28 Februari 1922
Setelah dijajah Inggris sejak September 1882, Mesir memproklamasikan kemerdekaan—yang ternyata semu. Ada empat syarat yang diberikan: Inggris bisa mengintervensi kebijakan Mesir, tentara Inggris tetap di Mesir, Inggris menguasai tentara dan polisi Mesir, Inggris masih menguasai Terusan Suez dan bank negara.
Maret 1928
Al Mursyid Hasan al-Banna—bersama enam sahabatnya: Hafidh Abdul Hamid (tukang kayu), Ahmad Al Khushari (tukang cukur), Fuad Ibrahim (penarik pajak), Abdurrahman Hasbullah (sopir), Ismail Izz (tukang kebun), Zaki Al Maghribi (tukang gerobak)—mendirikan Ikhwan Al Muslimun. Tujuan utama gerakan yang didirikan di Kota Ismailiyyah (260 kilometer dari Kairo) ini adalah menjadikan Quran dan Hadis sebagai ideologi umat Islam. Secara tak langsung, Ikhwan merupakan perlawanan terhadap gerakan oleh tokoh politik Mesir, Rifa'ah At-Thanthawi, yang menyebarkan faham liberalisme Barat. Ikhwan menjadi lawan tangguh bagi kolonial Inggris.
1932
Hasan al-Banna dan markas besar Ikhwan Al Muslimun pindah dari Kota Ismailiyyah ke Kairo. Tahun ini juga berdiri Firqah Akhawat Muslimah (unit perempuan Ikhwan Al Muslimun).
1933
Bertepatan dengan 22 Shafar 1352, terbit majalah mingguan Ikhwan Al Muslimun. Majalah yang terbit hingga November 1938 ini menjadi media yang efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran organisasi.
1936
Meletus konflik Palestina-Israel. Ikhwan Al Muslimun menyerukan perlawanan untuk membela hak-hak rakyat Palestina. Ikhwan segera mengobarkan patriotisme dan nasionalisme negara-negara Arab. Selain itu, jemaah Ikhwan selalu membaca doa Qunut untuk Palestina dalam setiap salat wajibnya agar mendapat kemudahan dan pertolongan dari sang Khalik. Doa ini pula yang digunakan Ikhwan Al Muslimun untuk mengusir Inggris dari tanah Mesir.
1938
Hasan al-Banna menya-takan ekonomi Mesir dikuasai oleh Inggris. Ada 320 perusahaan asing dan hanya ada 11 per-usahaan domestik. Saat itu Ikhwan telah membuka 300 syu'bah (cabang) di seluruh Mesir. Tiap syu'bah memiliki sebuah sekolah, perpustakaan, dan klub olahraga.
1939
Ikhwan mulai melakukan tarbiah dengan membuka pengajian tiap Selasa bagi masyarakat Kairo. Pengajian yang disebut Hadits Tsulatsa itu selalu diikuti 4.000-an orang.
1940
Ikhwan Al Muslimun mulai menyelenggarakan nizham khas, yang berisi pendidik-an militer ala Islam dan pendidikan politik Islam.
1941
Ikhwan menjalankan reformasi pendidikan. Beberapa agenda penting yang telah dijalankan: mengampanyekan wajib belajar, penghapusan biaya sekolah dasar, pendirian Universitas Faruq (Iskandaria) dan Universitas Ainu Syams. Tapi masih ada beberapa hal yang menyedihkan, seperti soal jam pelajaran bahasa Arab di sekolah menengah, yang cuma enam jam seminggu. Sedangkan bahasa Inggris diajarkan sembilan jam seminggu.
14 April 1948
Ikhwan Al Muslimun mengirim 10 ribu pasukan bersenjata ke Palestina untuk bertempur dengan pasukan Israel.
1948
Sekitar 500 ribu anggota Ikhwan Al Muslimun berpartisipasi dalam gerakan pembebasan nasional Mesir. Tapi, pada 8 November 1948, pemerintahan Muhammad Fahmi An-Naqrasyi (1948-1950) justru menutup Ikhwan. Beberapa tokoh pentingnya dijebloskan ke penjara.
12 Februari 1949
Hasan al-Banna dibunuh oleh orang-orang bersenjata.
Desember 1950
Hasan Al Hudaibi terpilih menjadi Al Mursyid (pemimpin) Ikhwan Al Muslimun. Dengan restu Dewan Tertinggi Negara, pemerintahan An Nuhas mengizinkan kembali gerakan Ikhwan.
23 Juli 1952
Terjadi Revolusi yang dipimpin Jenderal Gamal Abdul Nasser. "Ikhwan Al Muslimun adalah pendukung utama revolusi ini," kata Nasser. Tiga hari kemudian, Raja Farouk meninggalkan istana. Kekuasaan beralih ke tangan militer.
Agustus 1954
Pemerintahan Nasser melakukan langkah hukum untuk mengambil hati rakyat. Para pelaku pembunuhan Hasan al-Banna dijatuhi hukuman berat. Detektif Ahmad Husen Jad, yang menembak mati al-Banna, diganjar hukuman 25 tahun penjara. Kepala Keamanan Umum Mahmud Abdul Madjid, yang juga terlibat, dijatuhi hukuman 15 tahun.
Januari 1954
Nasser membubarkan Ikhwan Al Muslimun, organisasi yang dulu mendukungnya. Kemudian, rezim militer itu membentuk mahkamah asy sya'bi (pengadilan rakyat) dan menghukum sekitar 5.000 anggota Ikhwan. Bahkan, tujuh pemimpin Ikhwan—termasuk Al Mursyid Hasan Al Hudaibi—dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung di depan umum.
Juni 1954
Sayyed Qutb terpilih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Ikhwan Al Muslimun. Kemudian, ia menjadi al mursyid ketiga dari gerakan itu. Tapi, ia segera ditangkap dan mendekam di penjara hingga tahun 1964.
1965
Nasser kembali memberangus Ikhwan dengan alasan merencanakan kudeta. Sekitar 30 ribu orang ditangkap dan sebagian mati dibunuh. Tiga pemimpinnya—Sayyed Qutb, Abdul Fattah Ismail, Muhammad Yusuf Hawwasy—dijatuhi hukuman mati. Sejak itu, Ikhwan menjadi gerakan bawah tanah yang terlarang.
1970
Pada 28 September, Nasser meninggal dunia. Posisinya digantikan oleh Anwar Sadat. Berkat dukungan Raja Feisal dari Arab Saudi, beberapa aktivis Ikhwan mulai dibebaskan. Sebagai timbal balik, Raja Feisal memberikan bantuan sebesar US$ 100 juta bagi Universitas Al Azhar, Kairo. Beberapa cabang Ikhwan di luar Mesir—seperti di Yordania, Irak, Palestina, Lebanon, dan Yaman—mulai tumbuh subur.
1976
Ikhwan Al Muslimun menerbitkan majalah Ad-Da'wah, yang bertujuan menghidupkan gerakan ini secara formal.
6 Oktober 1981
Anwar Sadat tewas dalam sebuah parade militer berdarah. Gerakan Jihad El Islami, sebuah sempal-an Ikhwan Al Muslimun, dituding berada di balik pembunuhan itu.
1987
Lewat Partai Amal Isytiraki dan Partai Ahrar, Ikhwan Al Muslimun berhasil meraih 36 kursi dari 88 total kursi di parlemen.
2001
Ikhwan Al Muslimun telah memiliki cabang di 60 negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini