah: 4 juta bayi berumur 0-1 tahun, hampir 20 juta anak berusia 1-4 tahun, 65,5 juta anak usia sekolah 6-14 tahun, dan lebih dari 36 juta ibu hamil atau berusia subur (untuk mempersiapkan kekebalan bayi dalam perut). "Teknologi sebenarnya sudah ada, aplikasinya juga mudah, tapi dananya yang tidak ada," ujar Sudiyanto. Dokter ahli anak itu menguraikan, satu paket imunisasi membutuhkan biaya US$ 5. Jadi, untuk 4 juta bayi usia 1-4 tahun saja diperlukan dana sekitar Rp 20 milyar. Jumlah biaya yang dibutuhkan itu sangat besar bila dibandingkan dengan anggaran yang dimiliki Departemen Kesehatan untuk program 1984, yang cuma sebesar Rp 6,1 milyar. Padahal, jumlah itu diperuntukkan bagi semua paket imunisasi - bayi, anak-anak, dan ibu hamil/usia subur tadi. Bayangkan, betapa jauhnya kekurangan dana itu. Namun, tekad untuk memburu kekurangan itu tak bisa ditunda, dan pengerahan dana hampir tak bisa ditawar. "Semahal-mahalnya biaya pencegahan, biaya pengobatan suatu penyakit senantiasa jauh lebih mahal," ujar Sudiyanto. Selain dana, terdapat berbagai faktor lain yang menyebabkan daya jangkau imunisasi begitu rendah. Di antaranya, kurangnya pengertian masyarakat tentang perlunya vaksinasi, selain pelaksanaan pemberian imunisasi itu belum jadi program yang jelas. Masalah utama umumnya muncul dipuskesmas-puskesmas - yang tersebar sampai ke daerah-daerah terpencil. Selain kurangnya tenaga dokter di puskesmas, ujung tombak Departemen Kesehatan itu selama ini lebih banyak dianggap sebagai balai pengobatan dan bukan pos pencegahan penyakit. Untuk mengatasi hal itu, Departemen Kesehatan merencanakan membina "prokesa" (promotor kesehatan desa), yaitu tenaga paramedis yang akan membantu dokter dalam program imunisasi. Tapi usaha pemermtah itu, menurut dr. Kartono Mohamad, wakil ketua PB IDI, masih perlu dilengkapi. Kartono menyebutkan, organisasi masyarakat - baik formal maupun tidak - perlu disertakan, seperti dalam program KB, yang sudah terlihat berhasil. Tanpa itu, masyarakat di desa-desa akan sulit dicapai. Bagi pemerintah, usul untuk melibatkan organisasi masyarakat dalam gerakan imunisasi tampaknya tak akan jadi soal yang susah. Yang masih jadi masalah justru penentuan jemis-jemis imunisasi yang harus diberikan. Di lingkungan para ahli, topik ini terbilang kaya dengan perdebatan - yang sering kali menimbulkan ketidakseragaman langkah. Pernah terjadi, misalnya, perdebatan pemberian vaksinasi kotipa (untuk mengatasi penyakit kolera, tipus, dan paratipus). Dari penelitian terungkap bahwa penyakit diare (berak-berak) yang terbanyak ternyata bukan akibat ketiga penyakit yang dihadang vaksin kotipa itu. Setelah melalui berbagai selisih pendapat, kotipa akhirnya memang dihapuskan. Pemberian vaksin guna menghadapi campak (morbili) juga mengundang adu argumentasi. Sebagian dokter berpendapat, kematian karena morbili bukan diakibatkan semata-mata karena penyakit itu, melainkan akibat komplikasi, misalnya radang paru. Kematian juga akibat buruknya gizi penderita. Karena itu, para dokter cenderung meniadakan vaksinasi ini. Toh, dalam program imunisasi, vaksinasi menghadapi campak diberikan juga. Yang masih ramai dibicarakan sampai kini adalah vaksinasi BCG - vaksinasi yang terbilang penting di Indonesia. Sejumlah dokter, berdasarkan penelitian klinis, menyebutkan bahwa keefektifan BCG cuma 30%. Dengan demikian, muncul pula kecenderungan - kendati tak diungkapkan secara terbuka - untuk meniadakan vaksinasi menghadapi penyakit TBC itu. Menanggapi hal ini, Dr. Santoso seoran ahli imunologi, menyebutkan bahwa penyakit menahun seperti TBC memang sulit dimusnahkan hanya dengan vaksinasi yang membangun antibodi - yang dikenal sebagai kekebalan humoral, pertahanan menghadapi penyakit yang menyerang cairan tubuh. Kendati begitu, ini tak berarti bahwa vaksinasi itu harus dihapuskan. Vaksinasi menghadapi TBC, menurut Santoso, perlu ditingkatkan ke sistem kekebalan sel - yang dikenal sebagai pertahanan seluler. Prinsipnya, beberapa jenis sel yang terdapat pada tubuh manusia dikembangkan - atau dimatangkan - hingga mampu menyerang mikroorganisme (virus, bakteri, jasad satu sel) yang masuk ke dalam tubuh. Selain ampuh, kekebalan ini juga bisa bertahan jauh lebih lama. Imunisasi tampaknya akan terus mengalami perdebatan dan perubahan. Selain kotipa - seperti yang sudah disebutkan tadi - vaksinasi cacar juga sudah dihapus, karena penyakitnya dianggap sudah musnah. Tapi di sisi lain kini sudah muncul penelitian vaksinvaksin baru. Misalnya vaksin untuk menghadapi hepatitis-B (penyakit kuning) dan vaksin malaria - yang kini masih dalam penelitian. Apakah vaksin-vaksin ini akan masuk dalam masalah paket imunisasi di masa datang, masih belum jelas. Yang pasti, biaya kembali akan menjadi persoalan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus