Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyukai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana. Liang Minhe bukan penggemar sastra biasa. Prof Minhe, begitu dia disapa mahasiswanya, adalah guru besar di Jurusan Bahasa dan Sejarah Indonesia Universitas Peking, Cina. Muridnya tersebar di berbagai tingkat, dari program sarjana hingga doktoral.
Saat ini Minhe sibuk menyusun buku pengajaran bahasa Indonesia. "Sekarang sudah tersusun 300 ribu huruf," katanya kepada Tempo, yang menghubunginya melalui sambungan telepon internasional, dua pekan lalu. Minhe berencana menerbitkan buku itu sebagai persiapan menjelang pensiun. Usia lelaki itu kini 59 tahun. Empat tahun lagi, penggemar olahraga silat dan badminton ini bakal pensiun mengajar di almamaternya.
Meningkatnya minat mahasiswa Negeri Tirai Bambu mendalami bahasa Indonesia membuat Minhe tak punya banyak waktu luang. Selain memiliki jurusan sejarah dan bahasa Indonesia, sejak 1980, universitas yang dikenal dengan sebutan Beida itu membuka program kursus satu tahun belajar bahasa Indonesia. "Rata-rata untuk keperluan pariwisata, baik menjadi pemandu wisata untuk turis Indonesia yang datang ke Cina maupun untuk wisatawan Cina yang akan pergi ke Indonesia," ujar Minhe. Saat ini ada 20 mahasiswa yang mengikuti program itu.
Universitas Peking tergolong kampus tertua yang memiliki jurusan bahasa Indonesia, yaitu sejak 1949. Awalnya bernama Jurusan Bahasa Melayu¸ tapi setahun kemudian namanya berganti menjadi Jurusan Bahasa Indonesia. Di kampus ini pula Minhe pertama kali belajar bahasa Indonesia. Dia mahasiswa angkatan 1970. Minhe mengaku sejak remaja bercita-cita mengunjungi Indonesia. "Saya sempat menyaksikan film yang memperlihatkan indahnya alam Indonesia. Saya jadi ingin ke sana," kata lelaki yang pernah ke Bali pada 1974 itu.
Tak cuma mendalami bahasa, Minhe mempelajari budaya dan sejarah Indonesia sejak zaman prasejarah. Minhe masih ingat, saat itu, mahasiswa seangkatannya di jurusan yang sama ada 24 orang. Selain di Universitas Peking, ada puluhan mahasiswa yang belajar di Universitas Guangzhou dan Akademi Bahasa Asing Beijing. "Sejak dulu, mahasiswa yang berminat belajar Indonesia memang cukup banyak," dia menambahkan.
Salah satu orang yang berjasa mengembangkan studi Indonesia di Cina adalah Profesor Liang Liji, ilmuwan kelahiran Bandung. Saat berumur 23 tahun, Liji kembali ke Cina bersama teman-teman sekolahnya sebagai bagian dari gelombang pertama pelajar keturunan Cina di Indonesia yang kembali ke tanah leluhur setelah berdirinya Republik Rakyat Cina.
Liji sempat belajar di jurusan kimia. Ketika Cina dan Indonesia mulai membuka hubungan diplomatik pada 1951, dia dipindahkan ke Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa-bahasa Timur Universitas Peking. Setelah lulus pada 1954, dia mengajar bahasa Indonesia di almamaternya itu sampai pensiun. Liji juga aktif dalam kegiatan pertukaran budaya antara Cina dan Indonesia.
Menguasai dua bahasa dan mengenal dua budaya menjadi keunggulan khusus Profesor Liji dalam karier akademisnya. Melalui kegiatan akademis, dia berupaya mendorong pertukaran budaya Cina-Indonesia. Pada 1970-an, Liji menjadi penanggung jawab Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Peking. Kendati hubungan Jakarta-Peking waktu itu beku, ia giat membentuk tim penyusun kamus, dan menghabiskan sepuluh tahun untuk menyusun sebuah kamus besar yang diterbitkan di Cina pada 1989.
Menurut A. Dahana, ahli kesusastraan Cina dari Universitas Indonesia, minat mahasiswa Cina mempelajari Indonesia tak pernah surut, malah kian menguat. Dan kebanyakan yang mengembangkan studi Indonesia di Cina adalah orang Tionghoa asal Indonesia yang hijrah ke sana, terutama setelah berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 dan peristiwa Gerakan 30 September.
Para mahasiswa Cina yang pernah belajar di Indonesia melalui program pertukaran pelajar semasa pemerintahan Sukarno ikut berjasa menghidupkan hubungan kedua negara. Sebelum 1965, setiap tahun pemerintah Cina mengirim mahasiswa ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia. Sebaliknya, banyak mahasiswa Indonesia yang dikirim ke sana. "Studi tentang Cina di Indonesia juga tak kalah maju," kata Dahana.
Jurusan Bahasa dan Sastra Tionghoa di Universitas Indonesia makin maju setelah kedatangan Prof Dr Tjan Tjoe Som, lulusan Leiden, Belanda, pada 1953. Ia memperkenalkan sejarah, sosiologi, dan kebudayaan serta memasukkan kuliah tentang Cina modern dan linguistik ke dalam kurikulum yang sebelumnya lebih menekankan filsafat dan sejarah kuno.
Dahana sendiri masuk ke Jurusan Bahasa dan Sastra Tionghoa Universitas Indonesia pada 1960. Semasa dia kuliah, banyak sekali mahasiswa asal Cina yang belajar di kampusnya. Setiap tahun, sedikitnya empat mahasiswa Cina mengikuti program pertukaran pelajar itu. "Kebanyakan dari mereka belajar sastra Indonesia," ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu. Salah satu mahasiswa asal Beijing yang dikirim ke Universitas Indonesia waktu itu adalah Kong Yuanzhi, yang kemudian dikenal sebagai ahli Indonesia di Universitas Peking.
Kemajuan studi Cina di Indonesia terhenti setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September. Apalagi setelah pemerintah Orde Baru (1966-1998) melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Bahkan tujuh dari 12 pengajar, termasuk Tjan Tjoe Som, dipecat lantaran terlibat dalam Himpunan Sarjana Indonesia yang dianggap pro-PKI. Studi tentang Cina pun mandek. Pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Cina hanya boleh diajarkan di dua universitas, yakni Universitas Indonesia dan Universitas Darma Persada.
Namun ketertutupan itu tidak terjadi di Cina. Lantaran tak mungkin belajar langsung di Indonesia, banyak mahasiswa asal Cina mengambil studi Indonesia di Universitas Leiden. "Berbeda dengan Indonesia yang menanggapi putusnya hubungan diplomatik dengan Cina secara emosional dengan menutup akses terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Cina, studi tentang Indonesia di Cina justru menguat," kata Dahana, yang memperoleh gelar master dalam kesusastraan Cina dari Cornell University (1979) dan doctor of philosophy (PhD) dalam sejarah kontemporer dan diplomasi Cina dari University of Hawaii (1986).
Sampai sekarang, jumlah peminat studi tentang Indonesia terus meningkat. Selain di Universitas Peking, dosen dan mahasiswa peminat studi bahasa dan budaya Indonesia tersebar di sejumlah universitas yang memiliki jurusan bahasa dan sejarah Indonesia, seperti Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing, Universitas Bahasa-bahasa Asing Shanghai, Universitas Bahasa-bahasa Asing dan Perdagangan Guangzhou, Universitas Nasional Guangxi, Universitas Nasional Yunnan, dan Akademi Bahasa-bahasa Asing Luoyang.
Tiap dua atau tiga bulan sekali, para ilmuwan pemerhati Indonesia itu berkumpul dalam acara seminar yang digelar pemerintah atau lembaga-lembaga kajian luar negeri. "Kami mempresentasikan perkembangan hubungan kedua negara atau semacamnya. Mereka mengundang ilmuwan dari berbagai daerah di Cina," ujar Minhe. Jumat dua pekan lalu, misalnya, dia bertemu dengan 16 dosen dari Akademi Bahasa-bahasa Asing Luoyang untuk bertukar pengalaman dan hasil penelitian.
Berbeda dengan di era Perang Dingin yang lebih mengedepankan hubungan luar negeri, politik, dan diplomasi, mahasiswa Cina kini lebih berfokus pada kajian bahasa Indonesia. "Memang ada pula peneliti yang berminat di bidang politik, ekonomi, dan masalah suku Tionghoa di Indonesia, tapi kebanyakan belajar bahasa Indonesia," kata Minhe. Adapun persoalan ekonomi dan politik Indonesia umumnya dipelajari terbatas di fakultas hubungan internasional dan fakultas ekonomi.
Meningkatnya kerja sama antara Indonesia dan Cina, terutama di bidang perdagangan dan industri pariwisata, membuat kemampuan berbahasa Indonesia kian dibutuhkan. Kepiawaian berbahasa Indonesia dianggap lebih menjanjikan dalam bersaing mencari pekerjaan. Hubungan antara Indonesia dan Cina memang penuh lika-liku. Namun, menurut Minhe, "Hubungan di antara kedua negara sekarang ini paling baik dalam sejarahnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo