Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kaum Indonesianis Amerika Masa Kini

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

R. William Liddle*

Studi ilmu politik tentang Indonesia di Amerika Serikat sedang mekar. Berita ini tentu menggembirakan, apalagi buat saya, sebagai Indonesianis yang telah mengamati Indonesia selama lebih dari setengah abad.

Di antara banyak ilmuwan politik muda Amerika Serikat yang kini aktif menulis tentang Indonesia, ada empat yang paling menonjol: Ben Smith yang mengajar di Universitas Florida, Tom Pepinsky di Cornell, Tuong Vu di Oregon, dan Dan Slater di Chicago. Paling tidak, karya mereka bisa dipakai sebagai contoh untuk menjelaskan ciri-ciri khas, baik positif maupun negatif, pendekatan ilmu politik mutakhir di Amerika.

Buku pertama Smith, Hard Times in the Lands of Plenty (Cornell, 2007), membandingkan dampak peningkatan harga minyak pada 1970-an di Iran, tempat seorang diktator digulingkan pada 1979, dengan Indonesia pada kurun waktu yang sama. Menurut Smith, diktator Soeharto bertahan karena sempat membentuk koalisi politik yang cukup luas sebelum kas negara berlimpahan dolar hasil peledakan harga minyak internasional. Sedangkan Syah Iran sedari awal terlalu menggantungkan nasibnya pada minyak. Ketergantungan itu menciptakan banyak musuh, baik di kalangan petani maupun kelas menengah perkotaan.

Buku pertama Pepinsky, Economic Crisis and the Breakdown of Authoritarian Regimes (Cambridge, 2009), membandingkan dampak perbedaan unsur koalisi politik berdasarkan kepentingan ekonomi di Malaysia dan Indonesia pada masa krisis akhir 1990-an. Menurut Pepinsky, pemerintahan otoriter Mahathir Mohamad mampu bertahan di Malaysia karena unsur pokok koalisinya tetap menyatu, sementara koalisi Soeharto lekas runtuh.

Dua pilar utama Mahathir, massa Melayu etnis dan kaum wira­swasta baru, juga dari kelompok etnis Melayu, sama-sama mendukung kebijakannya untuk mencegah capital outflow, pelarian modal ke luar negeri. Sebaliknya, di Indonesia ada konflik tajam antara para konglomerat, yang mau mempertahankan keterbukaan pasar modal, dan sejumlah pebisnis baru, yang membatasi pelarian modal. Alhasil, kebijakan Soeharto terombang-ambing dan dukungan politiknya hilang.

Tuong Vu, dalam Paths to Development in Asia (Cambridge, 2010), membandingkan proses pembentukan negara pada abad ke-20 di Korea Selatan, Vietnam, Tiongkok, dan Indonesia pada masa awal pemerintahan Sukarno dan Soeharto. Argumennya adalah pola-pola hubungan intra-elite dan antara massa dan elite pada masa pembentukan negara akan menentukan dua hal: kohesi negara selanjutnya dan komitmen negara itu pada pembangunan ekonomi.

Dalam hal Indonesia, Vu mempertentangkan zaman revolusi dan awal Orde Baru. Pada zaman revolusi, proses akomodasi antara kekuatan nasionalis, komunis, dan Islamis mengakibatkan negara yang lemah dan kurang kohesif. Pada awal Orde Baru, negara yang kuat dan propembangunan dibentuk setelah proses konfrontasi antara kekuatan-kekuatan yang sama.

Akhirnya, Dan Slater, dalam Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia (Cambridge, 2010), menelusuri daya tahan negara otoriter di Burma, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam Selatan, dan Thailand pasca-Perang Dunia II. Bagi Slater, faktor yang paling menentukan adalah pola contentious politics, politik pertengkaran. Semakin tinggi tingkat pertengkaran antara kekuatan-kekuatan politik dalam negeri, semakin mungkin elite politik yang merasa terancam akan menciptakan sebuah protection pact, pakta perlindungan.Pakta perlindungan itu di mana-mana berbentuk sistem pemerintahan otoriter, Leviathan atau raksasa menurut Thomas Hobbes.

Di Indonesia, daya tahan Orde Baru dirunut pada tingkat pertengkaran tinggi di akhir masa Demokrasi Terpimpin antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kekuatan besar yang lain, termasuk tentara. Tapi Slater juga bertutur bahwa, setelah PKI dibasmi, koalisi Orde Baru kehilangan musuh dan lama-kelamaan melemah. Ketika terserang krisis moneter pada 1998, Soeharto mudah dijatuhkan karena sudah lama ditinggalkan teman-teman seperjuangan.

Membaca kembali buku ciptaan para scholar muda itu reaksi saya mendua. Saya terkagum-kagum, khususnya terhadap jangkauan perbandingan mereka. Pada angkatan saya, hampir tak ada ilmuwan politik yang mampu meneliti dan menulis sekaligus tentang begitu banyak negara. Ben Anderson pun cenderung menulis terpisah-pisah tentang Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Komitmen mereka kepada causal analysis yang canggih dan modern harus dipuji juga. Mereka mencari metode baru, termasuk komparasi langsung antarnegara, untuk membuktikan hipotesis mereka secara lebih ilmiah. Tak kurang penting, argumen dan penemuan mereka mulai berdampak pada ilmu politik pada umumnya, hal yang juga jarang terjadi pada masa belia saya.

Meskipun kagum, harus saya akui bahwa saya belum siap meniru pendekatan rekan-rekan muda itu dalam penelitian saya sendiri. Salah satu reaksi saya, setiap kali saya membaca kembali analisis mereka, Indonesia yang saya kenal hanya terwujud secara parsial, tidak lengkap. Seakan-akan fakta diseleksi atau ditekankan, tanpa sengaja tapi terdorong oleh kerangka analitisnya, untuk membuktikan hipotesis atau teori yang sedang diuji. Dengan kata lain, tujuan utamanya bukan untuk mengerti politik Indonesia, melainkan membangun sebuah struktur teoretis tempat Indonesia bisa diletakkan.

Misalnya, argumen-argumen Smith dan Pepinsky terlalu menekankan faktor kepentingan ekonomi. Pilihan politik Presiden Soeharto, pada awal dan akhir masa pemerintahannya, jelas lebih kompleks dari itu. Sedangkan argumen Slater kurang (atau sama sekali tidak) menekankan faktor kepentingan ekonomi, dan terlalu menekankan faktor PKI. Bagi saya, sulit menerima argumennya bahwa Orde Baru menjadi Leviathan (kalau betul-betul menjadi Leviathan) terutama karena ketakutan para jenderal pada PKI.

Pandangan Vu bahwa lemahnya pemerintahan Demokrasi Parlementer pada 1950-an disebabkan oleh proses akomodasi pada zaman Revolusi juga kedengaran terlalu sederhana.

Akhirul kata, saya tidak mau memberi kesan bersikap terlalu kritis terhadap karya scholar muda di Amerika, termasuk empat orang yang saya soroti dalam tulisan ini. Kiranya sudah jelas, mereka betul-betul sudah memperkaya khazanah pengetahuan kita semua. I wish them well, antara lain, karena penelitian saya sendiri sudah banyak dibantu dan diperbaiki oleh pendekatan dan penemuan mereka.

* Profesor emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus