MEREKA berkumpul di Masjid Baiturrahman, Kairo, pada suatu siang yang terik. Mereka mengenakan peci, jalabiyah (jubah) warna putih, dengan cambang dan misai yang lebat terpelihara. Di sisi masjid bagian lain, para ahwat (perempuan) memasuki masjid dengan jubah lebar, jilbab, dan cadar. Jauh dari hiruk-pikuk, mereka saling menyapa dengan suara halus tapi tetap menunjukkan keakraban. Para lelaki dan perempuan bertegur sapa dengan interaksi yang terbatas.
Ini sebuah pemandangan yang agak berbeda di tengah metropolitan seperti Kairo. Dalam banyak hal, ibu kota Mesir ini sebenarnya tak berbeda dengan kota besar lain seperti Singapura, New York, atau Jakarta. Kairo juga terdiri dari muda-mudi yang bercengkerama. Yang perempuan sebagian berpakaian tertutup dengan kerudung menutup kepala, sementara sebagian lain membiarkan rambut mereka terurai bebas. Yang lelaki mengenakan jins atau pakaian kasual lainnya. Tak jarang terdengar derai tawa di antara mereka yang asyik berbincang.
Hari itu di Masjid Baiturrahman, yang terletak di kawasan Dokki di jantung Kota Kairo, memang akan diadakan per-temuan silaturahmi (halaqah) mingguan. Resminya, pertemuan yang diisi salah satunya dengan ceramah itu boleh diikuti siapa saja. Tapi umumnya jemaah Masjid Baiturrahman adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Maka, kawasan Dokki siang itu tampak berbeda. Terletak menjorok dari jalan utama Kota Kairo yang padat, Masjid Baiturrahman tak ubahnya seperti kawasan santri di tengah suasana kosmopolit Kota Kairo.
Halaqah merupakan kegiatan rutin anggota Ikhwanul Muslimin. Ceramah biasanya diisi oleh seorang ustaz yang telah cukup senior. Para hadirin datang dari berbagai lapisan, tapi umumnya telah saling mengenal.
Sebagai organisasi yang telah berusia 74 tahun, Ikhwan memang bukan lembaga yang asing bagi masyarakat Mesir. Anggota kelompok ini datang dari berbagai kalangan dan profesi. Sebutlah, misalnya, Usamah Farid. Pria 45 tahun ini adalah seorang pengacara. Ia kerap membantu problem hukum anggota Ikhwan, terutama jika mereka bermasalah dengan pemerintah. Usamah tergolong keluarga berada. Apartemennya, juga di kawasan Dokki, besar dan mewah. Ruang tamunya yang bercat putih dan berkarpet terlihat lega.
Usamah bergabung dengan Ikhwan pada 1986. Sebetulnya, ia telah mengenal organisasi ini sejak masih kuliah di Universitas Ain el-Syam, Kairo. Semula ia tidak terlalu tertarik pada Ikhwan. Belakangan, setelah lama berdiskusi dengan seorang sahabatnya yang telah lebih dulu menjadi anggota, hatinya tergerak. Menurut dia, kemunduran umat Islam selama ini karena umat tak bersatu. Ikhwan dianggapnya sebagai jawaban. "Kita harus bersatu agar teguh," katanya.
Tak mudah bagi seseorang untuk bisa menjadi anggota Ikhwanul Muslimin. Seorang pendatang baru biasanya menjadi anggota karena referensi dan ajakan anggota lain. Seorang yang sama sekali baru biasanya tak langsung diterima, tapi diperiksa dulu asal-usulnya. Menurut Ishaq Musa al-Husayni, sejarawan yang pernah menulis tentang Ikhwanul Muslimin, saringan ini diberlakukan karena represi pemerintah yang keras terhadap Ikhwan selama bertahun-tahun. "Anggota baru akan diperiksa apakah memiliki hubungan dengan pemerintah atau tidak," kata Ishaq.
Sikap hati-hati ini, menurut Ishaq, ada untungnya. Ketika pemerintah Mesir menekan Ikhwan, umumnya setiap anggota setia penuh pada organisasi—misalnya untuk tidak memberi tahu rekan mereka yang akan ditangkap. Hal itulah yang terjadi ketika Ikhwanul Muslimin mengalami masa-masa sulit dalam pemerintahan Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. "Ketika terjadi penangkapan besar- besaran oleh pemerintahan Sadat, pemerintah gagal mendapatkan informasi dari anggota-anggota Ikhwan yang tertawan. Doktrin-doktrin Ikhwan memang tertanam sangat kuat dalam jiwa anggotanya," kata Ishaq.
Jika dipandang bersih, seorang calon anggota baru bisa mengikuti kegiatan orientasi, yang biasanya berupa halaqah. Di sanalah mereka menanamkan nilai-nilai Ikhwanul Muslimin seperti nilai-nilai keimanan, adab dan sopan santun, juga penjelasan tentang organisasi Ikhwan. Menurut Usamah, minimal seorang calon anggota harus memahami 10 rukun gerakan sebelum menjadi anggota. Kesepuluh hal itu adalah pemahaman tentang el-fahm (hakikat gerakan), el-ikhlash (keikhlasan), el-'amal (amal), el-jihad (jihad), el-tadhiyyah (pengorbanan), el-ta'ah (ketaatan), el-tsabat (keteguhan), el-tajarrud (kesetiaan untuk hanya mengikuti satu nilai, yaitu nilai Islam), el-ukhuwah (persaudaraan), dan el-tsiqoh (kekuatan).
Jika sudah dipandang cukup, barulah calon anggota memasuki prosesi sumpah (baiat). Tujuan baiat adalah menjamin kesetiaan anggota. Menurut Usamah, baiat bukan paksaan. Seorang yang merasa tak siap bisa saja menggagalkan maksudnya menjadi anggota Ikhwan. "Baiat hanya dilakukan terhadap imam, seperti halnya baiat para sahabat kepada imam mereka, yakni Nabi Muhammad," kata Usamah.
Karena ada prosesi yang ketat inilah kerap muncul pandangan bahwa Ikhwan adalah organisasi yang eksklusif dan tertutup. Pandangan ini tidak ditolak oleh Ishaq Musa al-Husayni. Tapi, menurut dia, ketertutupan itu hanya sebagai sikap berhati-hati terhadap represi pemerintah. Dalam interaksi sehari-hari, menurut dia, Ikhwan tidak mengajarkan anggotanya menjadi eksklusif. "Dalam Ikhwan, organisasi diatur sangat rapi tapi juga sangat terbuka. Masalah imam dan aturan pergantiannya tidak dirahasiakan. Saat ini, misalnya, siapa pun tahu bahwa mursyid 'am (ketua) Ikhwan adalah Mustapha Masyhour," kata Ishaq.
Hal yang sama diakui Usamah Farid. Ia mengaku, ketika belum menjadi anggota, ia memandang organisasi ini dengan kecurigaan. "Ketika mulai mengikuti pengajian Ikhwan, saya melihat bahwa tuduhan Ikhwan sebagai gerakan Islam yang eksklusif, fanatik, bahkan teroris, tidak benar," tuturnya.
Kesetiaan pada gerakan diwujudkan dengan kehadiran dalam setiap acara-acara halaqah. Umumnya setiap orang yang menjadi anggota akan terpanggil untuk selalu hadir dalam setiap silaturahmi itu. Tidak ada batasan bagi seorang anggota Ikhwan dalam memilih pekerjaan. Asalkan dipandang halal, setiap orang diizinkan bekerja dalam bidang apa pun. Itulah sebabnya, di Mesir, anggota Ikhwan mengisi hampir semua profesi dan bidang pekerjaan. Usamah, misalnya, adalah seorang pengacara. Ahmad Rasheed, seorang jemaah Ikhwan lainnya yang ditemui TEMPO di Masjid Baiturrahman, bekerja sebagai insinyur pada sebuah perusahaan konstruksi. "Saat ini gerakan Ikhwan di Mesir telah menjadi semacam tren," kata Ishaq Musa al-Husayni.
Yang mencirikan anggota Ikhwan dengan warga Islam di Mesir lainnya adalah pandangan-pandangan keislaman Ikhwan yang spesifik. Ikhwanul Muslimin, misalnya, sangat mementingkan perlunya purifikasi ajaran Islam. Artinya, setiap ajaran dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad. Tafsir terhadap isi Al-Quran diambil dari pe-mikiran ulama-ulama Ikhwan, seperti Sayyed Qutb atau pendiri Ikhwan, dan Hasan al-Banna.
Mereka menolak pandangan-pandangan Islam liberal, apalagi yang berbau Barat. Ikhwan juga mengajarkan Islam sebagai kebulatan ajaran. Mereka meyakini Islam, politik, dan negara sebagai sesuatu yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Itulah sebabnya salah satu tujuan gerakan adalah akan mendirikan negara berdasarkan syariah Islam.
Mudahkah itu dilaksanakan di Mesir? Tampaknya tidak. Sejak periode Gamal Abdul Nasser, pemerintah telah bertekad memisahkan agama dari negara. Itulah sebabnya, selama bertahun-tahun di Mesir, Ikhwan telah dipandang sebagai musuh negara. Aktivis Ikhwan berkali-kali ditangkap tanpa proses pengadilan.
Ikhwan sadar betul dengan kendala tersebut. Karena itu, semenjak masuk parlemen, organisasi ini mencoba akomodatif terhadap realitas politik. Salah satunya adalah dengan mencalonkan Jihan el-Halfawy, seorang politisi perempuan, masuk ke parlemen. "Dalam kondisi tertentu, keikutsertaan wanita dalam pemilu menjadi anggota parlemen dipandang penting dan perlu," kata Ahmad Rasheed.
Tentu saja, sikap akomodatif itu berlaku untuk semua kasus. Terhadap masalah-masalah yang prinsip, ajaran Ikhwan tetap erat dipegang. Hasan Hanafi, ulama Mesir yang terkenal karena menggagas ide "Islam kiri", misalnya, keluar dari organisasi ini karena merasa tak cocok dengan ajaran Ikhwan, yang dipandang terlampau "ketat".
Ikhwan pada akhirnya memang tak bisa melepaskan interaksinya dengan lingkungan dan realitas politik. Dari sanalah ia mengidentifikasikan diri untuk menjadi terbuka atau tertutup.
Arif Zulkifli, Zuhaid el-Qudsi (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini