DENGARKAN Hasan al-Banna, suatu ketika: "Dalam kondisi terpaksa, kita akan terus terang menjelaskan posisi kita.... Kita siap menghadapi segala akibat.... Tidak ada dakwah tanpa jihad dan tidak ada jihad tanpa pengorbanan."
Tanpa mengetahui anjuran yang lain dari pendiri Ikhwanul Muslimin itu, kutipan tersebut—diambil dari buku Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Intermedia, Surakarta, 1998)—bisa mengesankan bahwa jihad yang dimaksud adalah perjuangan lewat kekerasan. Dan sesungguhnya, menurut sebagian orang Mesir, itulah yang terjadi setelah sang pendiri meninggal pada 1949. Ikhwanul Muslimin menggunakan kekerasan sebagai jalan perjuangan. Yang jelas, paguyuban persaudaraan muslim ini kemudian memang sering ber-masalah dengan pemerintah Mesir. Akibatnya, banyak anggotanya ditangkapi dan dihukum karena terlibat berbagai tindak kekerasan.
Padahal, dalam berbagai kesempatan, sering Hasan al-Banna menganjurkan perjuangan damai. Ia, misalnya, mengibaratkan organisasi yang didirikannya sebagai semacam penasihat pemerintah. Salah satu yang dilakukannya, "mengajukan kepada pemerintah Mesir konsep perbaikan menyangkut berbagai persoalan...." Ia pun sering mengutip kata-kata Nabi Muhammad saw bahwa manusia yang paling dimurkai Allah adalah "orang yang mengadu domba, memecah-belah persaudaraan, dan mencari kesalahan orang-orang yang baik".
Kini, tampaknya, generasi muda Ikhwanul Muslimin (IM) ingin kembali ke khitah. Tanda-tanda perubahan mulai tampak dengan munculnya dukungan terhadap Dr. Syaikh Yusuf Qardhawy, seorang intelektual ulama yang berasal dari Qatar. Qardhawy dicalonkan menjadi pemimpin tertinggi IM dalam pemilihan ketua yang direncanakan berlangsung pada Oktober mendatang.
Selain dari generasi muda di Ikhwanul di Mesir, Qardhawy, tokoh yang dikenal sebagai ulama moderat itu, didukung oleh sebagian besar cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di luar Mesir—Yordania, Qatar, Suriah, dan Lebanon.
Munculnya dukungan kepada Qardhawy adalah karena generasi muda tak setuju dengan kepemimpinan Syaikh Musthapa Mashour sekarang ini. Karena kepemimpinan tokoh yang dikenal menganut garis keras itu, Partai Buruh (Hizb el-Amal) yang dikontrol oleh Ikhwanul Muslimin dibekukan, dan koran As-Sya'ab dibredel pada Juli 2000. Akibatnya, Ikhwanul sebagai organisasi kehilangan akses ke publik.
Memang, seperti diceritakan Abdul Wahab, aktivis Ikhwanul pendukung Qardhawy, organisasi memang kehilangan akses ke masyarakat, tapi individu-individu Ikhwanul karena itu justru bisa tampil. Di antara anggota parlemen hasil pemilihan Oktober 2000 silam, tujuh di antaranya adalah politisi Ikhwanul berbendera independen. Sedangkan Partai Buruh, sebelum dibekukan, paling banyak hanya merebut dua kursi parlemen.
Itulah kenapa Abdul Wahab berpikir, pembekuan Partai Buruh justru membuka peluang Ikhwanul mendirikan partai baru. Dan Wahab tak cuma berpikir, ia juga melakukan sesuatu yang nyata: membentuk kelompok pemuda el-Wasath di Mesir. Anggota el-Wasath umumnya kaum profesional yang pragmatis. Dan dalam waktu singkat, el-Wasath menjadi dominan di dalam Ikhwanul Muslimin, bisa menekan faksi garis keras. "Kelompok el-Wasath menginginkan IM berjuang secara legal tanpa kekerasan," tutur Muhammad Makmoon Hudaybi, Wakil Ketua (Naib Mursyid el-'Am) Ikhwanul Muslimin.
Cita-cita el-Wasath, mengubah citra organisasi yang telanjur dicap sebagai gerakan radikal dan menepis tuduhan abadi pemerintah Mesir bahwa Ikhwanul membahayakan keselamatan negara. Cap dan tuduhan itu selama ini hanya menghasilkan penangkapan, penyiksaan, dan hukuman mati. Bahkan, di masa pemerintahan Presiden Mubarak, yang lebih longgar terhadap gerakan atau organisasi ini, tetap terjadi penangkapan pemimpin-pemimpin Ikhwanul. Misalnya, pemerintah Mubarak pernah menangkap 20 aktivis Ikhwanul di tahun 1999. Mereka itu dituduh mengadakan pertemuan ilegal, memiliki publikasi antipemerintah, dan melakukan inflitrasi ke dalam serikat profesi.
Tapi gagasan generasi muda itu masih terhalang oleh kelompok garis keras yang dikomandoi oleh Mustapha Mashour. Itu sebabnya, kata Dr. Abdul Fatah, anggota Ikhwanul di parlemen, generasi muda berharap benar Syaikh Yusuf Qardhawy bisa mengembalikan citra organisasi ini. Mereka melihat pada diri Qardhawy semangat dan kebijakan yang dimiliki oleh sang pendiri, Syaikh Hasan al-Banna.
Ikhwanul Muslimin, kata Hasan al-Banna suatu ketika, menyebarkan cita-citanya lewat dakwah. Juga, lewat "perjuangan secara konstitusional agar dakwah itu memiliki suara di lembaga pemerintahan…." Jalan kekerasan bukanlah pilihan pertama—setidaknya itulah yang bisa disimpulkan dari buku Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terjemahan dari Majmu'ah Rasail Al-Imam Asy-Syahuid Hasan al-Banna, buku yang menghimpun berbagai ceramah dan makalah sang pendiri.
Tentu saja Musthapa Mashour menentang Yusuf Qardhawy. Ia pun menganggap kelompok pemuda al-Wasath tak lebih sebagai anak bawang yang tak bakal berpengaruh dalam peta politik internal Ikhwanul Muslimin. Kritik-kritik mereka terhadap sang pemimpin dinilai tak berdasar.
Berdasar atau tidak, Muhammad Makmoon Hudaiby, salah seorang pengurus Ikhwanul sekarang, memang kesal pada cara-cara kelompok al-Wasath merebut simpati publik. Kata Hudaiby, pemuda-pemuda itu suka mengembangkan per-bedaan tajam antara kelompok moderat dan kelompok garis keras secara tak proporsional, tanpa mengingat latar belakangnya.
Menurut Hudaiby, ada masa-masa ketika Ikhwanul begitu tertekan dan terpojok. Dalam kondisi seperti itu, katanya, tak ada jalan lain kecuali membela diri dengan segala cara, termasuk cara kekerasan. "Kekerasan terpaksa dihadapi dengan kekerasan," ujarnya.
Memang, cap gerakan radikal yang doyan kekerasan melekat pada Ikhwanul Muslimin. Tapi, kata Hudaiby, itu tinggal sejarah. IM telah memisahkan diri dari gerakan radikal lainnya, seperti Jamaah Takfir wal Jihad, yang dikenal sebagai kelompok yang suka menggunakan aksi kekerasan melawan pemerintah. Lagi pula, IM sudah ikut dalam pemilihan anggota parlemen lewat Partai Buruh—sebelum partai ini dibekukan. Jadi, katanya, "Penggolongan moderat dan radikal itu hanya untuk memecah-belah persatuan Ikhwan."
Tak berarti Hudaiby berdiri di belakang Mashour tanpa reserve. Baginya, pencalonan Qardhawy suatu hal yang wajar, apalagi mengingat Qardhawy memiliki kontribusi besar terhadap organisasi. Ia tak menceritakan apa saja sumbangan tokoh moderat itu. Sidang Umum Haiah Ta'sisiyah yang memiliki 150 anggota itulah nanti yang akan menentukan siapa layak menjadi ketua Ikhwanul selanjutnya.
Cuma, persaingan di dalam Ikhwanul Muslimin itu bagi orang luar tak begitu tampak. Yang disebut-sebut sebagai tokoh moderat, Syaikh Yusuf Qardhawy itu, bagi orang luar sebenarnya masih mengusung gagasan fundamentalis Ikhwan: memperjuangkan terbentuknya negara Islam. Tapi, memang begitulah Ikhwanul Muslimin.
Karena itulah mereka yang bersikap seperti Hudaiby mengkhawatirkan gejolak di dalam itu—apa pun sebabnya dan apa pun hasilnya—akan lebih merugikan Ikhwanul. Siapa tahu, di puncak krisis nanti, bukan Mashour atau Qardhawy yang bakal memimpin Ikhwanul Muslimin, melainkan tokoh yang kini belum muncul yang benar-benar jauh dari radikal. Dalam sejarah organisasi apa pun, hal seperti itu bukannya jarang terjadi.
Raihul Fadjri, Zuhaid el-Qudsy (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini