IKLIM boleh berganti, tapi Panjebar Semangat (PS) tetap terbit
di Surabaya. Tanggal 2 September lalu bahkan genap berusia
setengah abad. Prestasi ini barangkali karena PS terbit dalam
bahasa Jawa yang digunakan oleh mayoritas penduduk. Apalah
majalah ini memilih Jawa-ngoko yang lebih mudah dipergunakan
orang banyak.
Untuk penerbitan berbahasa daerah, oplah 65.000 eksemplar
seperti sekarang sungguh istimewa, mengingat majalah lain yang
sejenis Joyoboyo di Surabaya, Darmo Njoto di Solo, Mekar Saridan
Djoko Lodang di Yogyakarta) rata-rata beropiah di bawah 10.000.
Dari oplah sebesar itu, hampir 90% tersebar di Jawa Timur dan
Jawa Tengah.
Menurut survei pembaca (1981), lebih dari separuh penggemarnya
rakyat kecil di pedesaan: petani, nelayan, perajin,
pedagang-bakulan. Pembaca di lingkungan pamong desa meliputi
15%. Andai Almarhum Dokter R. Soetomo, pendirinya,
mengetahuinya, tentu gembira. Sebab, salah satu tujuan
menerbitkan PS ialah mengangkat "derajat kehidupan" rakyat
kecil.
Dalam edisi 1 Januari 1938, Pak Tom menulis: Bangsa kita ing
pedesaan prasasat kinubengan ing benteng-benteng kang awujud
bakul-tengkulak asil-bumi lan tokowarung bangsa manca kang meres
kringete bangsa kita (Bangsa kita di pedesaan dikelilingi
benteng-benteng pedagang-tengkulak hasil bumi dan toko-warung
bangsa asing yang memeras keringat mereka).
Pantas bila Mr. Sumanang dari SPS Pusat menyebut PS sebagai
pelopor koran masuk desa, jauh sebelum proyek tersebut
digalakkan. Selain edisi biasa berupa majalah 52 halaman, kini
PS juga menerbitkan edisi KMD berupa koran 4 halaman sebanyak
10.000 eksemplar. Majalah yang juga disebarkan di daerah
transmigrasi ini dulu digemari kaum "Jadel", kuli kontrak asal
Jawa di Deli. Bekas heiho (tentara suka rela Jepang) yang masih
tersisa di Muangthai atau orang-orang keturunan Jawa di Suriname
juga menyukainya.
Menurut Sastrawan Sapardi Djoko Damono, yang pernah melakukan
penelitian mengenai novel berbahasa Jawa (1979), PS merupakan
satu-satunya majalah yang mempublikasikan karya sastra-Jawa
modern. "Majalah ini telah melahirkan penulis-penulis baik,
seperti Suparta Brata dan Purwadi Atmodihardjo, juga penulis
populer Any Asmoro, Senggono atau Widi Widayat," katanya.
Wajar bila kini banyak peneliti dari Barat memburu PS. Dari
Universitas Sydney, misalnya, ada yang berlangganan tetap.
Langganan tetap lainnya, dosen Sastra Timur di Leiden (Negeri
Belanda) dan Brussels (Belgia). Dr. Marcel Bonneff, seorang
sarjana Prancis, pernah berkunjung pula ke kantor PS untuk
memborong bundel-bundelnya.
Meski agen di seluruh Indonesia sekitar 300 buah, PS semata-mata
mengandalkan langganan, hingga tak ada yang dijual eceran.
Harganya Rp 250 per eksemplar, tebal 52 halaman dan dicetak
offset (sejak 1977), termasuk murah. Mula-mula terbit dengan
sampul bergambar panorama alam di pedesaan, kemudian berkulit
kertas koran yang langsung menghidangkan berita utama. Sekarang
menampilkan kulit muka pop dan berwarna, dengan wajah perawan
ayu.
Karyawannya kini 55 orang, 7 di antaranya redaksi dan wartawan.
Gaji mereka rata-rata di bawah Rp 100.000 -- angka yang cukup
sesuai dengan tingkat hidup sebagian besar pembacanya dan
kemampuan perusahaannya. PS sampai sekarang pun masih di Gedung
Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, Surabaya, berdampingan dengan
makam pendirinya.
Majalah ini sesungguhnya pemekaran edisi bahasa Jawa harian
Soeara Oemoem (1931) yang juga dipimpin Dokter Soetomo. Ketika
itu terbit sebagai koran dengan harga langganan 50 sen. "PS
dengan harga langganan sekian itu sudah merupakan bacaan mewah,
sebab ketika itu harga beras 2 sen per kilo," ujar Moh. Ali,
pemimpin redaksinya sekarang -- yang menggantikan almarhum
kakaknya, Imam Soepardl, pemimpin redaksi PS yang pertama.
Sejak mula, semangat nasionalisme disebar-sebarkan oleh majalah
ini. Pada tahun 30-an, misalnya, Dokter Soetomo menulis dengan
berani: Turki bisa mandhireng pribadi, bisa ngusir wong manca
kang ngganggu gawe negara lan bangsane, bisa nguwalake
cengkremane liyan bangsa, merga saka pracaya marang kekuwatane
dhewe (Turki dapat berdaulat, bisa mengusir orang asing yang
mengganggu negara dan bangsanya, mampu melepaskan cengkeraman
bangsa asing, karena percaya pada kekuatan diri-sendiri).
Meski begitu, pemerintah Hindia Belanda tak pernah
membreidelnya. Juga tidak ketika PS pada 1940 menurunkan berita
utama berjudul Djerman Nrobos ing Nederland -- memberitakan
invasi 'pasukan gerak-cepat Hitler menembus Negeri Belanda.
Majalah ini baru dibungkam ketika Jepang masuk (1942). Tapi,
sejak zaman merdeka, majalah ini tak pernah diberangus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini