Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berthold Damshauser*

Ini laporan tentang sebuah diskusi mengenai "Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia". Diskusi itu melibatkan mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman, dan dosennya (saya sendiri).

Pada salah satu kuliah bagi mahasiswa tingkat akhir program master, saya berupaya menanamkan rasa bangga di hati mahasiswa yang sudah lima tahun dengan tekun dan tabah mempelajari bahasa Indonesia: "Tak lama lagi, Anda akan tamat. Perlu kiranya Anda ketahui bahwa bahasa yang kini cukup Anda kuasai berpeluang besar menjadi 'bahasa dunia', 'bahasa internasional', atau 'bahasa peradaban dunia'. Tentang itu telah banyak tulisan di berbagai media Indonesia."

Wajah segelintir mahasiswa mendadak cerah. Mereka menyimpulkan bahwa prospek baik bahasa Indonesia pasti akan meningkatkan prospek mereka di lapangan kerja. Namun sejumlah besar wajah menunjukkan roman skeptis yang cukup mengganggu. Salah seorang skeptiswan angkat bicara: "Bahasa dunia atau lingua franca internasional adalah bahasa yang secara global digunakan dalam bidang diplomasi, hubungan dagang, juga penyebaran ilmu pengetahuan. Alangkah jauh bagi bahasa Indonesia untuk diterima sebagai bahasa yang berhak memainkan peran itu."

Dahi saya mengerut. "Jangan terlalu pesimistis, dong. Harap diingat, penutur bahasa Melayu-Indonesia cukup banyak, jauh melebihi jumlah penutur bahasa Jerman atau Italia, misalnya. Bahasa itu digunakan di berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor Leste, dan Thailand. Harap jangan anggap enteng!"

Skeptiswan itu langsung terdiam. Namun skeptiswan lain dari sayap kiri langsung menyambar: "Bukankah yang menjadikan sebuah bahasa sebagai bahasa dunia adalah proses sejarah alias proses penuh paksaan? Harus menjajah dulu, baru bahasanya ikut berkuasa, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol…."

Mendengar itu, saya langsung memasang wajah bijak dan menjawab kalem: "Ingat! Masa kegelapan imperialisme sudah lewat! Karena itu, sama sekali tak jadi masalah kalau bangsa Indonesia tak pernah dan tak akan bersemangat imperialistis, baik politis-ideologis, geostrategis, maupun ekonomis. Pada masa kini, tingginya budi dan keagungan budaya para penuturlah yang menentukan kedudukan sebuah bahasa dalam pergaulan internasional!"

"Juga prestasi di bidang sains dan humaniora?" tanya seorang mahasiswi dengan hati-hati. "Tentu saja," jawab saya seraya menambahkan, "Termasuk prestasi di bidang keberaksaraan modern, misalnya kesusastraan." Tak terduga, si mahasiswi mulai berprovokasi: "Memang budaya aksara modern sudah berkembang gemilang di Indonesia? Jumlah pembaca buku sudah banyak? Apakah bangsa Indonesia sendiri cukup bangga dengan budaya aksaranya? Bukankah yang disuguhkan ke mancanegara biasanya budaya lisan, misalnya tarian atau musik tradisional?"

"Jangan bertele-tele," saya menegur sang mahasiswi, "yang kita bicarakan adalah perihal bahasa, jangan menjauh dari itu!" "Baik, Pak," kata mahasiswi yang memang paling pintar itu, "mari kita kembali ke bahasa Indonesia. Bahasa ini gampang dipelajari, dan ini potensial menjadi bahasa dunia. Sayang, kegampangan itu agak semu. Di kuliah sebelumnya, kita belajar bahwa memahami teks Indonesia agak sulit, justru karena kesederhanaan tata bahasa yang menyebabkan tingkat ambiguitasnya sangat tinggi. Kadang-kadang, teks hukum saja kurang jelas. Ingat teks Pancasila, khususnya sila keempat yang membicarakan 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'?"

Ia melanjutkan bahwa ia meminta teman-teman Indonesia menjelaskan maknanya dan betapa mereka kesulitan menjawab hanya karena memiliki tafsir yang berbeda-beda. Selain itu, paling sedikit menurut kesannya, "Bahasa Indonesia yang digunakan para penulis Indonesia, termasuk wartawan dan politikus, jauh dari baik dan benar, bahkan sering mengabaikan logika kalimat. Tak jarang kami putus asa mengurus teks demikian."

"Iya," jawab saya, "yang Anda katakan ada benarnya juga. Tapi, bagaimanapun, kita jangan melupakan perkembangan luar biasa yang ditempuh bahasa itu selama hampir seabad. Sudah banyak sekali kemajuannya. Patut dihargai upaya bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi bahasa persatuannya!"

"Menjunjung tinggi? Beberapa minggu lalu, saya membaca laporan Tempo Interaktif berjudul 'Pidato Presiden Bertaburan Istilah Inggris'. Hanya ada dua kemungkinan: kosakata bahasa Indonesia tidak mencukupi untuk menyampaikan hal-hal pelik, atau yang berpidato lebih suka kepada bahasa dunia sejati, bahasa Inggris."

Saya terdiam. Merenung. Tak mungkin saya berdalih bahwa cara berpidato adalah hak prerogatif, hak individu, atau hak asasi yang lain. Sambil mengempaskan diri ke kursi, saya menjawab lemah tapi tegas: kosakata bahasa Indonesia tentu mencukupi! Masak tidak!

"Nah, kalau begitu," terdengar suara dengan nada sindiran dari belakang ruang kuliah, "segala kemungkinan masih terbuka. Bapak masih punya harapan menjadi dosen sebuah bahasa dunia."

Aduh, saya pikir, ini sudah keterlaluan. Saya tidak mau terpancing. Dengan anggun, saya katakan, "Begini, ya. Kota Roma tidak dibangun dalam sehari. Semua hal membutuhkan kesabaran dan kerja keras. Bangsa Indonesia tentu menyadarinya. Mereka sanggup memilih jalan terbaik. Kini sedang diupayakan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly. Mana mungkin orang Filipina, Burma, Laos, dan negara ASEAN lainnya tega menolak usul itu. Oke, diskusi ini kita lanjutkan pada kesempatan lain."

*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus