Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tak kenal breidel

Mingguan berbahasa jawa, telah berusia 50 tahun. beroplah 65.000 eksemplar. tak pernah dibreidel. panyebar semangat dianggap sebagai pelopor koran masuk desa. (md)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKLIM boleh berganti, tapi Panjebar Semangat (PS) tetap terbit di Surabaya. Tanggal 2 September lalu bahkan genap berusia setengah abad. Prestasi ini barangkali karena PS terbit dalam bahasa Jawa yang digunakan oleh mayoritas penduduk. Apalah majalah ini memilih Jawa-ngoko yang lebih mudah dipergunakan orang banyak. Untuk penerbitan berbahasa daerah, oplah 65.000 eksemplar seperti sekarang sungguh istimewa, mengingat majalah lain yang sejenis Joyoboyo di Surabaya, Darmo Njoto di Solo, Mekar Saridan Djoko Lodang di Yogyakarta) rata-rata beropiah di bawah 10.000. Dari oplah sebesar itu, hampir 90% tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut survei pembaca (1981), lebih dari separuh penggemarnya rakyat kecil di pedesaan: petani, nelayan, perajin, pedagang-bakulan. Pembaca di lingkungan pamong desa meliputi 15%. Andai Almarhum Dokter R. Soetomo, pendirinya, mengetahuinya, tentu gembira. Sebab, salah satu tujuan menerbitkan PS ialah mengangkat "derajat kehidupan" rakyat kecil. Dalam edisi 1 Januari 1938, Pak Tom menulis: Bangsa kita ing pedesaan prasasat kinubengan ing benteng-benteng kang awujud bakul-tengkulak asil-bumi lan tokowarung bangsa manca kang meres kringete bangsa kita (Bangsa kita di pedesaan dikelilingi benteng-benteng pedagang-tengkulak hasil bumi dan toko-warung bangsa asing yang memeras keringat mereka). Pantas bila Mr. Sumanang dari SPS Pusat menyebut PS sebagai pelopor koran masuk desa, jauh sebelum proyek tersebut digalakkan. Selain edisi biasa berupa majalah 52 halaman, kini PS juga menerbitkan edisi KMD berupa koran 4 halaman sebanyak 10.000 eksemplar. Majalah yang juga disebarkan di daerah transmigrasi ini dulu digemari kaum "Jadel", kuli kontrak asal Jawa di Deli. Bekas heiho (tentara suka rela Jepang) yang masih tersisa di Muangthai atau orang-orang keturunan Jawa di Suriname juga menyukainya. Menurut Sastrawan Sapardi Djoko Damono, yang pernah melakukan penelitian mengenai novel berbahasa Jawa (1979), PS merupakan satu-satunya majalah yang mempublikasikan karya sastra-Jawa modern. "Majalah ini telah melahirkan penulis-penulis baik, seperti Suparta Brata dan Purwadi Atmodihardjo, juga penulis populer Any Asmoro, Senggono atau Widi Widayat," katanya. Wajar bila kini banyak peneliti dari Barat memburu PS. Dari Universitas Sydney, misalnya, ada yang berlangganan tetap. Langganan tetap lainnya, dosen Sastra Timur di Leiden (Negeri Belanda) dan Brussels (Belgia). Dr. Marcel Bonneff, seorang sarjana Prancis, pernah berkunjung pula ke kantor PS untuk memborong bundel-bundelnya. Meski agen di seluruh Indonesia sekitar 300 buah, PS semata-mata mengandalkan langganan, hingga tak ada yang dijual eceran. Harganya Rp 250 per eksemplar, tebal 52 halaman dan dicetak offset (sejak 1977), termasuk murah. Mula-mula terbit dengan sampul bergambar panorama alam di pedesaan, kemudian berkulit kertas koran yang langsung menghidangkan berita utama. Sekarang menampilkan kulit muka pop dan berwarna, dengan wajah perawan ayu. Karyawannya kini 55 orang, 7 di antaranya redaksi dan wartawan. Gaji mereka rata-rata di bawah Rp 100.000 -- angka yang cukup sesuai dengan tingkat hidup sebagian besar pembacanya dan kemampuan perusahaannya. PS sampai sekarang pun masih di Gedung Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, Surabaya, berdampingan dengan makam pendirinya. Majalah ini sesungguhnya pemekaran edisi bahasa Jawa harian Soeara Oemoem (1931) yang juga dipimpin Dokter Soetomo. Ketika itu terbit sebagai koran dengan harga langganan 50 sen. "PS dengan harga langganan sekian itu sudah merupakan bacaan mewah, sebab ketika itu harga beras 2 sen per kilo," ujar Moh. Ali, pemimpin redaksinya sekarang -- yang menggantikan almarhum kakaknya, Imam Soepardl, pemimpin redaksi PS yang pertama. Sejak mula, semangat nasionalisme disebar-sebarkan oleh majalah ini. Pada tahun 30-an, misalnya, Dokter Soetomo menulis dengan berani: Turki bisa mandhireng pribadi, bisa ngusir wong manca kang ngganggu gawe negara lan bangsane, bisa nguwalake cengkremane liyan bangsa, merga saka pracaya marang kekuwatane dhewe (Turki dapat berdaulat, bisa mengusir orang asing yang mengganggu negara dan bangsanya, mampu melepaskan cengkeraman bangsa asing, karena percaya pada kekuatan diri-sendiri). Meski begitu, pemerintah Hindia Belanda tak pernah membreidelnya. Juga tidak ketika PS pada 1940 menurunkan berita utama berjudul Djerman Nrobos ing Nederland -- memberitakan invasi 'pasukan gerak-cepat Hitler menembus Negeri Belanda. Majalah ini baru dibungkam ketika Jepang masuk (1942). Tapi, sejak zaman merdeka, majalah ini tak pernah diberangus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus