Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

SEBUAH WAJAH TEDUH

Dahulu dianggap sebagai kelompok yang keras, kini mereka adalah kelompok Islam yang moderat. Itulah potret Ikhwanul Muslimin, kelompok sosial terbesar di Mesir. Organisasi ini telah memilih jalan parlemen, menanggalkan jalan kekerasan dalam memperjuangkan Islam. Sementara dahulu mereka menyokong Taliban, apakah mereka juga akan mendukung Taliban jika Kabul diserang AS ? Sebuah laporan dari Kairo.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Wahai Ikhwanul Muslimin! .... dunia telah menyaksikan berbagai peristiwa dan keadaan yang memprihatinkan. Belakangan, gudang mesiu meledak dan bumi disulut api peperangan, padahal manusia menyangka mereka telah tinggal di bumi yang aman tenteram…." (Hasan al-Banna dalam Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin) Tewas 52 tahun silam karena dibunuh orang-orang tak berwajah, Hasan al-Banna tetap masih hidup. Ia adalah lambang gerakan perlawanan Mesir melawan kolonialisme Inggris, tapi dia adalah seorang pendiri Ikhwanul Muslimin yang menentang kekerasan terorisme. Pekan lalu, Makmoon Hudaiby, juru bicara resmi Ikhwanul Muslimin, mengatakan serangan bunuh diri pembajak menabrakkan pesawat Boeing ke World Trade Center itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. "Itu bertentangan dengan seluruh nilai kemanusiaan dan Islam. Tapi bila Amerika membalas dengan meluluh-lantakkan Kabul, itu adalah juga teror," kata Hudaiby. Koran resmi Ikhwanul Muslimin, Afaq el-Arabbiya, mengingatkan bahwa organisasi-organisasi Islam tentu tidak akan berpangku tangan seandainya AS membalas dengan sewenang-wenang. Hingga kini, kalangan pers Barat masih saja salah tanggap atas kehadiran kelompok Ikhwanul Muslimin. Didirikan pada Maret 1928 oleh Hasan al-Banna beserta keenam sahabatnya, kelompok ini semula didirikan untuk menjadikan Quran dan Hadis sebagai ideologi umat Islam. Belakangan, kelompok ini pun menjadi lawan tangguh bagi kolonial Inggris (baca: Jalan Berduri Ikhwan Al Muslimun). Maka, sejak itu pihak Barat selalu mendapatkan kesan bahwa kelompok ini adalah kelompok radikal. Padahal sejak zaman Anwar Sadat terjadi perbedaan prinsipil antara Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan Mesir lainnya seperti Jihad Islami, Jamaah Islamiyah, Tafkir Wa al-Hijra, dan Al Najun Min al-Nar. Ikhwan memilih jalur pendidikan dan dakwah, sedangkan kaum oposisi lain memilih jalan yang lebih keras. Di Mesir masa kini terdapat dua gelombang besar organisasi oposisi: Ikhwanul (persaudaraan dengan jalan damai) dan Jihad (perjuangan bawah tanah dengan kekerasan). Tapi, dalam soal penyerbuan Kabul—setidaknya dalam sikap—mereka tampaknya seia sekata. Hubungan batin antara Ikhwanul ataupun sempalan-sempalan Ikhwanul dan Al Qaidah konon memang kuat. "Syaikh Mustapha Mashour, pimpinan Ikhwanul Muslimin, mengakui bahwa Ikhwan pernah mengirim bala bantuan ke Afghanistan pada tahun 1979 untuk melawan Rusia," kata Muhammad Sayyed, pakar politik dan strategi Timur Tengah, kepada TEMPO. Ikhwanul Muslimin bisa disebut sebagai organisasi yang menjadi inspirasi munculnya banyak organisasi Islam di Mesir, Suriah, Sudan, Yordania, Kuwait, Yaman, Afghanistan, dan banyak negara di Afrika Utara. Tak dapat disangkal, semua kelompok jihad di Mesir sesungguhnya "alumni" Ikhwan. Padahal, ketika Hasan al-Banna mendirikannya di Ismailiyyah, ia menginginkan agar organisasi bergerak sebagai jemaah sosial Islam. Anggotanya kebanyakan kalangan muslim profesional perkotaan seperti pengacara, akuntan, dan dokter. Di kemudian hari, Banna mengubah Ikhwanul Muslimin menjadi sebuah organisasi politik yang memiliki sayap militer. Dalam anggaran dasarnya memang disebut bahwa mereka memiliki organisasi rahasia (Al-Tanzhim Al-Khashsh). Sayap militer Ikhwanul inilah yang bergabung dalam perang Arab-Israel 1948-1949 dan menjadi bagian angkatan bersenjata Mesir. Pada tahun 1940-an, sayap militer ini dikenal dekat dengan organisasi rahasia opsir bebas, sebuah "klan" dalam tubuh militer Mesir yang dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser. Di suatu sore pada tahun 1948, terjadilah sebuah demonstrasi besar di Kairo. Di antara demonstrasi yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa anggota Ikhwanul itu, dua opsir Inggris tewas. Maka, Perdana Menteri Nuqrasyi Pasya mengeluarkan dekrit militer yang berisi pembubaran kelompok Ikhwan Al Muslimun. Hasilnya, sebuah dialektika pembunuhan mengerikan. Nuqrasyi tewas di tangan anggota Ikhwan. Polisi rahasia balas menembak mati al-Banna pada 12 Februari 1949. Pengganti al-Banna adalah Hasan Al Hudaibi. Tanpa pimpinan al-Banna yang karismatis, toh kepemimpinan Al Hudaibi menggulirkan revolusi dengan sukses. Pada 26 Juli 1952, garda militer Ikhwan dan Nasser bahu-membahu menggulingkan Raja Faruq. Pasukan Kavaleri 17 dari pasukan Nasser mengepung istana, memaksa Raja Faruq meninggalkan negeri itu. Sementara itu, divisi militer Ikhwan berjaga-jaga dan siap berbenturan dengan pasukan pengawal raja. Tapi bulan madu antara kaum Ikhwan dan Nasser tak berlangsung lama. Setelah revolusi berhasil, Nasser ternyata mengingkari janji untuk menyertakan Ikhwanul dalam kekuasaan. Ikhwan mengkritik kecenderungan militerisme Nasser. Akibatnya, Ikhwanul Muslimin dibubarkan untuk kedua kalinya. Para aktivisnya ditangkap dan disiksa habis-habisan dalam penjara. Dalam sel-sel penjara, militansi para Ikhwan semakin berkobar. Apalagi para anggota Ikhwanul mendapat energi dari pemikiran dan penderitaan Sayyed Qutb, intelektual masyhur Mesir, sang penghubung kunci antara sayap militer Ikhwan dan Nasser di tahun 1952, yang juga dibui. Qutb disiksa secara brutal dalam tahanan. Bagi Qutb, penderitaan adalah jalan yang harus ditempuh para syuhada. Dari dalam penjara, lelaki kelahiran 1906 itu—dengan fisik yang rapuh—mengeluarkan gagasan menyetujui penggunaan ke-kerasan senjata terhadap pemerintah yang jahiliah. Tulisan-tulisan Qutb tentang penyakit-penyakit kontemporer membuat para Ikhwan gigih melawan dari bawah tanah. Nasser menjadi Presiden Mesir pada 1956. Tahun 1966, Qutb dihukum mati dan Nasser meninggal empat tahun kemudian. Anwar Sadat, yang mengganti Nasser, membebaskan semua anggota Ikhwan yang dipenjara. Dia menerima Ikhwanul tapi tidak memberi legalisasi sebagai organisasi politik. Pada zaman Sadat ini, Ikhwanul mencoba tampil dengan wajah baru. Mereka mencoba memosisikan diri di garis tengah, antara organisasi radikal yang diilhami Sayyed Qutb dan organisasi yang juga berkompromi dengan pemerintah. Tapi, ketika Sadat menjalin perdamaian dengan Israel, persekutuan itu diam-diam putus, sementara masyarakat Mesir sendiri berdemonstrasi dan mengkritik "perdamaian" itu. Sadat memerintahkan penjeblosan ribuan aktivis lawan politiknya. "Semua orang Mesir tampak menjadi arzal, orang-orang galak," demikian ditulis sejarawan Mohammad Heikal, jurnalis senior yang dipenjarakan Sadat. Pada waktu itu sikap Ikhwanul Muslimin dianggap tak cukup jelas oleh sebagian masyarakat. PADA SAAT itulah Ikhwanul dianggap mulai lembek. Maka, lahirlah kelompok Al Jihad, yang beranggotakan mantan Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini menganggap pemerintah Mesir kafir, dan mereka gencar melakukan aksi radikal. Selain Al Jihad, faksi-faksi keras lainnya pun lahir seperti Al-Fanniyah Al-Askariyah, Jamah Al-Tafkir wa Al-Hijrah, yang tak memiliki hubungan struktur satu sama lain. Lahirnya mereka, sebagian besar, karena di-ilhami tulisan Sayyed Qutb terutama tentang jahiliah modern, pemerintah, dan masyarakat yang menyeleweng dari kitab suci. Di matanya, Ikhwanul kehilangan wibawa. Sampai tibalah hari itu, 6 Oktober 1981, saat Sadat menghadiri parade militer. Wartawan senior Mesir, Mohammad Heikal, bercerita bahwa semua hadirin bertepuk tangan melihat atraksi akrobatik pesawat-pesawat Phantom Mesir. "Sekarang datang pasukan artileri," kata pembawa acara. Sekonyong-konyong, demikian ditulis Heikal, salah satu truk dalam parade menyeruak keluar barisan. Lalu, sebelum penonton sadar, dua buah granat melayang, rentetan tembakan telah terjadi. Sadat terkapar bersimbah darah. Al Jihad mengaku mereka bertanggung-jawab. Hosni Mubarak, pengganti Sadat, langsung menghukum mati banyak anggota Al Jihad. Tokoh karismatik Al Jihad—yang juga bekas anggota Ikhwanul—seorang shaikh buta bernama Omar Abder Rahman, dipenjara. Bagi Omar, Ikhwanul telah menjadi organisasi banci. "Ada suatu saat ketika setiap orang ingin bergabung dengan Ikhwan. Tapi kemudian, ketika Ikhwan berbalik mengikuti permainan politik pemerintah, seperti pemilu dan diam saja ketika dianiaya pemerintah, ini membuat banyak anak muda muak. Kaum muda melihat Ikhwan adalah organisasi yang ketinggalan kereta. Mereka menganggapnya kuno," kata Omar. Omar dilepas dari penjara pada 1984. Tapi, dua tahun kemudian, ia dituduh terlibat pembunuhan seorang polisi di dekat Masjid Faiyoum, barat daya Kairo. Melalui Khartoun (Sudan), Omar lari ke AS dan menetap di New Jersey sejak 1990. Konon, dari AS, ia dikabarkan mengendalikan seluruh kegiatan terorisme di Mesir. Sepeninggal Omar, Al Jihad di Mesir pecah dan melahirkan faksi militer militan lain bernama Al Gamma al-Islamiya. Kelakuan kelompok ini semakin brutal. Target teror Al Gamma al-Islamiya sangat luas: masyarakat Kristen Koptik, minoritas di Mesir, turis-turis, pemikir sekuler, novelis, dan segala hiburan berbau Barat, termasuk resital musik dan film. Desember 1993, dengan alasan menjaga anak muda dari erotisme, aktivis Al Gamma menyerang Festival Film Kairo dengan senapan mesin. Satu orang tewas dan sejak itu para bintang film kenamaan Mesir sampai menyewa bodyguard. Pada 1993, kelompok Al Gamma memperingatkan agar pemerintah Barat segera mengevakuasi warganya yang tinggal di Mesir. Mereka menolak masuknya investasi asing di Mesir. Pada tahun itu, lantai dasar World Trade Center di-ledakkan bom. Shaikh Omar Abder Rahman terseret menjadi salah seorang tertuduh dan diganjar hukuman penjara di AS. Sementara itu, terjadi rentetan pembunuhan para penulis dan novelis di Mesir yang dianggap kontroversial menghina iman Islam. Pada Juni 1993, Farag Foda, pemikir yang sering mengkritik kaum fundamentalis Islam, ditembak mati oleh aktivis Al-Gamma al-Islamiya. Pada Oktober 1994, giliran Naquib Mahfouz. Sastrawan peraih Nobel ini mengalami percobaan pembunuhan. Pada usia 83 tahun, ia ditikam lehernya oleh anak muda anggota Al Gamma di pedestrian apartemennya ketika ia hendak berangkat menghirup kopi di Kafe Kashr al Nil—seperti kebiasaannya sehari-hari. Untung, ia selamat. Tragedi terorisme terbesar di Mesir adalah tahun 1997. Di sebuah pagi tanggal 17 November 1997, dua buah bus turis berwisata ke Piramid Ratu Hatshepsut, yang terletak di delta Sungai Nil, Luxor. Begitu menjejakkan kaki di area peninggalan arkeologis berumur 3.000 tahun itu, para turis disambut dengan berondongan senjata dan tusukan pisau. Enam puluh delapan turis tewas di tempat, 24 orang luka parah. Sebuah leaflet ditinggal di atas serakan mayat bertanda Al Gamma al-Islamiya. Dalam sebuah wawancaranya dengan BBC, Shaikh Omar Abder Rahman memang pernah mengatakan: "Turisme di Mesir mengakibatkan kemerosotan moral dan mendatangkan penyakit seperti AIDS. Turisme mendorong alkohol, zina, dan night club." Yang mengejutkan, bila dilacak sesungguhnya sejak dulu Shaikh Omar—tertuduh pengebom lantai dasar WTC—ini memiliki kedekatan dengan Osama bin Ladin. Kedekatan itu terjadi melalui seorang Palestina, gerilyawan Taliban bernama Abdullah Azam. Abdullah Azam, bekas anggota Ikhwanul Muslimin, semula adalah dosen hukum di Universitas Islam di Islamabad. Azam dikenal sebagai tokoh yang memopulerkan ajaran-ajaran jihad Shaikh Omar dan membaptis Omar sebagai seorang doktor Islam. Hingga akhir hayatnya, Azam sendiri berjuang di pegunungan Afghanistan. Tahun 1989, ia mati bersama dua orang anaknya karena bom di Pakistan. Selama di Afghanistan, ia dikenal sebagai pemimpin dari "Arab Afghan" yang memiliki lebih dari 9.000 sukarelawan. Salah satu sukarelawannya itu bernama Osama bin Ladin, yang kaya raya. Bisa dikatakan, Azzam adalah salah seorang guru Osama. Ia disebut-sebut sebagai orang pertama yang membentuk ideologi dan intelektualitas jihad Osama. Berkat Azzam, Osama akhirnya menyediakan semua fasilitas dan dana untuk Afghanistan. Karena kenal dengan Omar, Osama berusaha menjembatani pertentangan yang terjadi antara Al Gamma al-Islamiya dan Jihad Islam, terutama antara Omar atau anggota Al Gamma al-Islamiya lainnya dan Dr. Ayman adz Dzawahiry, pemimpin Jihad Islam. Hubungan antara Osama, kelompok Al Gamma, dan Jihad Islam pada Juni silam direkam oleh televisi Kuwait. Dikabarkan bahwa, dalam salah satu cuplikan adegan, tampak Osama menembakkan senjata dan memimpin sendiri latihan anak buahnya. Harian Ar-Ra'yul terbitan Kuwait, yang berhasil memperoleh rekaman video itu, menyebut beberapa tokoh Islam keras dari Mesir berada di tengah pasukan Al Qaidah. Di antaranya Dr. Ayman adz Dzawahiry, yang dikenal menyempal dan sangat berbeda dengan Ikhwanul Muslimin. "Ya, Dr. Ayman adz Dzawahiry dan beberapa pimpinan Jihad Islami lain—seperti Rifa'l Ahmad Thaha—saya perkirakan hingga kini masih bersama jemaah Al Qaidah," tutur Muhammad Sayyed Sa'id, pakar politik Timur Tengah, kepada TEMPO. Pada titik ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Osama memang dekat dengan berbagai tokoh-tokoh militan radikal Islam—yang keluar dan menyempal dari Ikhwanul Muslimin. Tentu saja dengan mudah banyak orang menduga—meski sukar mencari bukti keras—bahwa Osama bin Ladin berada di balik pembiayaan kegiatan kelompok yang berbeda-beda itu. HINGGA kini, sesungguhnya kelompok asli Ikhwanul Muslimin tetap mengutuk terorisme dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan kelompok ekstrem itu. Mereka menyangkal memiliki aliansi dengan Jihad Islam atau Al Gamma al-Islamiya. "Ada masa-masa ketika kami begitu tertekan dan benar-benar terpojok. Maka, tidak ada jalan lain kecuali membela diri. Kekerasan dihadapi dan dibalas dengan kekerasan. Kini kita sudah tidak menggunakan jalan kekerasan karena berjuang secara legal," kata Muhammad Makmoon Hudaiby, Wakil Ketua Ikhwanul Muslimin, kepada TEMPO. Lelaki berjanggut putih orang nomor dua kelompok Ikhwanul ini menjelaskan bahwa strategi Ikhwanul sekarang adalah jalan parlementer. Para aktivisnya—sejak masa pemerintahan Nasser—meski tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai anggota Ikhwan, toh masuk ke partai-partai kecil untuk ikut dalam pemilu. Meski Ikhwan meninggalkan kekerasan, Mubarak tetap menganggap kelompok ini berbahaya. Menurut Mubarak, organisasi ini hanya tenang pada lapisan luar, tapi tetap memiliki hubungan rahasia dengan kelompok militan. "Soalnya, Presiden Hosni Mubarak telah enam kali mengalami upaya pembunuhan. Ia percaya para aktivis Ikhwanul ikut terlibat," kata pengamat Muhammad Sayyed Said. Ia menggencet, memarginalisasi setiap usaha politik Ikhwanul Muslimin. Tetapi, semakin ditindas, anggota Ikhwanul semakin unjuk gigi. Mereka ingin membuktikan citra bahwa mereka adalah kelompok moderat dan berbeda dengan kelompok keras. Beberapa gerakan yang mengejutkan adalah saat pemilu November 2000 lalu, misalnya, secara terang-terangan mereka menyokong seorang wanita: Sayyedah Jiham el-Helfawwy dan seorang Qibty (seorang umat Kristen Koptik) sebagai calon independen untuk parlemen. Mesir geger karena dua calon ini semestinya bagi kaum fundamentalis terlarang menjadi pemimpin di Mesir. Ketika pencoblosan dilakukan, tentara menyerang beberapa pendukung Ikwanul untuk melakukan pencoblosan. Di kampung delta Nil, Dahkala, sebelah utara Kairo—dikenal sebagai basis Ikwanul Muslimin—ratusan warga terluka dan lima orang tewas. Ikhwanul mendapat 15 kursi di parlemen—suatu jumlah yang terbesar di antara partai oposisi lain seperti Partai Nasserist dan Hizb al-Ahrar (partai liberal). Meski Hizb al-Dimugratiyah al Wataniyah (Partai Nasional Demokratik), partai Hosni Mubarak, tetap menang mutlak, perkembangan pesat Ikhwanul membuat Mubarak kecut. "Dengan masuk parlemen, Ikhwanul akan semakin tahu kelemahan-kelemahan pemerintah. Kami akan terus melahirkan undang-undang yang demokratis," kata Dr. Abdul Fatah, seorang wakil Ikhwanul di parlemen. Kecenderungan moderat Ikhwanul ini juga terpancar pada sosok Jamal al-Banna, adik Hasan al-Banna. Ditemui koresponden TEMPO di kantornya di Jalan Syari' Jaish, Kairo, Jamal al-Banna menyatakan keheranannya mengapa Nawal El Sa'dawy sampai harus dihadapkan ke pengadilan. "Itu adalah bentuk pembelengguan kebebasan berpikir," katanya. Pernyataan ini sungguh mengejutkan karena pemikiran feminis Sa'dawy sering dianggap keterlaluan dan sampai dicap murtad oleh mufti Mesir, Faried Wasil (lihat wawancara khusus dengan Jamal al-Banna). Pekan ini, kelompok Ikhwanul tengah dilanda kesibukan memilih ketua umum baru. Bursa calon ketua diramaikan oleh kandidat Yusuf Qardhawi, ulama yang dikenal sangat menganjurkan demokrasi dan pluralisme. Bila Qardhawi menang, bisa dipastikan wajah Ikhwanul makin moderat. Tak mengherankan jika, di masa mendatang, Mubarak akan menganggap Ikhwanul sebagai potensi oposisi yang menakutkan. Ini juga lantaran sumber daya ekonomi pengikut Ikhwanul kini paling merata. Hampir semua jabatan strategis di bidang profesional Mesir, dari kedokteran, pengacara, insinyur, apoteker, dosen, sampai ekonom, diisi oleh anggota Ikhwanul. Mereka memiliki dana yang memadai. Di kalangan rakyat bawah, Ikhwanul juga terkenal ringan tangan. Ketika gempa bumi mengguncang Kairo pada tahun 1992, Ikhwanul adalah organisasi yang tercepat yang segera bergerak me-nolong para korban. Mereka menyediakan ratusan tenda bagi yang kehilangan rumah, dan memberikan bantuan pengobatan. "Mereka baik hati. Sering memberi tambahan uang bagi mahasiswa-mahasiswa asing di Mesir," kata seorang mahasiwa Al Azhar asal Indonesia. Kaum Ikhwanul yakin bahwa menjadi oposisi dalam parlemen, melakukan perubahan terencana secara bertahap, lebih efektif daripada melakukan teror. Menurut pengamatan wartawan TEMPO, saat terjadi demonstrasi di Mesir menentang Ariel Sharon—yang beberapa waktu lalu mengunjungi Masjidil Aqsa—para tokoh Ikhwanul cenderung tidak reaksioner. Tapi kini tanah Afghanistan terancam akan digempur oleh AS. Bila pekan mendatang Kabul menjadi santapan misil-misil AS, akan menarik untuk memperhatikan sikap kaum Ikhwanul, karena mereka kini adalah organisasi yang menjadi berwajah lebih moderat. Seno Joko Suyono (Jakarta), Zuhaid el-Qudsy (Kairo,Mesir)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus