SEPOTONG iklan membuat banyak pihak belingsatan. Inilah cerita di balik sebuah iklan dukacita di koran Analisa Medan awal Mei silam. Kisah lengkapnya begini. Pek Boen Sin alias Mardi, 42 tahun, meninggal dunia Kamis 29 April 1993 di Rumah Sakit Methodist Medan. Istrinya, Ni Putu Kertiari, lalu memasang iklan duka seperempat halaman koran. Di halaman yang sama dan ukuran hampir sama, ada pula iklan turut berdukacita dari 13 instansi sipil dan militer. Bukan hanya dari Kejaksaan Tinggi atau pengadilan di daerah setempat, tapi juga dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kupang, Jakarta Pusat, sampai Markas Besar Kepolisian RI. Bukan main, memang. Siapa sih tokoh yang didukai sekian instansi penting pemerintah ini? ''Wah, apa-apaan ini. Secara dinas, jabatan, maupun pribadi, tak pernah saya menyuruh pasang iklan. Lagi pula, saya tak kenal dengan nama ini,'' ujar Martin Basiang, S.H., Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Belum selesai bingung, telepon berdering dari koleganya, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Haji Akhmad Masrul, S.H. Martin Basiang lalu mempersiangi kasus ini. Asisten Pengawasan, Suharyo Wongsoyudo, diperintahkannya mengusut. Juga Sentosa Sinulingga, Kepala Humas, harus segera membuat bantahan. Hari itu Sabtu, jadi bantahannya dibuat Senin. Eh, Sabtu sorenya iklan biang heboh tadi muncul pula di koran Garuda. ''Mereka mengutip dari Analisa tanpa ada yang memasang. Ini memang taktik menjerat pemasang iklan,'' kata sumber TEMPO. Kerepotan ekstra melanda instansi pengadilan, dan markas kepolisian daerah. Dari kantor lain tak terdengar reaksi, mungkin karena koran itu tak pernah sampai ke tempat mereka. Yang membuat bantahan adalah Ketua Pengadilan Tinggi dan Kapolda Sumatera Utara. ''Pemasang iklan itu akan diusut motivasinya,'' kata Letnan Kolonel Leo Soekardi, juru bicara Polda Sumatera Utara, kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Pemasang iklan sampiran itu rupanya Ni Putu juga, dibantu Emma Simanungkalit, Kepala Sub-Seksi Pidana Umum Kejaksaan Tinggi. Dalam pemeriksaan di kejaksaan, Emma, yang jaksa senior itu, mengungkapkan ia yang mengantar iklan tersebut. Konsepnya ditulis Ni Putu, berbunyi ''rekan-rekan di Kejati dan Kejari Medan.'' Jadi, bukan seperti termuat di koran, langsung menunjuk pejabat, seperti Kepala Kejaksaan Tinggi, Kapolda, atau Ketua Pengadilan Tinggi. Menurut Emma, konsep itu ditanyakannya apakah sudah sepengetahuan pihak yang disebut. ''Dijawab Ni Putu, sudah, maka saya antar,'' katanya. Tulisan tangan itu diketik petugas iklan. Emma mengaku tidak membacanya kembali, dan main asese saja. Menurut pengakuan Ni Putu, targetnya untuk memacan-macani kalangan bisnis. Meski konseptornya Ni Putu, ternyata iklan itu dinyatakan dicabut oleh Emma, dan hanya dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, pekan lalu. Tidak jelas mengapa bukan di koran yang sama. Begitu pula, belum diketahui apa halangannya pihak kepolisian perlu menunggu pengaduan, padahal nama Mabes Polri juga dicantumkan dalam iklan itu. Baik Emma maupun Ni Putu belum bisa ditemui karena selalu menghindar. Menurut sumber TEMPO, di kalangan kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian, Ni Putu dikenal sebagai semacam calo perkara. Dalam teorinya, iklan itu dapat menaikkan citranya. Dengan gaya mengempit kepala harimau, Ni Putu berharap orang akan menyerahkan perkara padanya untuk diurus. ''Biasa, ulok Cina Medan-lah pula,'' komentar sumber tadi. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini