Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Situs candi mengenal amdal

Mundardjito, arkeolog ui, menjadi doktor karena disertasi tentang situs candi dan tata ruang. situasi setempat mempengaruhi bentuk, ukuran, lokasi, dan sebaran candi itu.

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Situs candi mengenal amdal
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JARANG-jarang ada arkeolog yang mau mengaduk-aduk situs candi dalam partai besar seperti dilakukan Mundardjito, 56 tahun. Dosen arkeologi UI ini mendatangi 218 situs sekaligus, untuk penelitiannya. Situs itu terserak di area 1.018 kilometer persegi, di Kabupaten Bantul dan Sleman, Yogyakarta, dari pundak Gunung Merapi sampai pesisir selatan. Hasil penelitian itu lalu dikemas dalam disertasi yang dipertahankannya di depan tim penguji di kampus UI Depok, Sabtu dua pekan lalu. Hasilnya, ia dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Kini ia satu-satunya ahli arkeologi ruang di Indonesia. Situs yang diteliti itu diperkirakan dari abad ke-10 sampai ke-13, sisa kebudayaan Jawa kuno. Tapi Mundardjito tak berniat menyingkap asal-usulnya dan tak pula membahas langgam arsitekturnya. Bahkan, ia tak mau tahu candi itu bercorak Hindu atau Budha. Perhatiannya melulu tercurah untuk mencari tahu pola sebaran candi-candi itu. Yang ia tahu, orang-orang Sleman dan Bantul kuno itu punya alasan sendiri menetapkan lokasi candi untuk keperluan ritualnya. Alasannya bisa politis, bisa pula irasional, yang terkait dengan mood penguasa setempat. ''Yang saya lakukan ialah mencari alasan teknologis dan ekologis,'' ujarnya. Maka, pada setiap situs yang dijumpainya, ia membuat observasi fisik lingkungan setempat: kondisi tanah, jenis batuan, kelerengan, ketinggian dari muka laut, drainase, kedalaman air tanah, sampai soal jarak situs ke sumber air alam. Hasil observasinya dicatat dan dianalisa statistiknya. Dari catatannya tampak bahwa orang Jawa kuno lebih menyukai lahan datar untuk candi. Mundardjito menunjukkan, 70% candi di- bangun di lahan yang kemiringannya 02 persen. Tanah dari endapan lahar rupanya menjadi favorit. Hampir 70% situs ada di tanah semacam itu. Fakta ini tampaknya terkait dengan masyarakat desa pengguna candi, yang perlu lahan subur. ''Tanah semacam ini kaya, cocok untuk pertanian,'' kata Mundardjito. Orang Bantul dan Sleman kuno itu tampaknya juga memperhatikan ketebalan solum, lapisan tanah yang mudah ditembus akar tanaman. Dan tak sembarang solum. Mereka lebih suka solum yang tebalnya lebih dari 90 cm, berdrainase bagus. Hampir 83% situs ada di tanah semacam itu. Namun, kemudahan memperoleh air sumur agaknya bukan menjadi pertimbangan utama untuk lokasi candi. Dari semua lokasi situs yang ada, menurut Mundardjito, 56% di antaranya kedalaman air tanahnya lebih dari tujuh meter. Boleh jadi, air untuk penyucian sebelum orang menginjakkan kaki ke candi tak diambil dari sumur, tapi dari sungai. Nyata- nya, 82% dari situs itu ada di jarak kurang dari 500 m dari sungai atau anak sungai. Dalam persepsi orang pedesaan di Sleman dan Bantul, jarak 500 m terhitung dekat. Tapi Mundardjito puas dengan analisa sepenggal-sepenggal itu. Ia merangkum semua data dari 218 candi itu dan mengalkulasikannya dengan komputer yang memuat program analisa koresponden. Analisa ini membuat pengelompokan berdasarkan kedekatan karakter setiap situs. Hasilnya, 218 situs itu terbagi dalam empat kelompok, yang perbedaannya signifikan betul. Dalam disertasi Mundardjito disebut bahwa kelompok I (10 candi) berdiri di atas solum tipis dari batuan gamping susah air dan tak subur. Kelerengan di situ lebih dari 15%. Minoritas lainnya adalah kelompok III: cuma enam situs, sebagian dibangun di dekat muara Sungai Progo. Daerah itu tak begitu subur dan sering kebanjiran di musim hujan. Kelompok II (85 situs) ada di lingkungan yang relatif subur. Sebagian besar berada di atas 200 meter dari permukaan laut, tapi masih di bawah 1.500 meter, dekat sungai, dan di lahan yang kemiringannya 215%. Yang paling banyak adalah kelompok IV (117 situs): di atas tanah subur, dekat sungai, kelerengannya kurang dari 2%, dan ketinggianya kurang dari 200 meter. ''Kelompok ini yang saya anggap mewakili pola umum candi,'' ujarnya. Persyaratan untuk lokasi candi mungkin saja sudah dikenal masyarakat Jawa kuno. ''Tapi kami tak pernah menemukan dokumennya,'' ujar Mundardjito. Tak satu pun prasasti Jawa menyebut ketentuan itu. Padahal, pedoman itu termuat jelas dalam kitab Manasara-Silpasastra, buku pintar yang menjadi pe- gangan kaum Hindu di India. Kitab itu menjelaskan, sebelum candi dibangun, arsitek pendeta (sthapaka) dan arsitek perencana (sthapati) meninjau lokasi. Mereka mengamati kondisi lahan: kelerengannya, tekstur, bau, dan keadaan tumbuhan liar di sekelilingnya. Itu tak cukup. Berikutnya, mereka membuat lubang, sedengkul dalamnya, dan mengisinya dengan air, penuh. Bila air itu habis meresap dalam sehari semalam, tanah tadi tak cocok untuk candi. Drainasenya terlalu besar, yang berarti fraksi pasirnya terlalu besar. Sebaliknya, bila dalam 24 jam air belum meresap, drainasenya terlalu buruk. Ini berarti tanahnya bertekstur liat. Yang dianggap bagus adalah bila air dalam lubang itu masih tersisa separuhnya. Ini indikasi tanah subur yang punya daya simpan air cukup bagus. Dari temuan Mundardjito itu tampak bahwa pola pikir orang Jawa kuno dalam mencari lokasi candi, sedikit banyak, dipe- ngaruhi Manasara-Silpasastra. Unsur yang kini disebut analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) dan tata ruang sangat dipertimbangkan. Itulah ''prasasti'' baru Mundardjito. Putut Trihusodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus