Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indeks demokrasi Indonesia membaik, tapi tidak beranjak dari status cacat demokrasi.
Kategori budaya politik mendapat nilai terendah.
Pemerintah menilai rendahnya budaya politik merupakan efek dari budaya patronasi.
JAKARTA — Iklim politik yang semakin buruk dinilai menjadi satu penyebab kualitas demokrasi Indonesia semakin turun, terlihat dari rendahnya indeks demokrasi Indonesia. Wacana penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi 3 periode menjadi dinamika politik yang memperparah iklim dan budaya politik Indonesia yang masih dikuasai elite.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Firman Noor, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan perbaikan iklim politik Indonesia cenderung hanya terlihat di atas kertas. “Masih ada tendensi elitisme. Politik dan kebijakan politik hanya dikuasai sebagian orang,” kata dia kepada Tempo, kemarin, 24 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemunduran demokrasi menjadi topik refleksi dan proyeksi berbagai lembaga penelitian serta lembaga sipil masyarakat. BRIN menilai kemunduran demokrasi terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) serta sejumlah peneliti di Universitas Indonesia juga menemukan fenomena serupa dan meluncurkan buku yang membahas hal ini.
Menurut Firman, meski beberapa survei nasional menunjukkan adanya kepuasan dan apresiasi atas kinerja pemerintah, hal itu tidak diimbangi dengan berbagai sikap politik pemerintah dan elite di sekitarnya yang justru menjatuhkan demokrasi. Dia mencontohkan wacana Jokowi 3 periode serta omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan pembangunan ibu kota negara yang tak partisipatif.
Anak-anak bermain di kawasan ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Fenomena kemunduran demokrasi Indonesia juga ditangkap lembaga internasional pemerhati demokrasi. Economist Intelligence Unit adalah salah satunya. Lembaga riset Inggris yang satu rumah dengan majalah The Economist ini merilis indeks demokrasi dunia versi terbaru pada bulan lalu. Pemeringkatan yang didasarkan pada analisis para akademikus tersebut menempatkan Indonesia masih sebagai negara yang cacat demokrasi. Skor Indonesia lebih buruk ketimbang negara tetangga, Malaysia, yang belakangan kerap berganti perdana menteri; dan Timor Leste, yang baru merdeka dua dekade silam.
Ada 60 indikator yang dinilai Economist dalam indeks demokrasi itu. Indikator tersebut dikelompokkan ke lima kategori, yakni proses pemilihan, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik. Dari seluruh kategori, skor budaya politik Indonesia merupakan yang terendah: 4,38—dengan skala penilaian 0-10. Oleh Economist, budaya politik dikaitkan dengan penerimaan publik atas kebijakan pemerintah dan hasil pemilu. Juga pengaruh militer dan teknokrat di pemerintah. Meski ada peningkatan nilai keseluruhan dibanding tahun sebelumnya, dari 6,30 menjadi 6,71, Economist menilai kenaikan itu bersyarat, sehingga penyebabnya perlu ditinjau.
V-Dem Institute dari Swedia juga menilai demokrasi Indonesia di bawah kondisi ideal, terutama dalam kategori partisipasi demokrasi dan konsultatif demokrasi. Artinya, publik belum punya ruang yang cukup untuk terlibat dalam proses politik dan keputusan politik yang diambil oleh pemegang kekuasaan tak berpihak pada orang banyak.
Adapun Freedom House, lembaga riset kebebasan sipil dan hak politik global yang berbasis di Amerika Serikat, memberi Indonesia predikat cacat demokrasi dengan skor 59 dari 100 pada 2021. Lembaga ini juga menyoroti partisipasi politik yang, walaupun di atas kertas bebas intervensi, ternyata tak bebas dari pengaruh luar, seperti militer, kelompok agama, dan pengaruh politik dinasti. Sementara itu, indeks demokrasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik juga menunjukkan partisipasi politik yang menurun pada 2020 dibanding tahun sebelumnya.
Menantu Presiden Joko Widodo (kanan) saat pencalonan dirinya menjadi Wali Kota Medan pada Pilkada Serentak 2020 di Medan, Sumatera Utara, 23 Juli 2020. ANTARA/Septianda Perdana
Wijayanto dari LP3ES mengatakan rendahnya skor budaya politik dan partisipasi politik dari berbagai lembaga tersebut menggambarkan kondisi demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Dia menyamakan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dengan kepemimpinan di partai-partai politik. “Pemimpin dan elitenya itu-itu saja,” kata dia. “Termasuk sentralisasi ketika semua kebijakan partai di daerah harus membutuhkan restu ketua umum.”
Hal lain yang menunjukkan rendahnya budaya politik Indonesia adalah rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan adik Presiden Jokowi, Idayati. Banyak pakar hukum tata negara menilai Anwar, yang menjabat sejak 2018, harus mundur dari jabatannya untuk menghindari konflik kepentingan. “Jika tidak, pemisahan fungsi negara menjadi kabur,” kata Wijayanto.
Titi Anggraini, dosen Fakultas Hukum Universitas Yarsi dan mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menilai rendahnya budaya politik juga berakar pada pemilihan umum. Meski sistem pemilihan sudah berusaha disempurnakan, transaksi politik masih kentara, dari membeli tiket pencalonan, menyuap pemilih, hingga membangun relasi politik saat berkuasa. “Itu menghambat berfungsinya demokrasi di negara kita.”
Pemerintah mengapresiasi penilaian Economist Intelligence Unit tersebut. Apalagi peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 di tengah penurunan indeks demokrasi Asia. "Pemerintah sangat berkomitmen menjaga demokrasi," ujar Joanes Joko, staf ahli utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden.
Soal rendahnya budaya politik dalam indeks demokrasi Indonesia, Joanes menilai itu akibat banyak aspek, di antaranya budaya patronasi. "Kami memperkuat kesadaran bahwa budaya politik bukan sekadar patronasi, tapi juga berdasarkan kompetensi," kata dia.
INDRI MAULIDAR | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo