DAERAH-daerah di Jawa dan Bali yang tahun 1968 dinyatakan bebas
dari penyakit malaria, ternyata terancam kembali. Bahkan di 19
provinsi, termasuk di Jawa dan Bali, diketahui penyakit itu
telah kebal terhadap klorokuin yang selama ini banyak dipakai
sebagai obat.
Penelitian Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular (P3M) dan Badan Litbang Departemen Kesehatan
yang berlangsung sejak 1972 hingga awal 1983, menunjukkan ke-19
provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Selatan, Lampung seluruh
Sulawesi, Jawa (kecuali DI Yogya) Bali, NTB, NTT, Maluku, Timor
Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Irian Jaya. Di
provinsi terakhir ini bahkan kekebalan terjadi di seluruh
wilayah.
Keadaan itu tentu saja mengkhawatirkan. Sehingga, dr. Ridad
Agoes yang mengungkapkan hasil penelitian itu dalam Seminar
Parasitologi II di Bandung (29-31 Agustus) menyarankan agar
segera dicarikan obat jenis lain yang lebih ampuh terhadap
penyakit itu. Ketua Lembaga Parasitologi Unpad itu menunjuk
fansidar sebagai obat pengganti yang dinilai lebih ampuh.
Menurut Ridad, meskipun fansidar jauh lebih mahal (Rp 275
sebutir) dibandingkan dengan klorokuin (Rp 30 sebutir), obat
pertama hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter. Ia
mengakui ini kesulitan baru lagi, sebab para penderita umumnya
penduduk pedesaan yang kurang mampu, malahan jauh dari dokter
dan apotek.
Ridad mengungkapkan, pemakaian klorokuin secara bebas dan tanpa
petunjuk dokter oleh kebanyakan pcnderita, justru menimbulkan
efek sampingan berupa kekebalan tadi. Bahkan, kekebalan juga
terjadi pada mereka yang sempat pula memakai fansidar tanpa
menghiraukan petunjuk dokter.
Dokter lulusan Unpad 1968 itu mengutip laporan penelitian ahli
parasitologi Surin Plnichpongse dan Doberstyn di Muangthai. Di
negeri itu, fansidar dipakai pertama kali tahun 1973, dan
berhasil mengatasi malaria sampai 90%. Sejak tahun 1978,
daya penangkalnya merosot sampai 50%, bahkan di perbatasan
Muangthai-Kamboja daya penangkal obat itu cuma 10%. Kini, hampir
di seluruh wilayah Muangthai, fansidar dinyatakan kebal terhadap
plasmodium falciparum (penyebab penyakit malaria).
Dari 19 provinsi yang sudah kebal tadi, hanya di Irian Jaya yang
sudah didropfansidar. Departemen Kesehatan sangat berhati-hati
mendropfansidar di daerah lain, karena dikhawatirkan justru obat
ini akan semakin tak berdaya. Berlainan dengan di Irian Jaya
yang seluruh wilayahnya kebal terhadap obat-obatan malaria, di
18 provinsi lainnya kekebalan itu hanya meliputi wilayah kecil.
(Lihat peta).
Di pantai selatan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, yang dikenal
sebagai daerah malaria sejak dulu, klorokuin masih tetap
dipakai. Tahun lalu, di 5 kecamatan (Lengkong Jampang Kulon,
Surade, Diemas, Pelabuhan Ratu) tercatat 338 penderita, dan
tahun ini, sampai Agustus, ada 309 penderita. Semua penderita
itu diberi klorokuin dengan kombinasi primakuin. "Belum ada
pemberitahuan dari P3M Jawa Barat untuk mengganti dengan obat
lain, kata Endang Sulaeman, kepala Sub-seksi Pemberantasan
Penyakit Berasal dari Binatang (P2BB) kantor P3M Sukabumi.
Setiap tahun P3M Sukabumi menerima jatah 6.000 butir klorokuin
dan disebarkan ke daerah penderita malaria itu. "Aneh, malaria
tak pernah hilang," kata Endang mengeluh. Petugas laboratorium
Puskesmas Lengkong, Supendi, yang berpengalaman 18 tahun
berurusan dengan pencegahan malaria, menyebutkan tidak
konsistennya penderita minum pil sebagai penyebab tak tuntasnya
pemberantasan penyakit malaria di daerah itu. "Kalau memang
minum pil tak teratur, plasmodium falciparum yang menyebabkan
malaria tropikana, bisa kebal dengan obat jenis klorokuin itu,"
ujar Endang Sulaeman.
Contohnya, di Kabupaten Sukabumi. Masyarakat di daerah penderita
malaria tidak taat minum pil sesuai dengan petunjuk dokter.
Kontrol dari petugas UPM (Usaha Pemberantasan Malaria) juga
kurang. "Daerah yang harus dikunjungi petugas UPM sangat luas
dan transportasi tak lancar," kata Maos, 38 tahun, petugas
laboratorium Puskesmas Jampang Kulon memberi alasan. "Tak arang
petugas menempuh jarak puluhan kilometer berjalan kaki
berhari-hari."
Usaha pencegahan, menurut dr. Ridad Agoes, tetap harus mendapat
prioritas, selain pengobatan. "Sampai sekarang penyemprotan DDT
masih tetap ampuh untuk membunuh nyamuk anoples" ujar Ridad.
"Sudah ada ketentuan Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan
yang melarang pemakaian DDT untuk pertanian supaya tidak
menimbulkan kekebalan pada serangga lain, khususnya nyamuk."
Namun, Direktur Jenderal P3M, dr. Adhiatma, mengakui pemerintah
pernah kehabisan cadangan DDT, "sehingga penyakit malaria
kembali berjangkit dan mencapai puncaknya tahun 1973."
Bagaimana dengan pil kina yang dikenal sebagai obat ampuh
malaria? Ridad Agoes sependapat, "obat paling ampuh menghadapi
malaria, memang pil kina." Tetapi pil ini, yang asli dibuat dan
pohon kina, menyebabkan efek samping cukup gawat, seperti tuli
dan keguguran. "Karena itu, muncul klorokuin yang sebenarnya
adalah pil kina sintetis," ujar Ridad. Sekarang pohon kina lebih
banyak dipakai untuk pembuatan tonikum, gin tonik, dan bahan
obat penyakit jantung.
Meski daya tangkal klorokuin menurun, bahkan plasmodium
falsiparum kebal dengan obat itu, ada berita bagus dari luar
negeri. "Rusia mengembangkan obat sintetis devekuin, AS mencoba
jenis meflokuin dan RRC membuat qing housu -- semuanya untuk
menangkis malaria," kata dr. Ridad. Sayang, ketiga jenis obat
yang kadarnya tak sekeras fansidar ini belum beredar di pasaran
Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini