Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ilham dari Benua Hitam

Keprihatinan akan nasib penduduk Republik Transvaal mendorong Ernest Douwes Dekker ke medan perang. Landasan politik bagi perjuangannya di kemudian hari.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Boer (Boerenoorlog) yang meletus di Republik Transvaal, Afrika Selatan, mengusik tiga bersaudara Douwes Dekker. Semangat perlawanan mereka bangkit mendengar kabar para petani di negara itu berperang melawan penjajah Inggris.

Dalam keadaan menganggur setelah dipecat dari Pabrik Gula Padjarakan karena sering menggalang protes, Ernest François Eugène Douwes Dekker dan kedua saudaranya, Julius dan Guido, memantapkan niat menjadi sukarelawan di Benua Hitam.

Penduduk Transvaal bangkit melawan Inggris, menyusul penemuan cadangan emas dalam jumlah besar di Barberton pada 1885 dan di Withwaters, tak jauh dari Johannesburg, pada 1886. Industri tumbuh di berbagai kota, tapi penduduk setempat, yang sebagian besar petani, tetap miskin.

Inggris mendatangkan sepuluh ribu serdadu tambahan pada Juni 1900 untuk menghadapi pasukan Boer—sebutan bagi orang-orang berbahasa Belanda yang mendiami wilayah itu. Jumlah tentara Boer hanya satu berbanding sepuluh dengan tentara Inggris.

Tak pelak tiga jenderal Boer—Christian de Wet, Louis Botha, dan Jacobus Hercules de la Rey—harus putar otak bila tak mau tumpas. Mereka menerapkan strategi gerilya setelah 7.000 pejuang Boer tewas di medan laga. Mereka pun membutuhkan bantuan relawan asing.

Berbekal uang seadanya, kakak-adik Douwes Dekker nekat meninggalkan kota kelahirannya, Pasuruan, Jawa Timur, pada Februari 1900. Paul W. van der Veur dalam bukunya, The Lion and the Gadfly, menceritakan kakak-adik Douwes Dekker menumpang kapal berbendera Prancis, Calèdonien, dengan rute Singapura-Aden, Yaman. Mereka menempati kamar kelas tiga dan sempat menjadi kru kapal untuk mencari uang tambahan.

Namun perjalanan mereka tak mulus. Kapal diberhentikan di Bombay, India, karena wabah penyakit sedang melanda dunia. Semua awak kapal harus masuk karantina. Ernest Douwes Dekker, yang kelak berganti nama menjadi Danudirja Setiabudi, kabur bersama kedua saudaranya. Mereka kemudian menumpang kapal Lourenco Marques. Di tengah perjalanan, mereka dipindah ke kapal Herzog bersama 600 penumpang asal Belanda.

Mereka tiba di Transvaal pada April 1900 dan langsung bergabung dengan para pejuang. Mereka mengucapkan sumpah setia kepada Transvaal dan resmi menjadi tentara. Saat itu Ernest Douwes Dekker berusia 20 tahun. Mereka diperkenalkan kepada Presiden Republik Transvaal Paul Kruger. "Pemerintah Afrika Selatan menganugerahi kewarganegaraan penuh," kata C. de Jong dalam artikel "Three Brothers Douwes Dekker".

Pasal 7 Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda Tahun 1892 menyebutkan, warga yang masuk menjadi warga negara lain dan mendaftar militer asing tanpa seizin Ratu Belanda, maka kewarganegaraannya hilang. Hal itu tak menghalangi perjuangan mereka.

Tanpa pelatihan militer, para relawan dilepaskan ke medan perang. Mereka hanya dimodali seragam dan senapan. Tak sedikit dari relawan yang memilih balik kanan ketika mendapat gempuran di medan perang. Bahkan ada yang memilih meninggalkan Transvaal.

Namun Ernest Douwes Dekker tak patah semangat meski lima luka tembak menghiasi tubuhnya. Dia menunjukkan ketangkasan dan keberanian luar biasa. Beberapa kali ia mampu menumbangkan musuh. "Peluru yang menerpa kuanggap seperti musik yang membangkitkan semangat dan membawaku sebagai pahlawan," kata Douwes Dekker seperti ditulis Van der Veur.

Atas keberaniannya itu, Jenderal De la Rey selaku pimpinan perang memberi penghormatan dan bintang jasa kepadanya. Ia dianugerahi gelar The Boer's Fighting Man. Jenderal De la Rey juga memberinya julukan Brave Kerel atau Anak Pemberani.

Dalam perang di Silkaatsnek, Douwes Dekker bersama serdadu lainnya mampu memukul pasukan Inggris. Sebanyak 104 tentara Inggris tewas dan 265 orang ditahan. Ia pun menjadi perwira dan bertugas sebagai ajudan seorang perwira tinggi.

Menurut Frans Glissenaar, penulis buku Het leven van E.F.E. Douwes Dekker, saat berperang, Douwes Dekker menaiki kuda dan menenteng senapan. Tiap orang Belanda, kata dia, akan merasa bangga mengikuti perang ini. Apalagi bisa diabadikan dalam gambar dengan bendera Merah-Putih-Biru, bendera Belanda. "Ernest sangat bangga berkuda dengan senjata di tangan," katanya.

Sejak pertengahan Juli 1900, ia sudah tak terlihat dalam pasukan Jenderal De la Rey. Ia telah terpisah dari komando dan kehilangan kudanya. "Informasi yang saya peroleh, Ernest ditahan Inggris dalam pertempuran Daspoort," tulis C. de Jong dalam sebuah artikel yang diterbitkan surat kabar The Surabaya pada Agustus 1900.

Setelah ditelusuri, Douwes Dekker tercatat sebagai salah satu tahanan Inggris bernomor 3272. Ia ditangkap pada 19 Juli 1900. Selama beberapa pekan, ia ditahan sementara di Ranee, tak jauh dari Cape Town, bersama 599 tahanan perang lainnya. Selanjutnya, Inggris mengirimnya ke sebuah kamp interniran di Kolombo, Sri Lanka.

Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke Diyatamala, salah satu lokasi pengasingan di puncak pegunungan setinggi 4.000 meter. Diyatamala menjadi lokasi penahanan terakhir tentara Boer yang tertangkap. Setiap hari ia bisa menikmati kopi panas, susu cokelat, dan kue segar yang bisa dibeli di warung-warung kecil.

"Tak begitu menyenangkan. Berada di ruangan yang tak lebih besar dari kandang burung, mendapat jatah makan rutin, tapi dengan pengawasan yang ekstraketat," kata Douwes Dekker seperti ditulis Van der Veur.

Pada 30 Oktober 1900, wabah tifus menyerang para tahanan, satu orang meninggal. Rumah sakit setempat dibanjiri tahanan. Namun penderitaan tak berhenti di situ. Para relawan asing mulai stres. Mereka memukuli dinding tahanan dan berteriak kencang-kencang pada malam hari.

Otoritas Inggris akhirnya memindahkan relawan asing ke Ragama. Di sana Douwes Dekker harus menghadapi dinginnya suhu malam hari, gigitan nyamuk, serta berteman dengan kalajengking, kodok, kadal, dan beberapa jenis ular.

Namun hal itu tidak menjadi beban baginya karena pengawasan di sana lebih longgar. Ia punya kesempatan membaca buku dan bermain kartu. Buku-buku itu diperoleh dari dermawan Belanda, Prancis, dan Jerman. Mereka juga menyediakan ruang baca dengan sejumlah novel dan beberapa literatur.

Di tengah waktu luangnya, ia menulis pengalamannya di Afrika Selatan dan pengasingan di Sri Lanka dalam surat kepada keluarganya. Surat-surat tersebut diterbitkan dalam The News of the Day dan surat kabar di Batavia.

Ia juga mengirimkan kado ulang tahun berisi puisi dan ilustrasi pengalamannya di penjara kepada Ratu Wilhelmina. Salinannya dikirimkan ke Belanda dan dicetak di Haarlem. Hasil penjualannya disumbangkan kepada para janda dan anak yatim pejuang Afrika Selatan.

Selama menjalani hukuman, Douwes Dekker sempat menderita radang paru-paru. Ketika penyakitnya kian parah, ia harus menginap beberapa bulan di sebuah rumah sakit di Jaffna, Sri Lanka. Dua dokter merawatnya. Setelah sembuh, Douwes Dekker dikembalikan ke Indonesia sekitar 1905.

Pengalaman perang di Afrika Selatan memberinya dasar politik yang kuat, yang di kemudian hari menjadi pedoman perjuangannya di Indonesia. Perjuangan para petani Transvaal mengilhaminya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

"Ketika itulah saya mendapat keyakinan politik, yaitu satu keyakinan yang sampai hari ini tidak berubah dan tidak akan diubah: Hanya dengan kekuatan dan kesadaran rakyat sendirilah kemerdekaan sesuatu bangsa dapat dicapai," kata Douwes Dekker seperti ditulis Tashadi dalam bukunya, Dr. D.D. Setiabudhi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus