Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariel Heryanto*
Sejak awal sejarahnya hingga saat ini, berbagai kajian akademik paling berpengaruh di dunia tentang Indonesia bukan hasil karya orang Indonesia. Tidak berbahasa Indonesia, dan tidak beredar luas di toko buku atau perpustakaan di Indonesia. Bagi kebanyakan mahasiswa dan sarjana di berbagai universitas terkemuka di Tanah Air, peluang menjadi konsumen pasif dari khazanah dunia pengetahuan itu pun belum tersedia. Jangankan aktif terlibat perdebatan dan membuat karya tandingan.
Indonesia juga tertinggal di bidang ilmu sosial dan budaya tentang bangsa sendiri jika dibandingkan dengan tetangga terdekatnya di Asia Tenggara. Gerke dan Evers pernah menerbitkan hasil penelitian mereka tentang hal ini dengan angka-angka statistik. Sumber data, alat ukur, dan analisis mereka boleh diperdebatkan. Tapi kesimpulan utama mereka tidak mengejutkan para pengamat. Pada 1990-2000-an, saya diminta sejumlah lembaga internasional menjadi tim penilai sejumlah usul penelitian yang berlomba memperebutkan dana penelitian. Pelamar dari Indonesia termasuk kelompok yang terlemah.
Sebenarnya Indonesia tidak pernah kekurangan orang cerdas. Ini terbukti dari prestasi akademis remaja kita di forum internasional. Semangat belajar beberapa mahasiswa kita mengagumkan. Namun, ketika berangkat dewasa, bergelar sarjana, masuk pasar kerja, mereka tidak menemukan lingkungan dan lembaga yang mendukung kecintaan kepada ilmu. Bakat dan kecerdasan mereka hanya bisa tersalur di dunia industri, politik partai, atau acara televisi. Pilihan lain: menekuni ilmu pengetahuan di luar negeri.
Pengetahuan bisa terbentuk lewat berbagai cara, termasuk yang didapat secara kebetulan. Dalam produksi pengetahuan yang terencana, terlembaga, berlingkup besar, dan berjangka panjang, dibutuhkan modal, kekuasaan, dan niat besar. Untuk mengkonsumsi hasilnya juga dibutuhkan modal besar. Biaya ini menjadi tanggung jawab negara, bukan individu warga negara. Jika negara abai, industri akan membajaknya.
Karena pertaruhan modal besar itu, ilmu pengetahuan, termasuk kajian tentang Indonesia, tidak pernah bebas dari kepentingan. Dan sebaliknya, tidak ada kekuasaan yang langgeng tanpa jasa pengetahuan yang memberikan legitimasi kepadanya. Jika Indonesia berada di luar lingkar produksi dan konsumsi pengetahuan tentang Indonesia, bisa dibayangkan sendiri skala kerugian yang terbentang dalam jangka panjang.
Yang terjadi bukan sebuah pertentangan hitam-putih antara "kekuatan asing" dan "kepentingan nasional". Yang disebut "kepentingan nasional" di Indonesia sendiri sebuah medan pertentangan berbagai pihak. Apalagi berbagai ragam "kekuatan asing" yang giat dalam kajian tentang Indonesia. Kebangkitan nasional Indonesia menjadi anak kandung pengetahuan Barat yang juga menjajahnya. Semasa Orde Baru berjaya, berbagai kajian kritis tentang peristiwa 1965 atau Timor Timur, Aceh, serta Papua hampir tidak tersedia di Indonesia. Berkat diterbitkannya sejumlah penelitian asing, bangsa Indonesia berkesempatan memahami Indonesia secara lebih luas daripada yang ditampilkan dalam propaganda pemerintah di TVRI.
Istilah "kajian Indonesia" digunakan di luar Indonesia bagi berbagai kegiatan penelitian atau pengajaran dengan minat khusus pada seluk-beluk Indonesia. Para pakarnya disebut "Indonesianis". Seorang sarjana Australia yang hanya menekuni hukum Australia disebut ahli hukum; bukan ahli tentang Australia, biarpun dia tak banyak tahu hukum di bagian dunia lain. Ahli sejarah di Indonesia yang memusatkan seluruh kariernya dalam bidang sejarah Indonesia disebut sejarawan; bukan Indonesianis, walau sejarah di luar Indonesia di luar minatnya.
Saat ini kajian Indonesia mengalami "krisis", karena kepentingan mantan sponsornya sudah berganti arah. Nasib kajian Indonesia di abad ke-21 belum jelas. Kalaupun berhasil menyambung nyawa, kajian tentang Indonesia mungkin akan menjadi sosok yang sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Dari pertengahan hingga akhir abad ke-20, pusat kajian Indonesia berada di Amerika Serikat. Pengetahuan yang dihasilkan bercorak Amerika dan politik Perang Dingin pada masa itu. Ini ditandai kuatnya pendekatan ilmu-ilmu sosial, dengan data-data kuantita atau empiris, model formal, serta unsur terapan praktis. Banyak sarjana Indonesia mendapat pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Ketika pulang, mereka menjadi pejabat atau penasihat pemerintah Orde Baru. Arus utama politik di Indonesia sendiri saat itu cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika yang menekankan stabilitas, keamanan, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan Marxisme nyaris absen dalam kajian Indonesia di Amerika Serikat. Apalagi di Indonesia di bawah fasisme Orde Baru.
Kajian Indonesia seperti itu berbeda dengan pendahulunya yang disebut kajian Oriental dan berpusat di Eropa. Awalnya, kajian para tuan kolonial Eropa itu dipicu oleh campuran rasa terpukau, jijik, dan kasihan terhadap penduduk di tanah jajahan yang tampak eksotis-primitif. Pendekatan mereka lebih bercorak humaniora. Bidang yang subur waktu itu bukan ekonomi atau politik, melainkan sejarah, bahasa, antropologi, kesenian, juga studi keagamaan.
Berakhirnya Perang Dingin tidak hanya berakibat runtuhnya Orde Baru, tapi juga mengancam kajian Indonesia. Kandasnya dukungan politik dan dana berakibat ditutupnya banyak lembaga kajian Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa. Sedikit ahli tentang Indonesia yang kini masih tersisa tercerai-berai di berbagai jurusan studi berdasarkan kotak-kotak disiplin tradisional (misalnya sejarah, ekonomi, antropologi, linguistik, atau ilmu politik) dengan tuntutan mengabdi pada disiplin masing-masing, dan bukan kajian wilayah tertentu.
Banyak warisan kajian Indonesia yang layak dikenal kaum terdidik di Indonesia. Tapi ada tiga alasan lain mengapa krisisnya tidak perlu diratapi berlebihan di Indonesia.
Pertama, sebuah kajian tentang Indonesia punya cacat mendasar metodologis dan moral jika Indonesia semata-mata dijadikan obyek penelitian dan bukan mitra kerja peneliti. Bukannya orang Indonesia paling paham tentang Indonesia atau lebih paham daripada orang asing. Orang Indonesia juga sama sekali tidak punya hak istimewa di atas peneliti asing dalam kajian tentang bangsanya. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan, jika bukan kesetaraan, dalam kemitraan kaum terdidik antarbangsa. Ini tidak mudah dibina dalam tata dunia yang pada dasarnya sangat timpang.
Kedua, walau tidak sekaya dan sebesar Amerika Serikat, Australia berhasil bertahan menjadi salah satu pusat terkuat di dunia dalam kajian Indonesia. Walau sempat menciut, kajian Indonesia di Australia tidak akan sepenuhnya lenyap, karena negeri ini ditakdirkan untuk selamanya menjadi tetangga Indonesia. Bahasa Indonesia diajarkan tidak hanya di universitas, tapi juga di beberapa sekolah dasar dan menengah. Kehadiran masyarakat Indonesia di sejumlah pusat kota besar sulit diabaikan. Indonesia juga tampil secara rutin dalam media massa Australia.
Ketiga, di beberapa bagian Asia ada tanda-tanda awal bangkitnya minat mempelajari sesama bangsa Asia sendiri, terutama di Asia Timur dan Selatan. Prospeknya belum jelas. Tapi, dari sosoknya, mereka agaknya akan berbeda dengan para pendahulunya. Mereka berbasis di luar kampus. Bahan dan bahasa utama mereka teknologi digital. Sementara ini, mereka banyak menggunakan pendekatan intelektual dari Barat yang menggugat dasar-dasar pengetahuan arus utama di Barat sendiri, misalnya kajian budaya, pascastrukturalisme, dan pascakolonialisme.
Sayangnya, dalam perkembangan mutakhir ini pun Indonesia masih ketinggalan, kecuali sebagai konsumen budaya pop Asia. Pertama kalinya dalam sejarah bangsa-negara Indonesia, pertentangan Timur-Barat tidak lagi dianggap sebagai masalah yang merisaukan. Berbeda dengan generasi terdahulu, generasi yang terlahir sesudah 1980-an di Asia terpukau oleh J-pop, K-pop, dan Islam-pop. Jumlah anak muda Indonesia yang kini belajar bahasa Mandarin dan Korea melonjak. Sedangkan kajian tentang Indonesia di Korea meningkat, walau yang sudah besar di Singapura mulai merosot.
*) Associate professor dan Ketua Kajian Asia Tenggara di Australian National University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo