TANGGAL 13 Juni 1856. Setelah dua puluh hari terantuk-antuk, akhirnya Kembang Djepoon, sekunar milik saudagar Cina yang diawaki orang-orang Jawa dengan kapten Inggris itu, labuh jangkar di Buleleng, pesisir utara Bali. Perjalanan yang melelahkan. Sedangkan Makassar, tujuan utama kali ini - setelah dua tahun menunggu selesainya Singapura, Malaka, dan Borneo, yang lebih dulu dijelajahi - masih beberapa hari pelayaran lagi. Bali, menurut rencana, tidak masuk daftar. Aku hanya sekadar singgah karena tidak ada pelayaran langsung dari Singapura ke Makassar. Langit cerah di Buleleng. Menyusur pantai bersama kapten kapal dan supercargo milik keturunan Cina itu, aku melihat di depan membentang tamasya yang cantik dan megah. Kami melangkah perlahan. Yang dituju pertama: rumah bandar. Ada beberapa orang pribumi di kediaman sang taipan, berpakaian bagus, semua tampak menyandang keris. Mereka menawarkan barang kerajinan berukuran besar yang terbuat dari gading dan emas, juga ukiran kayu yang rumit dan dipoles mengkilap. Indah. Orang-orang Cina yang ada tidak mengenakan pakaian nasional mereka, tetapi pakaian Melayu. Sukar dibedakan dari penduduk asli - suatu indikasi bahwa ras mereka, Mongolia dan Melayu, bertalian erat. Di keteduhan pohon-pohon mangga, di dekat rumah, beberapa perempuan berkerumun menjajakan barang-barang katun. Mereka, perempuan-perempuan itu, berdagang dan bekerja untuk para suami - adat kebiasaan yang tidak pernah bisa diadopsi oleh kaum Melayu yang Muslim. Dua hari di Bali kumanfaatkan untuk menjelajah negeri, melihat-lihat dan mencatat. Lebuh-lebuh dan gang-gang, yang di tepinya tumbuh kaktus tegak dan Euphorbia tak berdaun, berbaris berleret-leret. Perkampungan yang guram dan kumuh. Kumpulan lorong sempit berbatas dinding tanah. Rumah-rumah bambu, yang akan terbuka dengan ramah setiap kami mengetuk pintu. Dan di luar dugaan, yang membuat aku takjub, usaha pertanian sudah semaju tanah leluhurku, Eropa. Sawah berpetak-petak aneka bentuk berbatas tanggul dan pematang, berombak berkelak-kelok. Di beberapa bagian bahkan bertingkat-tingkat mendaki bukit. Semua basah digenangi air mengalir yang terpecah menjadi kanal-kanal kecil. Air dari pegunungan, wilayah yang konon masih menyimpan ternak-ternak liar di pusarnya: binatang yang gagah, bertubuh besar dan tampan, berwarna cokelat muda dengan tungkai putih dan bercak besar lonjong berwarna sama di bagian pantat - ternak seperti yang terlihat bergerombol ditunggangi bocah-bocah gembala atau dicencang di padang rumput. Satu hal lagi yang penting: aku menemukan sejenis kupu spesies baru. Kuberi nama Pieris tamar. * * * Pelayaran Bali-Lombok kami tempuh dua hari. Perjalanan yang menyenangkan. Dua gunung berapi di kejauhan: satu di depan anjungan, nun di sana, Rinjani, dan satu lagi yang makin tertinggal di belakang Gunung Agung. Masing-masing menjulang lebih-kurang delapan ribu kaki, tegak perkasa dengan halimun dan awan-gemawan yang menggantung di punggungnya, berpendar warna pelangi saat mentari terbit dan senja. Pelabuhan Ampenan berpasi r hitam. Guram. Terletak di lekuk teluk, agak terlindung dari gelombang laut selatan yang terkenal ganas. Sauh dilabuh seperempat mil dari pantai. Turun dari sampan yang membawa ke tepi, aku menarik napas lega. Semua selamat, juga barang-barang tidak ada yang tercebur ke dalam gelombang laut yang menggelora - yang oleh penduduk asli disebut, dengan bangga, "laut kami yang selalu lapar dan siap menelan segala yang dapat diterkam". Satwa yang aku temukan di Lombok sangat berbeda dari yang ada di Bali, seolah kedua pulau ini terpisah ribuan mil oleh lautan, seperti Afrika dan Amerika. Tidak banyak lagi burung-burung pelatuk dan pemakan buah. Tidak ada lagi burung-burung manyar - sejenis burung kecil, cokelat, berkepala kuning cerah, yang menenun sarang berbentuk botol di pepohonan tepian pantai. Sebaliknya, mulai dijumpai burung-burung yang biasa ditemukan di Australia: kakaktua putih kecil, burung cilik penghisap madu dari genus Ptilotis, dan Merops ornatus si pemangsa lebah. Juga Tropidorhyncus timoriensis yang oleh penduduk asli disebut kuik-kuik karena bunyinya, dan sejenis Megapodius berkaki tegar dengan cakar bengkok yang suka membangun sarang besar untuk meletakkan telurnya. Ada lagi dara hijau besar - merpati jinak terbesar yang pernah kulihat. Di hutan perawan masih bisa ditemukan rusa dan babi hutan, yang ternyata kemudian dapat dijumpai di sebagian besar wilayah MalayArchipelago lainnya. Kawasan itu mmbentang 4.000 mil dari barat ke timur dan 1.3do mil arah utara-selatan, dan menurut pengertianku, berdasarkan penyebaran satwa--meliputi juga Semenanjung Malaya dan Kepulauan Nikobar di barat, Filipina di utara, dan Kepulauan Solomon di sebelah timur. Banyak cerita aneh beredar di kalangan penduduk asli. Mereka umumnya percaya, ada beberapa orang yang mempunyai kekuatan gaib dan mampu mengubah diri menjadi buaya atau apa pun yang diinginkan, untuk mengimpaskan dendam. Tentu saja balas dendam berarti pembunuhan. Aku jadi teringat kata-kata seorang kawan kepada salah seorang pengikutku, Manuel, si Portugis asal Malaka. Sobat yang Melayu--Borneo, seperti Ali, pengikutku yang satu lagi, berkata, "Selama beberapa tahun aku tinggal di Lombok, ada satu hal yang benar-benar aneh: hampir tidak ada hantu di sana!" "Lho, memangnya kenapa?" tanya Manuel menimpali. "Kau tahu," sahut Ali, "kami, sebagai layaknya orang Timur, percaya bahwa orang yang mati, apalagi terbunuh, pasti akan ada hantunya. Tidak ada orang yang berani keluar sendirian malam-malam. Tetapi di Lombok orang bisa tenang-tenang saja, padahal tidak jarang ditemukan mayat tergeletak di lapangan atau pinggiran jalan. Aneh." Dan memang, pernah dalam sebuah penjelajahan kami menemukan jenazah meringkuk di balik pagar bambu kecil, beralas tikar, berpakaian lengkap. Dan di sampingnya teronggok sebuah wadah sirih. Mungkin korban pembunuhan. Mulanya, pusat pemerintahan Lombok - kedudukan raja dari suku Sasak, penduduk mayoritas yang kebanyakan Muslim - terletak di Karangasem. Setelah mereka dikalahkan orang Bali, kota raja pindah ke Mataram, sebuah desa besar kira-kira empat mil dari Ampenan . Jalan yang menghubungkan Kota Pelabuhan Ampenan dengan Kota Raja Mataram berpasir, sebagian lagi merupakan jalan rumput dengan lubang penuh lumpur di sana-sini. Kedua sisi dirimbuni pohon-pohon besar, diapit sawah yang menganak tangga, lebih bagus dari yang di Buleleng. Padi menguning. Jutaan capung mengapung diatasnya. Dan orang-orang, dengan keranjang bertangkai panjang, menangkap serangga bersayap dua itu dikumpulkan, digoreng untuk lauk. Melintas Mataram, Kusirku turun. Kuda dituntun. Terlarang bagi rakyat jelata mengendarai apa pun di Kota Raja. Kereta bergerakpelan melalui lebuh yang lurus, lebar, teduh. Rumah-rumah beratap rendah dan berdinding tanah. Istana Raja dan Pendeta Agung (Maksudnya barangkali Penghulu Keraton) ditandai dengan pilar dan gapura dari bata merah yang ditatah indah. Selebihnya sama dengan rumah lain. Keluar dari Kota Raja pemandangan berganti: bukit-bukit karang, lembah ngarai, dan hutan bambu serta luasan palem. Matahari tegak di atas kepala ketika kami sampai ke Kupang, sebuah desa di bagian tengah pulau. Memasuki sebuah rumah besar, aku diterima di beranda. Ruang luas terbuka dengan lantai bambu yang licin mengkilap. Seorang penerjemah datang, menanyakan maksud kunjungan, dan mengatakan bahwa sang pambekel, si empunya rumah, sedang berada di Mataram, menghadap Raja. Tiga jam kami menunggu. Sang pambekel, yang juga seorang pangeran Suku Sasak, menanyakan surat izin ketika aku menyampaikan keinginan untuk menginap di rumahnya, berburu burung, dan berkeliling negeri. Sebagai seorang petinggi dengan kekuasaan terbatas, Pambekel tidak berani menerima kami tanpa perkenan Anak Agung, raja penguasa Lombok. Tentu saja aku tidak membawa karena aku pikir tidak perlu. Sekitar pukul lima, Ali dan Manuel datang - dan Pambekel kembali ke Mataram untuk melaporkan kedatangan kami. Jam demi jam berlalu. Menjelang tengah malam, akhirnya, Raja - diiring Pambekel, beberapa pendeta dan hulubalang - datang. Mereka duduk membentuk lingkaran, dengan aku di tengah. Tanya jawab pun dimulai. Segala hal ditanyakan: tujuan, senapan, barang-barang yang kubawa. Kaca mataku dipinjam. Dicoba bergantian, dan dikomentari bahwa benda itu tiada guna karena tidak membuat penglihatan mereka bertambah terang. Mereka pun takjub melihat jenggot tebalku. Semua yang dilihat dan ditanyakan, didiskusikan di antara mereka - dengan bahasa mereka. Hasilnya: tidak satu pun keteranganku dipercaya. Bahkan mereka tidak yakin bahwa aku orang Inggris, bukan Belanda. Tidak ada izin Raja memutuskan begitu . Segera setelah hari terang, kuminta Ali dan Manuel menyiapkan kuda. Kami kembali ke Ampenan. Tetapi sewaktu lewat Mataram Gusti Gede Oka mengundang kami. Tertarik mendengarkan keteranganku yang panjang lebar tentang bedil, sang pangeran keturunan Bali yang masih kerabat Raja itu ingin menunjukkan senjata api buatan anak negeri. Dikeluarkannya dua pucuk senapan, masing-masing tujuh dan delapan kaki panjangnya, penuh ornamen dari emas dan perak. Tampaknya cukup baik. Semua komponen, kecuali bagian pelatuk yang diambil dari senapan Inggris, asli bikinan sendiri. Kemudian aku dibawa ke bengkel pembuatan sebuah bangsal kecil yang terbuka. Di bagian depan menonjol tungku penempa dari tanah liat. Alat pengembusnya adalah dua batang tabung bambu dengan piston yang digerakkan tangan - yang dihubungkan ke satu mulut penyembur. Dengan demikian, dapat dihasilkan semburan yang tak terputus-putus. Di sudut terserak landasan tempa berupa lempeng besi, martil, dan peralatan tukang. Mesin pembuat laras entah di mana. Ketika kutanyakan, dijelaskan oleh Gusti, "Kami menggunakan keranjang berisi batu." Kemudian diambilnya mesin bor yang luar biasa itu: semua serba bambu, kecuali mata bornya. Ini adalah sebuah keranjang yang ditembusi bambu kecil sepanjang tiga kaki, dengan bagian atas yang dilengkapi bambu besar, yang diikatkan dengan rotan sehingga secara tak disengaja membentuk salib. Di bagian bawah ada cincin besi, berlubang di tengah untuk sarang mata bor. Batang besi yang akan dibuat laras ditancapkan tegak lurus di tanah, dilingkup dengan bambu. Mata bor ditaruh di atasnya, dan keranjang diisi batu pemberat - kemudian diputar oleh dua orang. Dengan bor berbagai ukuran, mula-mula kecil kemudian makin besar, dalam waktu tiga hari akan diperoleh sebatang pipa. Dan, setelah dihaluskan, jadilah laras bedil. Betul-betul halus buatannya bahkan, kalau tidak membuktikan dengan mata sendiri, tidak akan ada yang percaya bahwa semua itu dibuat dengan peralatan sederhana yang bahkan untuk sekadar membuat tapal kuda pun seorang tukang besi di Inggris tidak akan sanggup. Beberapa hari di Ampenan, pada suatu pagi yang cerah, datang utusan Raja. Aku diundang menyambung pembicaraan. Dan kali ini aku bisa lebih jelas mengamati Anak Agung: seorang laki-laki tampan berusia sekitar tiga puluh lima, dan berwibawa. Aku menunjukkan hasil karyaku: burung-burung dan serangga yang diawetkan. Akhirnya semua beres. Aku mendapat izin. Anak Agung sendiri yang memutuskan. Di Lombok, raja memang berkuasa penuh. Seorang otokrat. Tetapi Anak Agung ternyata juga seorang yang bijak, yang karena itu dihormati dan ditaati. Roda ekonomi Kerajaan terutama bersandar pada pajak hasil bumi. Tiap tahun seluruh rakyat, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, diwajibkan menyisihkan beras - tidak banyak, sehingga tidak memberatkan. Lagi pula, tanah pertanian yang ada sangat subur. Semua rakyat patuh. Yang jadi masalah: beras pajak itu, sebelum masuk kocek Raja, harus melalui banyak tangan: para kepala kampung, wedana, dan gusti. Jumlah beras yang terkumpul pun kian tahun kian tipis. Ada saja alasannya - dari soal wabah penyakit, serangan hama, sampai musim yang salah mangsa. Sementara itu, para pejabat Kerajaan kelihatan bertambah kaya - terutama para gusti, pejabat tertinggi setelah Raja. Keris-keris mereka, dan ini lambang status, kian hari kian cantik saja. Mula-mula, hanya bergagang kayu kuning. Lalu, diganti gading. Kemudian dilapis emas. Dan akhirnya penuh dihias intan dan zamrud. Tetapi Anak Agung nyatanya diam saja. Tidak ada bukti untuk menindak. Pada suatu pagi yang mendung, Raja menitahkan sekalian nayapraja untuk berkumpul di Balairung. Di situ dikatakan: tadi malam, wangsit telah datang suara gaib dari Gunung Agung, tempat bersemayam para dewa. Bunyinya: Raja harus berziarah ke puncak untuk menerima titah berikutnya. Tidak lama berita ini tersebar, dan persiapan besar-besaran pun dilakukan. Maka, pada hari yang telah dipilih dengan saksama, Raja berangkat, menunggang kuda hitam besar berekor panjang, diiring seluruh lapisan masyarakat. Gagah. Sampai di gunung, semua berhenti di lereng. Anak Agung meneruskan pendakian diiringi dua bocah laki-laki pembawa sirih-pinang. Di puncak tebing mereka berhenti. Sang raja meminta sirih, dan menitahkan kedua pengiring menunggu di balik karang. Mentari bersinar hangat. Angin sepoi-sepoi mengganggu tubuh yang telah letih berjalan. Bocah pengiring raja tertidur. Raja sendiri terlelap, capek. Lama baru semuanya turun. Keesokan harinya rombongan pulang ke Istana. Dan, tiga hari kemudian, di hadapan seluruh narapraja, isi wangsit diumumkan. "Sewaktu aku sedang semadi," demikian Anak Agung, "aku mendengar suara: 'Hai Raja. Akan menyebar wabah sampar, demam, dan penyakit di seluruh muka bumi. Rakyatmu, bahkan kuda dan ternak, akan lampus. Tetapi kalau kau mau turut kata, akan kutunjukkan cara pencegahannya' . . . " Ruangan hening. Menunggu. Dan Anak Agung melanjutkan. "Buatlah dua belas bilah keris. Dan setiap desa diwajibkan menyerahkan sebundel jarum - masing-masing sebanyak jumlah warganya. Kalau wabah datang, araklah keris ke desa yang terserang. Kalau jumlah jarum yang dikirim memang sesuai dengan jumlah warga yang ada, keris sakti akan menunjukkan tuahnya, dan semua pasti selamat sentosa. Tetapi kalau jarum yang dikirim tidak cocok jumlahnya, wabah tak akan bisa dicegah ...." Semua orang percaya, tentu saja - anak agung sendiri berarti anak dewa. Pada waktu itu, sang raja sebenarnya bukan saja sedang melakukan sensus. Tapi ia pun tahu, berapa persisnya jumlah pajak yang harus masuk kas. * * * Tanggal 30 Agustus 1856 kami meninggalkan Lombok. Tiga hari kemudian tiba di Makassar, daerah kekuasaan Belanda yang pertama kukunjungi. Puluhan kapal sandar di dermaga - kapal tradisional yang kecil ramping dan panjang, kapal dagang berbagai ukuran, dan armada perang Belanda. Yang paling menonjol adalah sebuah kapal penjelajah dengan 42 pucuk meriam di geladaknya. Sepanjang tepi pelabuhan, memanjang lebuh yang pinggirnya dijajari gedung-gedung perkantoran, bangunan perwakilan maskapai Belanda, gudang-gudang besar milik saudagar Cina, juga warung-warung kecil milik pribumi dari suku Makassar dan Bugis. Kota kelihatan bersih - palin cantik dibanding kota mana pun di belahan timur. Di jalan-jalan, orang lalu lalang mengenakan pakaian setempat - celana katun setinggi dengkul dan sarung warna-warni yang dililitkan di pinggang atau disandang di bahu. Aku tidak tahu pasti apakah hukum di Makassar sini sekeras di Lombok. Pencuri, di Lombok, dihukum tikam. Juga perempuan bersuami yang berani menerima pemberian dari laki-laki lain, sekalipun cuma selembar sirih atau setangkai kembang. Tetapi peristiwa "amok" lebih sering terjadi di Makassar. Rata-rata sekali atau dua kali sebulan, karena alasan-alasan tertentu. Misalnya orang yang bangkrut karena judi tiba-tiba mengamuk membabi buta, menikam siapa saja dengan kerisnya, sampai akhirnya petugas hukum terpaksa menembak. Dalam "amok" seseorang merasa mati secara kesatria. Kebiasaan yang sukar dihilangkan, seperti juga kebiasaan orang Jepang membedah perutnya dalam harakiri. Untuk menghindari kesalahpahaman seperti di Lombok, aku minta izin tinggal dan berburu kepada raja Gowa. Beliau ini seorang laki-laki yang tegap. Tidak seorang pun boleh berdiri atau duduk lebih tinggi darinya. Sehingga, kalau misalnya kereta kerajaan Inggris dikirim ke sini, tidak akan terpakai. Kusir kereta raja Inggris duduk di atas, bukan? * * * Memasuki bulan Desember berarti menyongsong musim penghujan. Langit berjelaga. Angin timur yang kencang, hangat, dan berdebu berganti dengan angin sepoi-sepoi dan guyuran air dari angkasa hampi r tiada henti, sering sampai tiga hari tiga malam berturut-turut. Sawah-sawah yang biasanya menghijau jadi cokelat berombak, dan hanya bisa diseberangi dengan sampan. Keadaan begini, untuk daerah Sulawesi Selatan, berlangsung sampai lima bulan. Karena itu, aku harus mencari tempat lain: daerah dengan musim yang memungkinkan untuk mengumpulkan spesimen. Dan aku merasa beruntung karena Makassar, secara tradisional, merupakan pusat perdagangan yang besar di Archipelago. Jalur niaga merentang sampai ke Borneo dan Papua, termasuk di dalamnya Kepulauan Maluku. Di antara semua, Aru adalah yang terpenting. Jalur niaga ke pulau-pulau di barat daya Papua itu hanya dilayani perahu penduduk asli: Dari situlah mutiara, kulit lokan, dan rumah penyu, menemukan jalannya ke Eropa. Dari situ pula datang teripang dan sarang burung walet yang banyak diburu orang Cina. Dan ke tempat itu pula aku hendak ikut berlayar, pada suatu subuh mendung di pertengahan Desember 1856. Awal perjalanan tampak seperti mimpi buruk. Mentari masih menunggu lama untuk menampakkan diri, tetapi tak satu pun gemintang. Langit pekat. Begitu jangkar menyembul, biduk melaju, layarnya menggelembung, dan tiang berderak-derak. Sampai pada suatu saat guncangan dahsyat melanda. Kemudi patah - hilang entah ke mana. Untung saja, pelayaran belum terlalu jauh. Dengan susah payah, mendayung di tengah badai, jalan pulang akhirnya bisa ditemukan. Sore itu perahu kembali ke pelabuhan, dan perjalanan ditunda. Aku jadi bisa mengamati dengan lebih jelas perahu yang akan membawaku ke Negeri Sejuta Mutiara, Aru. Sebuah kapal layar bertiang dua, mirip jung Cina. Tempat yang disediakan buatku oleh si pemilik perahu - seorang Jawa yang beristrikan noni cantik - adalah sebuah ruang berukuran 6,5 X 5,5 kaki, berpintu geser, dan berlantai bilah bambu. Dindingnya berlapis anyaman rotan, tempat aku menggantungkan pakaian dan senapan. Hangat dan kering - karena terletak enam inci di atas dek - dan jauh lebih nyaman dibanding kamar kelas utama kapal uap mana pun di dunia. Tidak ada bau cat, tidak juga bau tar, atau gemuk, atau oli, atau pernis. Aroma alami produksi hutan yang hijau: kayu, bambu, rotan, atap rumbia, ijuk, dan tali-temali serat tumbuhan. Puji Tuhan untuk segala kebaikan yang kuterima. Bukan hanya karena si empunya mengatakan, "Berapa pun Anda bayar tidak jadi soal, satu atau seratus dolar sama saja, saya terima tanpa tanya," ketika kutanyakan tentang ongkos jalan. Tetapi terlebih lagi karena penjelajahan ke Aru adalah kesempatan yang cukup langka, yang bahkan oleh pelaut asli pun disebut sebagai "perjalanan romantik yang menggetarkan". Sepanjang tahun hanya dilakukan sekitar Desember dan Januari, lalu pulang ke Makassar lagi Juli atau Agustus, bersama datangnya musim barat. Pada senja kelabu hari ketiga sejak perahu diperbaiki, datang dua perempuan. Salah satunya istri juragan laut alias kapten kapal. Mereka naik ke dek menghampiri kerabat dan keluarga, lalu saling beradu dan menggesek hidung - ciuman selamat jalan cara Melayu (?--Red). Esok harinya, pagi-pagi sekali, kami bertolak. Dalam gelap, laut tampak pekat dengan garis putih kelabu yang bergerak-gerak. Lalu mulailah terlihat bara itu. Mula-mula hanya sedikit di ufuk timur sana, kemudian menjadi sebuah bola api raksasa ketika menyembul dari dasar samudra. Agak mengecil lagi ketika melesat pelahan ke angkasa, dan lamakelamaan berubah jadi jingga, lalu kuning emas. Laut pun jadi biru jernih, demikian pun langit, sementara angin bertiup lemah dan tak tentu arah. Ketika angin agak kencang, dan langit meredup, kami melintasi Tanahkaki - sebuah pulau kecil di ujung selatan Sulawesi, di daerah penuh karang berbahaya. Aku berdiri di pinggir, membuang sampah dari lambung perahu. Tiba-tiba seseorang muncul di belakangku, memperingatkan agar aku membuangnya di dek saja. "Ini daerah angker," katanya. "Kalau begitu, tentu banyak hantunya," sahutku. Awak perahu yang orang Bugis itu menganggukkan kepala. "Dan mereka tidak senang tempatnya dikotori," katanya. "Sudah banyak perahu yang tenggelam dan hilang karena itu." Aku lalu berjanji akan lebih berhati-hati. Saat matahari meninggalkan seleret sinar kemerahan di ufuk barat, dan terbenam, para awak perahu yang Muslim bersembahyang. Lalu melagukan pujipujian, bersahut-sahutan, seperti yang sudah kudengar ketika para pengantar melepas keberangkatanku. Mirip Ave Maria yang sering dikidungkan di negeri Katolik. 20 Desember 1856. Saat matahari terbit, di kejauhan menjulang Lompobatang, salah satu gunung tertinggi di Sulawesi. Menjelang siang perahu sudah melintas Selat Selayar. Lalu Buton, pulau asal sebagian awak kapal - dicapai dua hari kemudian. Perahu-perahu yang berpapasan biasanya lebih kecil. Dan berjalan tanpa kompas! Aku takjub: bagaimana mungkin pelayaran yang makan waktu bermingguminggu tidak membuat mereka kesasar? Sang juragan menerangkan, saat matahari hampir tenggelam, mereka meneliti gelombang dan menentukan arah. Lalu sepanjang malam berlayar menurut arah itu. Lagi pula, jika musim baik, tidak sampai tiga hari mereka sudah melihat pulau lain yang mereka kenal, yang sekaligus merupakan "papan penunjuk arah". Waktu mengalir bagai air. Ya, mereka memang menetapkan waktu dengan jam air - sebuah bejana yang separuhnya diisi air dan batok kelapa yang mengambang. Melalui lubang kecil di pantat batok, air akan merembes masuk, dan tepat satu jam batok tenggelam. Praktis, dan tidak terpengaruh cuaca. Bagi awak perahu, yang rata-rata tidak berpendidikan, waktu yang ditunjukkan batok kelapa itu lebih masuk akal dibandingkan dengan yang "ditentukan" oleh arlojiku. Lagi pula, cukup akurat - tiap jam hanya meleset tidak lebih dari satu menit. Malam Natal tiba. Dan tidak dirayakan di kapal, walau tampaknya sang kapten beragama Kristen. Aku pun makan nasi dan lauk yang biasa, hanya kutambah dengan segelas anggur ekstra buat memperingati kelahiran Sang Bayi Suci. Beberapa hari kemudian, di akhir tahun, kami sampai di Kepulauan Kai setelah berturut-turut melintasi Pulau Buru, Kepulauan Banda - dengan deretan gunung berapinya yang menyerupai jejeran piramida Mesir - dan Pulau Tioor yang lautnya dihiasi ribuan ikan terbang, melompat dan melayang, memamerkan siripnya yang panjang. Mengitari bagian utara pulau, perahu kami terjebak dalam gugusan karang setelah dihantam angin kencang yang tiba-tiba. Dua buah kano penuh penduduk asli mendekat, menawarkan diri untuk memandu kapal kami agar bisa menepi. Kapten setuju. Tetapi perahu kami terlalu besar untuk dihela dua kano yang panjang langsing itu. Sementara mereka memanggil bantuan, jangkar diturunkan. Laut tenang seperti danau, berwarna zamrud sampai lapis-lazuli - dan mendekati pantai, warna semakin muda. Lalu tiba-tiba bukit karang berwarna terang men julang, membentuk garis pantai yang tegas setinggi ratusan kaki, dengan beberapa bagian patah yang meruncing menusuk langit. Bagian yang melengkung datar penuh ditumbuhi pinus dan sebangsa Lili. Di belakangnya: hutan yang lebat. Esok paginya regu penolong datang lagi. Kali ini empat buah kano. Semuanya panjang langsing dan melengkung, dengan bagian tengah lebih rendah, penuh hiasan kerang dan bulu kasuari. Awaknya sekitar lima puluh orang. Legam, berbibir tebal dengan hidung besar lebar bertengger di atasnya. Semua berewok dan berambut keriting kaku macam topi bulu. Mereka merubung. Tiap orang menanyakan upah yang akan mereka terima, yang mereka inginkan agar dibayar duluan. Dan ketika tembakau dibagikan, mata berbinar. Semua bersuit-suit, bernyanyi, bertepuk tangan, atau menepuk tepi kano. Sebagian berjumpalitan untuk menyatakan rasa senang. Sikap semacam itu tidak akan pernah dilakukan orang Melayu, walau misalnya mereka memperoleh barang yang telah lama diidam-idamkan. Kami menginap beberapa hari di Kai Besar, sebuah pulau yang panjang, sempit, punya hutan bakau dan sagu hampir sepanjang pantai. Belum ada tanah pertanian yang berarti. Bagian tengah pulau adalah hutan dengan tumbuhan utama dari marga Liliaceae dan Pandanaceae. Dibantu penduduk asli, aku bisa mengumpulkan 194 spesis serangga, tiga jenis keong darat dan 13 spesies burung. Salah satunya adalah burung langka yang hanya hidup di pulau itu, sebangsa dara besar bersuara nyaring, berwarna biru muda dengan ekor dan sayap hijau tua metalik, memantulkan rona biru, ungu, dan keemasan kakinya merah koral, dan matanya kuning emas. Carpophaga concina, begitu kunamakan. Binatang berkaki empat, menurut penduduk asli, hanya ada dua jenis: babi hutan dan kuskus. Tapi tak satu pun kutemukan selama perburuan. Segera setelah sepasang perahu - yang kami tukar dengan senapan, gong, sarung, ikat kepala, kapak, piring, tembakau, dan arak - siap pakai, kami meneruskan perjalanan. * * Tahun 1857 memasuki hari kedelapan ketika kami menjejakkan kaki di Dobo, desa terpencil di Pulau Wamar. Daerah itu berkembang menjadi pusat perdagangan di Kepulauan Aru karena pelabuhannya terlindung benteng karang serta aman dari amukan badai musim barat dan musim timur. Hanya enam orang yang menyambut kami di pantai: pelaut Bugis dan saudagar Cina. Sebagian besar rumah juga masih kosong. Malah biliknya bolong di sana-sini. Pedagang asli, orang-orang yang berciri Papua, masih di "Belakang Tanah" - sebuah nama untuk menunjuk gugusan pulau kecil di seberang timur pulau utama, Wakam, yang disebut "Tanah Besar". Hutan di sekitar Dobo rimbun. Hanya ada satu jalan setapak, yang becek seperti rawa, dengan pohon tumbang menghembalang. Binatang melata, semacam kadal, lari serabutan ketika aku melintas. Kumbang dan kepik bermunculan aneka rupa, berwarna-warni bak permata. Dan ketika kudapatkan seekor kupu raksasa, salah satu jenis terbesar di dunia dengan rentang sayap sampai tujuh inci - aku yakin bahwa setidaknya di Dobo ini aku boleh merasa puas pada hasil kerjaku. Minggu terakhir bulan Januari kegiatan pasar mulai ramai. Banyak yang datang ke rumahku menawarkan dagangan - dan lebih banyak lagi yang datang untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri kehadiranku. Mereka telah mendengar berita "aneh" yang menyebar, bahwa ada orang asing yang datang ke tempat yang begitu jauh bukan untuk berniaga. Dari barang yang ditawarkan, yang kubeli hanya keperluan pangan: kerang, ikan, atau kadang penyu dan sayuran. Alat penukar yang mereka inginkan hanya empat macam: tembakau, pisau, sagu, atau kepeng tembaga Belanda. Kalau aku tidak punya, ikan akan lari ke tetangga sebelah. Dan aku terpaksa makan tanpa lauk. Sekitar pertengahan Februari datang utusan gubernur Ambon. Ternyata, surat yang kukirim sebelum berangkat diterimanya dengan baik. Sebuah perahu yang biasanya digunakan Orang Kaya, tetua masyarakat Aru, dikirim untuk mengantar perjalananku ke pedalaman. Tetapi saat itu keadaan sedang rawan. Orang pedalaman selalu siaga perang sejak beberapa desa diserbu dan dibakar perompak. Beberapa orang telah terbunuh, perempuan dan anak-anak diculik, konon untuk dijual sebagai budak. Di jalan, kami bertemu dengan perahu kecil milik Herr Warzbergens, kapten kapal yang membawaku dari Makassar. Enam hari sebelumnya, sepulang dari "Belakang Tanah", perahu itu dibajak. Semua barang digondol, kecuali sebuah peti penuh kulit lokan. Terlalu berat, mungkin. Waktu diserang, awak kapal sempat lari, lalu mengintip dari balik semak di tepi sungai. Dan tatkala para perompak lengah, dengan berenang mengendap-endap, mereka menyerang perahu pembajak yang paling belakang. Satu orang tewas dibacok, dan dua yang terluka ditangkap. Menurut pengakuan, mereka dari Sulu, dan beberapa di antaranya orang Bugis. Seminggu kemudian, juga atas petunjuk perompak yang tertawan, sarang komplotan bisa ditemukan. Dalam penyerbuan, tujuh anggota gerombolan terbunuh, tiga dipenjara, sedangkan sisanya - sekitar empat orang - merat entah ke mana. Sekarang keadaan kembali aman, dan orang bebas melintas sungai - yang asin dan berkarang, sehingga aku sempat heran pada mulanya. Setelah kulayari sepanjang hampir 50 mil sampai ke ujung sebelah sana, baru aku mengerti: sungai yang disebutkan penduduk asli itu sebenarnya sebuah selat - yang sangat sempit, hanya sekitar seperempat mil lebarnya. "Sungai" semacam itu masih ada dua buah lagi, satu di bagian tengah dan yang lain di sebelah selatan kepulauan. Pertengahan Maret kami sampai ke pedalaman. Setelah menurunkan segala perlengkapan, kami mencari sebuah pondok untuh disewa. Dengan bayaran sebilah parang, kami bisa menempati sebuah pojok rumah selama seminggu. Kemudian, melalui Orang Kaya sebagai penerjemah aku minta dicarikan seorang pemburu cenderawasih Tempat tinggalnya agak di tepi hutan. Pemburu berperawakan keci dengan kulit legam itu, ketika kutanya kesediaannya, mengak dapat menjamin hasil buruanny. tidak akan cacat. "Tidak akan ada darah atau koyakan luka," katanya sesumbar. "Karena itu, bayarannya harus tinggi, segenggam penuh tembakau dan pisau." Senjatanya ternyata bukan sepucuk senapan. Mereka berburu dengan panah yang ujungnya tumpul berpentol sebesar kelereng. Burung yang kena akan mati hanya karena hentakannya yang keras dan tiba-tiba. Memang, tidak akan ada darah atau koyakan. Cukup banyak jenis cenderawasih yang dapat kukumpulkan: burung raja, cenderawasih merah, ada lagi yang berekor sangat panjang, berekor seperti dua belas untai kawat halus, berjambul besar, atau juga yang punya setengah lusin "antena" di kepalanya. Selain cenderawasih, aku mendapat juga kakaktua hitam, si cerewet pemakan buah kenari. Tanggal 28 Maret 1857. Orang Kaya, tetua pedalaman yang ditugasi mengawalku, terserang demam parah. Ia membujukku untuk pulang. Untung, ada berita bahwa "Komisi" dari Ambon akan meninjau, sehingga lelaki itu setuju untuk meneruskan perjalanan ke Wanumbai. Rupanya, dia khawatir juga kalau pakaian yang kukirim sebagai uang muka kuminta kembali melalui pengaduan ke "Komisi". Daerah yang kudatangi sekarang agak jauh merasuk ke jantung pulau. Dan semakin jauh ke dalam, semakin banyak kulihat orang terkena penyakit kulit kronis. Tentu saja, karena makanannya sama sekali tak terjaga, sedangkan di dekat pantai orang tiap hari bisa makan ikan. Di pedalaman inilah pertama kali aku melihat kuskus, binatang kaki empat yang disebut-sebut orang di Kai. Binatang pemanjat pohon yang tertangkap mati dalam perburuan itu bertungkai pendek. Persis anak domba dengan bulu tebal putih, hanya saja kakinya berjari seperti kaki kera, dan cakarnya besar. Gemuk dan berekor panjang dan kuat. Aku bermaksud menukarnya dengan segebung tembakau atau pisau, tetapi si empunya, yang juga tuan rumahku, menjawab pendek, "Itu akan dipotong untuk lauk." Baru setelah kubujuk dengan gigih, lelaki tinggi kurus itu mau menyerahkan hasil buruannya untuk kukuliti, dengan catatan dagingnya harus diserahkan semua. Dia pun menunggui selama daging berharga itu berada di tanganku. Para tetangga juga berkumpul mengerumun. Setelah empat jam berkutat dengan pisau, bisa juga aku menyelesaikan pekerjaan rumit itu. Hasilnya kusimpan di tempat yang paling aman. Saat aku membuka kotak, orang-orang melihat isinya. Mereka meleletkan lidahnya ketika mendapatkan macammacam satwa yang telah kuawetkan itu tampak seperti aslinya di alam bebas. Lalu dengan berebut mereka bertanya segala macam: namaku, kampung halaman, pekerjaan, dan tetek bengek yang remeh. Kujawab, aku berasal dari negeri jauh, bernama England. Tetapi tak seorang pun dapat menirukan ucapanku, dan karenanya tak seorang pun mau percaya. "Kampungku Wanumbai, dan setiap orang bisa mengucapkannya. Seumur hidupku, yang sudah puluhan musim ini, belum pernah aku mendengar nama tempat yang kau sebutkan," demikian kata salah seorang yang paling tua. "Anglang," gumamnya, "Ah, itu mungkin namamu sendiri. Ya, pasti, tidak akan salah." Semua bertepuk girang menyaksikan kecerdikan tetua mereka. "Dan pekerjaanmu?" sambungnya. "Binatang yang kau dapatkan itu akan kau hidupkan kembali, kelak di kapal, dalam perjalanan ulang." Suara tepuk makin riuh, malah diseling suit dan acungan jempol. Aku mencoba memberi alasan: kalau binatang itu bisa kuhidupkan, dengan apa aku memberi mereka makan selama dalam perjalanan? Tetapi mereka sudah yakin, tidak bisa dibantah. Bukankah satwa hidup lebih mahal? Aku, begitu kata mereka, akan untung besar. Setelah kupikir bolak-balik, aku pun mengakui dalam hati. Ya, apa bedanya. Aku memang ingin "menghidupkan" satwa-satwa eksotis itu. * * * Sekitar pertengahan Juli 1857, tepatnya tanggal sebelas, kami tiba kembali di Makassar. Kujabat seluruh awak kapal yang telah membuktikan keperkasaan mereka, menentang ombak dengan dada terbuka dan ikat kepala berkibar-kibar. Sebuah ekspedisi yang berhasil. Dan sukses yang kuperoleh di Aru itu membuatku tak jenak untuk berpangku tangan lebih lama di Makassar. Aku ingin segera meneliti pulau-pulau lain di kawasan Maluku. Dan perjalanan kali ini kulakukan dengan kapal uap milik maskapai Belanda. Menuju Ambon, kapal mula-mula singgah di Kupang, sebuah kota kecil di bagian barat Pulau Timor, dan mengambil istirahat satu hari. Kapal menyusuri Selat Wetar, melewati pantai pulau-pulau gersang bergunung api: Kambing, Wetar, Romang. Dua hari kemudian baru lego jangkar di Banda, gugusan pulau-pulau terpencil yang dikelilingi laut bening transparan, sehingga tampak jelas tamasya di kedalaman sana: koral hidup yang menari gemulai, ditingkah ribuan ikan warnawarni yang berkejaran kian kemari. Menyusuri pantai berpasir vulkanik, kemudian mendaki jalan setapak, akhirnya kami sampai ke daerah permukiman, sebuah tempat di ketinggian. Pemandangan lepas tak terhalang, sehingga tampak pulau-pulau lain. Salah satunya berbentuk kerucut, muncul begitu saja dari permukaan laut. Warnanya yang cokelat gundul dengan bagian puncaknya yang keputihan dan selalu mengepulkan asap belerang tampak kontras dengan keadaan sekelilingnya. Sedangkan pulau utama, yang terbesar, berwarna hijau cerah dan berbentuk tapal kuda. Aku punya dugaan, dahulunya Kepulauan Banda pernah menjadi satu, membentuk pulau besar bersama Seram. Kemudian, karena gempa bumi dan letusan gunung dahsyat, berubah jadi sempalan-sempalan kecil yang agak terpencil dari induknya. Inilah pulau-pulau kecil yang punya arti besar bagi pemerintah Belanda, penghasil terbesar biji pala dunia. Karena itu, Belanda menjaganya dengan hati-hati. Dan untuk mempermudah pengawasan atas monopoli mereka terhadap pala, kebun-kebun pala di luar Banda mereka hancurkan secara paksa. * * * Setelah 24 jam pelayaran dari Banda - masih dalam bulan Desember 1857 - kami sampai ke pelabuhan tujuan: Ambon. Salah satu kota permukiman tertua bagi orang Eropa di belahan timur ini terletak di sebuah teluk sempit yang memisahkan dua semenanjung. Lebuh-lebuhnya lurus, berpagar semak bunga, jajaran palem, dan pohonan buah. Di latar belakang berbaris tegak bukit dan gemunung - tidak ada yang berapi, setelah yang terakhir meletus pada 1820. Mencari sampan sewaan untuk perjalanan ke pedalaman adalah kesulitan pertama yang harus kuatasi. Penduduk asli tampak begitu santai, sehingga lebih tepat dibilang malas. Sangat malas. Tetapi akhirnya semua beres, dan aku merencanakan tinggal tiga minggu di bagian tengah-utara pulau daerah yang baru dibuka, bekas hutan rotan yang kemudian dijadikan kebun cokelat. Pondok yang disediakan buatku berbentuk panggung dengan lebih-kurang lima kaki dari tanah. Berdinding gedek, beratap rumbia. Di bagian depan terdapat beranda terbuka yang dilengkapi dua kursi dan sebuah lincak bambu. Tempat yang nyaman untuk membaca, sambil sesekali menangkap serangga yang mengerumun karena tertarik oleh sorot lampu. Suatu malam, sekitar pukul sembilan, aku mendengar suara aneh bergemerisik di atap, dan sebentar kemudian senyap. Aku yakin, itu bukan hantu. Kecurigaanku pun pupus, dan dengan tenang kurebahkan badanku yang telah penat berburu seharian. Aku tidur nyenyak, seperti biasanya, di kamar satu-satunya di belakang beranda. Esoknya, pagi-pagi sekali, juga bangun seperti . biasa, lalu berburu. Bunyi-bunyi semalam itu hilang dari ingatan. Siang, sebelum makan, aku ke kamar untuk leyeh-leyeh sejenak. Kurebahkan tubuh hati-hati di ranjangyang sempit itu, kulambungkan angan-angan sambil melayangkan pandang ke langit-langit. Tampak olehku rusuk kayu yang kusam, bilah bambu yang rapuh, dan cokelat rumbia. Lalu, di antara bubungan dan sambungan atap, ada bagian berwarna kuning dan hitam, bertotol-totol. Kupikir, itu pasti hiasan dari batok penyu . . . tapi, kok, ditaruh di tempat yang demikian tersembuhyi? Kutelusuri lagi, kali ini dengan mata agak kusipitkan, eh . . . bentuknya agak bergulung-gulung, dan . . . uf . . . itu matanya, mencorong dingin di dekat moncong. Ular, ular phyton ! Jadi, ini yang bikin suara semalam? Wah. Dan aku telah tidur semalaman dengan tenangnya, dengan monster yang bergelantungan satu yard di atas kepalaku? Astaga. Setelah menenangkan diri, aku mengendap-endap bangun dan beringsut keluar. Kepada dua pembantuku yang sedang menguliti burung kuceritakan apayang kulihat di wuwungan kamar. Segera, setelah mendengar kata "ular", mereka terlonjak lalu terbirit-birit menuruni tangga beranda, berlari ke halaman seraya menyeru agar aku segera lari. Melihat ketakutan para pembantuku yang amat sangat, aku segera memutuskan untuk minta bantuan orang-orang yang sedang bekerja di kebun. Segera saja setengah lusin dari mereka datang. Setelah berunding sebentar, salah seorang maju ke depan. Pemuda kekar yang berasal dari Buton pulau yang terkenal banyak ularnya itu - mengambil sebatang rotan sebesar kelingking yang dibentuknya menjadi semacam laso. Lalu, dengan hati-hati, cincin laso yang terbuat dari rotan itu dikalungkannya ke leher ular. Dalam usaha melepaskan diri, binatang itu secara perlahan-lahan mengendurkan libatannya pada bubungan, sehingga ketika tali pegangan ditarik, mata laso istimewa itu sampai ke badan. Dan dengan sentakan keras, sang ular bisa dibanting ke lantai kamar yang terbuat dari bambu. Tapi dengan gesit ia lari ke beranda dan melibat tiang beranda untuk bertahan dari tarikan selanjutnya. Si orang Buton tidak kurang akal: buntut ular dipegang, ditarik sampai terlepas libatannya, lalu sambil berlari dihempaskan ke pohon. Tetapi, karena tergesa-gesa, ular terlepas dan lari bersembunyi di bawah sebatang pohon tumbang. Untung, masih bisa ditangkap lagi ekornya, dan dihempaskan berkali-kali ke pohon besar sampai mati. Setelah binatang itu benar-benar tak berkutik, aku ukur panjangnya: dua belas kaki. Jadi, lebih dari tiga setengah meter cukup besar untuk menelan seekor anjing atau kanak-kanak. * * * Awal Januari 1858, setelah puas menjelajahi pedalaman Ambon dan menikmati "hutan" satwa di kedalaman teluk, aku meneruskan perjalanan. Membelah Kepulauan Maluku ke arah utara, aku akhirnya - tanggal delapan - sampai ke Ternate, sebuah pulau kecil yang merupakan deretan keempat dari jajaran gunung berapi di pesisir barat Halmahera. Di seberangnya, sedikit lebih dekat dengan pulau besar Halmahera, tampak kembarannya: Tidore - dengan kerucut raksasa setinggi lebih dari 5.500 kaki, yang menyimpan api di perutnya. Melalui jasa seorang teman aku berhasil mendapatkan rumah sewaan - sebuah rumah besar berdinding batu dengan tujuh ruangan, termasuk beranda depan dan belakang. Di sekelilingnya terhampar halaman luas dengan semak bunga dan kebun bebuahan. Sudah agak bobrok, memang, tetapi bisa diperbaiki. Kupikir aku memang butuh tempat yang agak permanen untuk melepas lelah, mengembalikan kesegaran setelah pelayaran berat, dan juga tempat tenang untuk merencanakan penjelajahan berikutnya. Dan di Ternate, pulau rempah-rempah yang selanjutnya kujadikan semacam basis selama penelitianku di Maluku, rasanya tidak ada tempat yang lebih strategis letaknya dibanding rumah yang kupilih . Jarak rumah itu hanya lima menit perjalanan kaki dari pasar ataupun pantai. Di seberang, antara rumahku dan gunung yang penuh hutan buah, tidak ada lagi rumah orang Eropa. Dan ini sangat menyenangkan karena - paling tidak selang tiga empat bulan, yaitu setelah perjalanan yang penuh tantangan - aku bisa memuaskan rasa ingin tahuku tentang penduduk asli yang kukira masih setengah beradab itu. Juga bisa bebas menikmati buah-buah tropis yang dijajakan oleh lelaki, perempuan, dan anak-anak: mangga, durian, atau langsat. Pada bulan Maret, sekembalinya dari Jailolo, aku merencanakan pergi ke Papua. Kami, aku diiring empat orang pembatu yang dipimpin Ali, berangkat tanggal 25, naik sekunar Hester Helena, milik seorang kawan. Dalam waktu tiga hari, ditayang angin tenang, kami mencapai Gani, sebuah desa besar di ujung selatan Halmahera. Istirahat satu hari, kami berangkat lagi agak pagi setelah membeli berbagai perlengkapan, terutama bahan makanan yang tahan lama. Dan kira-kira seminggu kemudian, sekunar mulai memasuki Selat Dampier. Di perairan yang tenang ini berseliweran perahu-perahu penduduk asli. Biasanya, perahu berbentuk kano dengan dinding rendah itu berasal dari Waigeo atau Batantan, pulau-pulau di kanan-kiri Selat. Yang dibawa kebanyakan hasil bumi atau barang kerajinan yang ditawarkan dengan bernafsu, dengan harga sampai sepuluh kali lipat nilai pasaran. Aku membeli burung-burungan dari kulit lokan dan sebuah kotak dari semacam pandan yang dianyam halus. Melintasi selat itu, kami akhirnya sampai ke laut bebas, Samudra Pasifik. Dan setelah menyusur bagian utara "Kepala Burung", 10 April 1858, sekunar lego jangkar di pelabuhan Dore, Manokwari. Lembayung senja yang merah tembaga memantulkan bayang-bayang suram ke atap-atap rumah yang seluruhnya dibangun di air. Rumah-rumah yang juga suram dengan hiasan tengkorak manusia pada dinding-dindingnya. Konon, itu tengkorak orangorang Arfak, musuh mereka, yang kadang-kadang menyerang dari balik gunung di bagian tengah pulau. Beruntung, selama di Papua aku diterima baik oleh semua pihak. Oleh orang gunung dari suku Arfak, yang rata-rata pendek, legam, dan berambut keriting macam bulu domba, yang sudah biasa menanam tembakau sendiri dan mengisapnya melalui pipa yang terbuat dari kayu utuh yang dilubangi. Juga oleh orang pantai di perairan Dore, yang bertubuh lebih tinggi, agak cokelat, dan berambut keriting dengan model yang lain, sehingga lebih mudah disisiri walaupun harus menggunakan sisir khusus mirip garpu yang terbuat dari bambu. Sebenarnya agak mengherankan: orang Dore lebih mirip penduduk Aru daripada tetangganya yang hidup di pegunungan setinggi 10.000 kaki, orang Arfak. Bahkan lebih mirip dengan keturunan Negro Indian di Amerika Selatan. Mungkinkah mereka jugaras campuran? Walaupun kedua suku yang bermusuhan itu menerima dengan baik kedatangan kami, ada juga yang menganggap kami musuh: semut dan lalat hijau. Beribu-ribu semut membanjiri segala tempat, lalu dengan beraninya menggerayang dan menggelitik, menyelusup ke balik baju dan rambut, dan menggigit tanpa memberi tanda terlebih dahulu. Sementara itu, lalat, yang berperut botol, dan juga beribu-ribu itu, terbang berputar-putar, mendengung-dengung, lalu hinggap seenaknya di muka dan badan. Banyaknya serangga pengganggu membuat istirahat jadi tak nyaman. Ditambah dengan musim penghujan yang berkepanjangan, secara tak langsung membuat seluruh anggota rombongan sakit. Jumat, salah seorang pembantuku, tak tertolong oleh obat yang persediaannya memang terbatas. Pemuda Buton yang usianya kira-kira baru 18 tahun itu mengembuskan napas terakhir hanya tiga hari sebelum kami meninggalkan Dore tanggal 29 Juli 1858 dan dikuburkan sebagai pengikut Muhammad, hanya dengan secarik kafan melekat di tubuhnya yang belum menyusut kurus itu. * * * Tak lama setelah penjelajahan Dore, aku melakukan perjalanan lagi. Kali ini dekat saja- pulau-pulau Kayoa, Bacan, dan sekitarnya. Perjalanan ke pulau-pulau selatan Ternate ini kulakukan setelah penjelajahanku yang sia-sia ke bagian utara Halmahera. Agak sial, memang, karena dari Sehu dan Jailolo tak banyak spesimen yang bisa kukumpulkan. Sehu, dan terutama Jailolo, pusat Kerajaan Ternate pada 80 tahun berselang, nyaris gundul. Hanya ada semak-semak rendah seperti yang melingkupi bekas istana yang kini tinggal onggokan puing. Dengan sampan dayung kami berangkat sore hari, sehingga ketika malam turun pantai Tidore masih beberapa mil di depan kami - sedangkan di belakang, beledu hitam pelan-pelan tergelar melatarbelakangi bukit-bukit Ternate. Lalu, bersamaan dengan munculnya bintang senja, Venus, tampak cahaya gemerlapan di seantero bagian perbukitan itu. "Kebakaran!" Lantas saja pikiran itu menyergap benak kami. Tak berkedip kami semua mengawasi. Terkesima. Agak lama kemudian baru segalanya jelas. Sebuah bintang, lebih terang dari Venus, melayang, merayap mendaki kaki langit - meninggalkan seleret sinar kemilau yang menyembur di belakangnya, agak bengkok ke bawah dan membentuk sudut sekitar 30 derajat dengan cakrawala. Sebuah komet. Setelah sehari penuh di Tidore, perjalanan dilanjutkan. Mampir sebentar di Mare, menunggu hari terang, kemudian Moti dengan gugus karangnya yang berbahaya, lalu Makian, dan akhirnya Kayoa. Di Kayoa, dengan bantuan anak buah Kapala, tetua yang disegani di sana, kami bisa mengumpulkan cukup banyak spesimen walau cuma tinggal selama lima hari. Tanggal 19 Oktober perjalanan diteruskan, dan dua hari kemudian kami sudah bisa menghadap sultan Bacan untuk mengurus izin tinggal dan berburu. Pada hari kedua di pulau yang penduduknya mirip orang Tahiti itu, Ali, orangku yang paling setia, mendapatkan burung aneh. "Lihat, Tuan, burung macam apa itu," serunya. Mula-mula aku bingung melihat dadanya yang berbulu hijau mengkilap, membentuk dua lajur garis sejajar sepanjang tubuh. Yang lebih aneh adalah dua helai bulu putih panjang yang menjumbai tegak dari kedua belah bahunya. "Penemuan besar," pikirku. Bagi seorang naturalis, tidak ada saat yang lebih mendebarkan daripada detik-detik kala berhadapan dengan spesies yang sama sekali belum dikenal. Sejenis cenderawasih yang sama sekali baru, ternyata. Dan ketika kubawa ke Museum British di kemudian hari, oleh Mr. G.R. Gray ia dinamakan Semioptera wallacei, atau Sayap Standar Wallace. * * * Sekembalinya dari Bacan, aku pergi ke Banda dan Kupang, Timor, baru kemudian ke Manado. Tiba di daerah paling utara Sulawesi itu, Juni 1859, aku langsung menuju ke rumah seorang kaan sebangsa, Mr. Tower. Orang-orang Minahasa, walaupun pendek seperti orang Melayu lainnya, kebanyakan berkulit kuning, berambut hitam lurus, dan punya muka tidak terlampau lebar. Rata-rata pria dan wanitanya tampan serta cantik. Busana yang mereka pakai pun cukup bagus. Padahal, demikian menurut seorang misionaris yang belakangan kutemui di Tomohon, tidak lebih dari 40 tahun yang lalu mereka masih biadab, katanya. Masyarakat terpecah-pecah, tidak mengenal hukum selain "jalan tombak dan parang". Kalau seorang kepala suku mati harus ada paling kurang dua batok kepala segar untuk sesajen. E)an kalau tidak ada musuh yang bisa ditangkap, kepala budaklah yang jadi pengganti. Zaman "iahiliah" itu baru mulai surut tahun 1822, ketika mulai diperkenalkan tanaman kopi. Benih dan instruktor dikirim dari Jawa. Kepala kampung, yang dikenal dengan sebutan "mayor", mendapat bagian 5% dari produksi. Dan segera saja kulit kayu, yang biasanya digunakan sebagai penutup tubuh, diganti dengan cita. Kebiasaan kanibal pun lenyap bersama masuknya agama Kristen ke daerah itu dan datangnya zaman cukup pangan, katanya. Cukup banyak daerah yang sempat kukunjungi selama di Minahasa: Likupang dan Batuputih di pantai utara kota tua Tomohon, Tondano lalu menyeberang danau dan terus ke selatan, Ratahan, sampai dekat Kota Belang - melintasi daerah yang memiliki kubangan lumpur panas di sekitar kaki Gunung Soputan. Empang lumpur yang kulihat cukup luas. Serupa kawah kecil, menggelegak dan beserdawa, mengeluarkan gas dan uap air yang terperangkap di perutnya. Aku harus memalingkan kepala bila kebetulan angin bertiup ke arahku, untuk menghindari uap belerang yang, selain baunya menusuk, juga memedihkan mata. "Kawah" mini di dataran agak rendah begini ternyata tidak pernah lagi kutemukan selama penjelajahanku. Jadi, merupakan pemandangan yang agak langka juga, apalagi mengingat kepadatan gunung berapi di kawasan itu. Saat itu aku belum bisa memutuskan apakah Sulawesi kumasukkan ke dalam golongan Australia atau Asia - karena walaupun banyak binatang berkantung, misalnya kuskus, tidak kurang pula ayam alas di hutan-hutan dan monyet tak berekor yang khas Asia. Ada juga beberapa satwa aneh yang sebelumnya tak pernah kujumpai di tempat lain di Archipelago, yaitu anoa, yang mereka sebut sebagai sapi utan walau menurut aku lebih mirip antelop, sebangsa rusa. Bentuk badannya yang pendek kekar juga menyerupai kerbau, sehingga mungkin ada jugayang memberi nama "kerbau kate". Tidak kalah anehnya adalah binatang semacam babi hutan dengan dua pasang taring yang menonjol menembus bibir atas. Babi rusa namanya. Pernah, dalam suatu perburuan di tepi pantai, aku menjumpai sebangsa burung. Selagi aku mengintip, mengendap-endap di balik semak, tiba-tiba datang sekawanan unggas, bergerombol, berpasang-pasangan. Begitu sampai di sepetak pasir yang hangat dan terlindung, mereka berhenti. Lalu langsung saja pasangan yang agak kecil, tentunya si betina, mengais-ngaiskan kakinya yang kekar, mengeduk pasir dan menyerakkannya ke belakang tubuh. Sang jantan tampak berjaga-jaga, menengok kiri-kanan sambil terus mengeluarkan suara. Siaga. Setelah cukup dalam, yaitu setelah yang terlihat dari kejauhan hanya kepala unggas yang teranggukangguk, penggalian dihentikan. Tidak lama kemudian si betina melompat ke luar. Huupp. Dan bekas lubang galian ditutup kembali dengan rapi. Temannya yang belasan pasang itu juga melakukan hal yang sama, sehingga tampak seperti upacara penguburan masal. Kudatangi satu per satu bekas lubang yang telah ditinggalkan begitu saja. Kugali. Dan yang kutemukan adalah . . . telur. Telur yang sangat besar dibanding badan unggas yang hanya sebesar ayam. Putih atau agak kemerahan warnanya, dan jumlahnya satu sampai delapan butir per lubang. Unggas bertelur king size ini juga khas Sulawesi. Termasuk marga Megapodius, si kaki besar. Betinanya mampu bertelur sampai delapan butir, dikeluarkan kira-kira sepuluh hari sekali, untuk kemudian ditinggal begitu saja, dierami oleh bunda alam. Anak-anak burung maleo (burung ini memang diancam kepunahan- Red.), begitu penduduk asli menamakannya, harus memecah kulit telur dengan paruhnya sendiri yang runcing, dan keluar menyingkap pasiryang menimbuni telur itu, untuk pergi ke alam bebas. Tidak ada waktu buat belajar mempertahankan hidup. Induknya pun, nun di sana, tidak pernah ambil peduli atau mungkin juga sudah tertangkap oleh manusia yang menyukai rasa dagingnya yang seperti ayam alas. Piyik berbulu beledu itu harus dapat melawan kerasnya hukum alam, menghindarkan diri dari predator yang tak kenal ampun. Atau punah. * * * Setelah mengirimkan awetan telur, awetan maleo dan spesimen Minahasa lain yang kumasukkan k dalam peti besar ke posku di $ingapura, aku berlayar lagi. Kali ini dari Ternate ke Ambon. Dan tanggal 29 Oktober 1859, pukul tiga dinihari, kutinggalkan Ambon untuk memulai penjelajahan ke Seram. Mulanya perjalanan agak tersendat - bahkan sempat tertunda karena belum semua awak kaoal terkumpul. Van der Beck, kapten, ubek-ubekanmencari sepanjang hari. Tetapi sampai tengah malam masih ada dua orang yang belum ditemukan. Menjelang berangkat, salah satunya bisa dicandak di rumahnya, agak teler karena arak. Yang satu lagi malah melarikan diri, melintas teluk. Aku tak habis pikir menghadapi orang-orang yang demikian pemalas. Tetapi aku punya dugaan: agama mereka, yang sama dengan kami, boleh jadi merupakan salah satu penyebab: mereka sudah merasa setingkat buntut-buntutnya, enggan menerima perintah kami. Cuaca tenang selama perjalanan, sehingga pukul tiga siang kami sudah bisa menginjakkan kaki di perkebunan cokelat milik sang kapten. Sepi - yang terdengar hanya debur ombak pantai selatan Seram. Selain cokelat, ditanam juga tembakau - sedikit. Beberapa lajur sudah dipetik. Dan di sana-sini, daunnya yang hijau kecokelatan dijemur di keteduhan pohon pelindung. Sedikit lembap dan menuarkan aroma yang agak menusuk. Sayang sekali, di tempat yang menyenangkan itu tidak banyak spesimen yang bisa kuambil. Satwa yang ada hampir sama saja dengan yang di Ambon, sehingga aku berpikir lebih baik berburu di tempat lain. Tetapi agak berat juga kalau tempat itu - Hotasua, kalau tak salah harus cepat-cepat ditinggalkan. Bukan karena apa: tuan rumahku adalah orang paling menarik yang pernah kutemui pada perjalanan menjelajahi Archipelago. Diumpamakan burung, dia seekor fleming. Dan seperti penduduk asli lainnya, fleming kita ini punya bakat bahasa yang hebat. Sewaktu muda, katanya, dia pernah dikirim kelilingdunia sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda ke Mediterania, St. Petersburg, dan beberapa bagian Eropa, termasuk beberapa minggu di London. Karena itu, ujarnya lebih lanjut, dia fasih beberapa bahasa asing: Belanda dan Inggris, di samping bahasa Melayu dan Jawa, yang bukan merupakan bahasa ibu sehingga tidak banyak anggota sukunya yang bisa. Aku mulanya tak percaya tetapi setelah kuuji, orang yang mengagumkan itu ternyata bahkan paham bahasa Jerman, Italia, Yunani modern, Turki, Rusia, juga omongan sehari-hari Ibrani dan Latin. Malahan, hobinya adalah menyanyikan lagu mabuk orang Yahudi. Walaupun kutunda-tunda, lambat atau cepat perpisahan akan melambaikan tangan. Surat yang kutulis untuk residen Saparua sudah berjawab. Perahu yang kuminta pun sudah dikirim. Maka, pada suatu petang, aku mengucapkan adieu kepada sobatku dan Kapten Van der Beck yang mengantar sampai ke pelabuhan. Selama dua hari dalam perjalanan laut yang membosankan, bayangan mereka masih saja tergambar di benak. Tetapi pada hari ketiga, di saat labuh sauh di suatu desa besar di tepi Teluk Elputih, segera saja aku bisa mengalihkan segala perhatian kepada penduduk asli yang tampak sangar. Orang-orang ini berambut keriting, dengan kedua daun telinga ditembus anting-anting yang terbuat dari sepotong kayu sebesar jari tangan dengan pangkal berwarna merah. Di kedua belah tangan melingkar dua pasang gelang: sepasang di lengan, yang lain di pergelangan, serta kalung bebijian yang menjuntai di leher. Begitu meriah dandanannya, macam penjaja perhiasan. Dalam gerombolan yang tak teratur, mereka mengerumuni kapal, masing-masing bicara dengan suara keras. Lalu seorang lelaki, dengan dandanan yang lebih berselera, menerobos kerumunan mereka dan menyambut kami. Aku dibawa ke sebuah rumah mungil: penginapan kami, disediakan atas jasa baik Residen. Beberapa hari di desa pantai itu aku hanya berhasil mengumpulkan beberapa spesimen. Itu pun cuma yang biasa-biasa, tidak ada yang istimewa. Maka, tanggal 18 Desember, aku memutuskan merambah pedalaman. Kami, aku ditemani empat orang pemikul barang, berangkat subuh. Terus saja berjalan beberapa hari, menyeruak, menerobos semak, menyeberang sungai yang deras dan paya-paya. Tempat kemah temanku kutemukan pada hari keempat, tetapi tidak juga kudapatkan spesimen kupu seperti yang dipamerkannya. Yang kuperoleh ketika kembali hanya radang, karena gigitan serangga yang luar biasa banyaknya, dan demam yang memaksaku balik ke Ambon untuk istirahat hampir dua bulan. Tanggal 24 Februari 1860, begitu bangun dari sakit, aku mulai lagi. Mula-mula ke Amahai, lalu terus ke timur: Talati dan pulau-pulau kecil di Seram Laut. Berbeda dengan daerah Elputih yang Kristen dan mempunyai banyak sekolah, Seram Timur, walupun juga daerah pesisir, lebih menyerupai pedalaman yang asli dan kebanyakan penduduknya Muslim. Di Talati aku diterima secara pribadi oleh Raja. Di ajak berperahu keliling teluk dengan kapal pesiar yang didayung oleh tak kurang dari 60 orang yang duduk berbaris ke belakang. Beberapa pendayung mengibas-ngibaskan bendera, memukul ketipung, dan bernyanyi untuk menambah semangat. Tanggal 6 Maret, setelah tiga hari yang penuh pesta, aku meninggalkan Talati yang padat penduduk dan kaya tanaman sagu, meniti ombak yang bergulung-gulung. Karena mampir di beberapa tempat, sekitar sebulan kemudian baru kami sampai ke ujungtimurSeram. Sebuah miniatur Venesia di negeri timur: pulau-pulau alit di tepian pantai, dikelilingi puluhan rumah panggung yang berserak di laut dangkal. Kami terus melaju ke Manawoka untuk menginap beberapa hari, kemudian ke Gorong yan terletak tepat di hadapan pulau kecil Manawoka. Pertengahan April aku mengadakan perjalanan ke Kepulauan Watubela. Setelah lego jangkar tanggal 18 April, segera saja aku memasuki kampung yang kumuh. Bau tumpahan minyak kelapa yang lama terpanggang matahari mengambang di antara orang-orang yang loyo - karena hanya makan ubi, bungkil kelapa, dan kadang-kadang sagu. Anak kecil berkejar-kejaran, telanjang, mulut mereka penuh ludah merah yang keluar dari bumbu sirih yang terus saja dikunyah. Mereka tidak miskin sebenarnya. Unggas peliharaan berkeliaran di mana-mana, sampai aku pun dibekali banyak telur kalau pergi ke kampungkampung. Orang memakai perhiasan emas, dan di tiap sudut berserakan meriam-meriam kuningan untuk menjaga diri dari serangan pembajak. Banyak di antara orang Watubela yang pernah melakukan perjalanan keagamaan ke tanah Arab (haji - Red.). Dan mereka, biasanya, membawa pulang juga cerita yang jarang kudengar tentang perang Rusia: sangat yakin bahwa negeri itu bukan hanya sudah pasti akan kalah melawan Turki, tetapi juga akan segera diislamkan. Sepulang dari Watubela, 25 April, aku tinggal beberapa lama di Gorong, pulau kecil yang diperintah oleh selusin raja. Aku memesan perahu untuk penjelajahan selanjutnya. Aku pikir akan lebih bebas kalau punya perahu sendiri, walaupun untuk itu aku harus menguras kocek. Etos kerja yang berbeda, itulah penyebab utama. Para pembuat perahu itu, misalnya, merengek minta dibayar di muka. "Di rumah tidak ada lagi yang bisa dimakan," begitu alasan mereka. Kalau tidak kuberi, tidak akan ada yang mau bekerja. Dan setelah perahu hampir jadi, kesulitan yang mereka hidangkan juga makin menjadi. Ada saja alasan minta uang: nyeri kepala, sakit pinggang, paman yang luka dalam perkelahian dan butuh bantuan, takut kelihatan orang karena punya utang, macam-macam. Setelah perahu jadi, masih ada kejadian lain: perkampungan diserang oleh suku liar dari Papua, dan salah satu perahuku dirampasJ Di antara yang mati dalam perlawanan seru adalah anak seorang raja. Maka, cepat diadakan rapat darurat para tetua untuk membahas situasi, sementara perempuanperempuan yang kehilangan suaminya pada bertangisan. Ada yang menggerung-gerung, meronta, bergulung-gulung. * * * Untung saja, suasana duka cepat reda - dan aku bisa memperoleh beberapa tenaga untuk menjalankan perahu pergi ke utara. Tetapi, agar semua tenang, kali ini aku melengkapi perahuku dengan dua pucuk meriam - untuk berjaga-jaga dari serangan perompak yang konon memang banyak dan ganas. Esok paginya, 28 Mei, kami sampai di sebuah pulau kecil yang merupakan salah satu pusat perdagangan Seram - Kilwaru, kalau tak salah. Persinggahan yang ramai. Setiap saat kapal datang dan pergi. Sekunar-sekunar Bali biasanya berlabuh untuk membeli budak, menukarnya dengan beras yang melimpah. Sedangkan perahu Bugis, pinisi, membawa bermacam barang yang biasa ada di bengkel Cina atau bazar orang Keling, bahkan juga peralatan buatan Lancashire dan Massachusetts. Juga kano dari Gorong - mengadakan pelayaran kecil untuk menukar hasil setempat dengan pakaian, kue sagu, dan candu . Meninggalkan Kilwaru, daerah barter segala macam barang itu, aku berlayar menyusur pantai utara Seram, singgah sebentar di Waru, kemudian Wahai. Daerah Seram Timur yang kukunjungi itu adalah pusat produksi sagu yang cukup besar. Dan di situlah aku, untuk pertama kali, dengan jelas bisa mengamati pohon palem yang hati batangnya banyak mengandung pati. Untuk mengambil pati itu, pohon sagu yang telah tumbuh penuh tapi belum berbunga ditebang sedikit di atas tanah, dipapras daunnya, dan dibelah. Bagian dalam batang yang seempuk apel kering digepuk lalu bubuknya yang masih kasar dikumpulkan dalam keranjang, dan dicuci dengan air mengalir dalam alat khusus. Seluruh proses ini, kalau cuaca baik, bisa selesai hanya dalam waktu lima hari. Dan untuk selanjutnya, selama persediaan makanan masih ada, orang bisa santai. Inilah, agaknya, penyebab lain malasnya penduduk asli: lima hari kerja cukup untuk makan setahun. * * * Meninggalkan Seram Timur aku memulai penjelajahan ke Waigeo. Dari Wahai aku ditemani hanya oleh empat orang, sisa anak buahku (yang sebagian besar melarikan diri), naik perahu sewaan berukuran kecil. Angin timur bertiup kencang. Maka, agar arah pelayaran tidak melenceng, kami menyusur ke timur dulu baru kemudian membelok ke utara, melintas selat. "Pokoknya, besok pagi pasti sampai Lelinta," demikian juru mudi tua yang sudah berpengalaman memberi jaminan. Tetapi ternyata angin tambah menggila. Dalam gelap, perahu kami didorong lebih ke barat: ke pulau-pulau kecil di barat laut Misool. Buntutnya, kami harus memakai perahu dayung kecil untuk mencapai pulau itu: angin timur terlalu kencang untuk ditentang layar. Malam hari, pukul sembilan, kami mulai mendayung menentang badai. Mula-mula, ketika berangkat, laut tampak tenang. Walau pelan, perahu bisa beringsut menuju pantai. Tetapi kira-kira dua ratus yard dari tepian pulau, ombak menggelombang melemparkan perahu jauh ke barat, dan daratan tiba-tiba hilang dari pandangan. Begitu tiba-tiba: secangkir kopi panas yang kurindukan seharian, dan kubayangkan sudah menempel di ujung bibir, terempas pecah. Cialat. Akhirnya, dengan lemas kami terpaksa kembali untuk keesokan harinya mencari jalan lagi ke arah utara: Salawati. Dari pulau itulah kami berharap bisa balik ke selatan, sampai ke Misool. Tapi lagi-lagi kami- gagal - dihantam angin timur-menenggara dan terseret ke gugusan pulau kecil bernama Poppa. Semua sudah lelah, dan putus asa, memilih lebih baik beristirahat saja satu dua hari di pulau itu. Tetapi, juga laut yang menggelegak dan berpusar bagai mendidih, serta terumbu karangyang menyeringai sepanjang pantai, tidak memungkinkan pendaratan. Kami malahan hanyut sampai 35 mil menjauhi Poppa, menuju gugusan pulau kecil berbatu-batu . Laut terus saja mengganas. Hanya dengan usaha keras, tepat ketika mentari terbenam kami bRrhasil lego jangkar di ujung selatan pulau, di antara terumbu yang agak dangkal dan terlindung. Memang bukan tempat yang terlalu aman - tetapi lumayan juga untuk sekadar mengaso. Malah kuputuskan agar keesokan harinya kami mencari lagi tempat yang lebih baik untuk memulihkan tenaga, setelah empat hari empat malam bergadang, dikocok gelombang. Sayangnya, aku percaya saja ketika awak kapal meyakinkan bahwa mendayung menuju pulau adalah perkara gampang. Jangkar pun kemudian diangkat. Layar dibuka. Kemudian terjadilah apa yang kukhawatirkan: perahu terlempar, terdorong, terseret arus menjauh, sehingga kami terpaksa buang sauh di tempat yang dalam. Segera saja dua orang awak kuperintahkan berenang ke pulau mencari tali. Tetapi ombak semakin buas, arus menderas, sampai-sampai jangkar kayu besi yang dilabuhkan tidak kuat lagi menahan perahu yang hanyut semakir jauh dan jauh. Melihat perahu yang terseret, dua awak yang telah sampai di darat tampak kebingungan: mereka berlari-lari sambil berteriak-teriak dan melambai-lambai. Tidak berani berenang mengejar, tetapi juga takut tertinggal. Lalu tampak mereka berjongkok agak lama, sebelum akhirnya lari ke hutan. Aku membayangkan: tentunya mereka akan menebang kayu dan membuat rakit untuk menyusul perahu. Maka, aku menembakkan isyarat, agar mereka tidak kehilangan arah. Tapi jawabannya adalah. . . asap yang mengepul dari arah hutan. Aku bingung dan baru di kemudian hari aku tahu: mereka sedang mempersiapkan hidangan istimewa: kerang bakar! Kurang ajar. Saat asap menipis, kami sampai ke tengah antara pulau tempat awak yang terdampar dan pulau di seberangnya. Arus yang masih juga kencang mendorong perahu terus ke arah barat. Tetapi mengingat bahwa satu-satunya cara menyelamatkan teman kami yang tanpa bekal itu adalah mendarat di pulau terdekat, semangat kami lantas saja bangkit sampai, akhirnya, dengan susah payah, bisa juga kami menepi ke sisi pulau yang paling barat. Di pulau kecil berbatu-batu seperti itu rasanya tidak ada harapan untuk mendapatkan air segar padahal persediaan minum sudah menipis. Karena itu, kami sangat bersyukur, setelah dua hari penuh meneliti tiap jengkal tanah yang ada, akhirnya bisa menemukan dua buah lubang tersembunyi yang berisi beberapa galon air. Segera saja kami kuras semuanya, sampai tetes terakhir. Esok harinya, setelah menembak seekor burung sebangsa nuri, yang nantinya kuberi nama Carpophaga tumida, kami angkat jangkar lagi. Segera saja layar terkembang - membawa kami ke arah Waigeo. Dan paginya, sayup-sayup karena agak terhalang pulau-pulau kecil di sekitarnya, pulau di jengger Papua itu mulai menampakkan sosoknya dalam jarak 25 mil. Tetapi karena satu-satunya orang yang paham tentang perairan di situ tertinggal di pulau kecil tadi, perahu kami membentur gosong karang. Untung, tidak apa-apa - hanya memperingatkan kami agar lebih berhati-hati. Selepas tengah hari, kami menemukan terumbu karang dan berlayar menyusurinya. Angin dan arus masih terlampau kencang rupanya, sehingga kami terdorong lagi ke laut dalam, sampai akhirnya malam turun. Dalam gelap, keadaan lebih konyol: tidak tahu arah dan tidak tahu yang harus diperbuat. Satu-satunya yang dapat kami perhitungkan hanyalah kemungkinan terjadinya tabrak karang maka, layar pun kami gulung, dan perahu kami biarkan ikut arus, agar kalau membentur karang tidak terlalu keras. Tetapi, setelah terantuk berkali-kali, secara ajaib kami terbawa ke pantai sebuah pulau kecil - dan tanggal 28 Juni sampai di pesisir sepi Pulau Waigeo. Di pulau asing itu pun kami masih terombangambing - terbawa arus tak tentu tujuan tersesat ke teluk sempit hutan bakau, sebelum akhirnya menemukan kampung kecil yang hanya terdiri dari tujuh rumah panggung, agak jauh dari daratan. Dan inilah yang melegakan: Orang Kaya, si tetua kampung yang kebetulan bisa berbahasa Melayu itu mengizinkan dua anak buahnya mengantarkan aku ke Muka, sebuah kampung yang agak besar. Dan esoknya, yang juga berarti hari keempat puluh sejak keberangkatan kami dari Gorong, sampailah kami ke tujuan. Tetapi aku belum bisa tidur nyenyak: nasib dua orang awakku masih belum ketahuan, nun di pulau kosong sana. Aku mengupah tiga orang penduduk asli untuk mencari mereka. Dan aku tambah tak enak ketika regu pencari pulang dengan tangan hampa meski akhirnya mereka, dalam keadaan pucat dan kurang makan, dapat ditolong juga. Masa yang menegangkan berakhir sudah. Petualanganku kali ini secara ilmiah memang kurang berhasil tetapi, paling tidak, semua anggota rombongan bisa pulang dengan selamat sejahtera. * * * Itulah perjalanan penting Wallace terakhir. Setelah itu, tak banyak lagi hal baru yang hebat yang ditemukannya. Ia memang masih mengalami safari penuh mara bahaya ketika kembali ke Ternate dari Waigeo. Juga masih sempat mengunjungi Dilli, Timor, dan Buru. Tetapi semuanya tak menampilkan sesuatu yang luar biasa. Pada Juli 1861, berangkatlah Wallace meninggalkan Ternate, posnya di Maluku. Melalui Manado, Makassar, Surabaya, Jakarta, Palembang - dan masih sempat masuk ke pedalaman Jawa dan Sumatera untuk melakukan penelitian - akhirnya ia sampai di Singapura. Dari bandar yang juga pusat armada Inggris di Timur Jauh itu, akhirnya Wallace mengucapkan selamat tinggal kepada negeri tropis yang telah diakrabinya selama delapan tahun. Di bagasinya tersimpan rapi 125 ribu lebih spesimen yang diperolehnya dengan taruhan nyawa, dan di hatinya terpuruk sejuta kesan tentang penduduk Kepulauan Indonesia - "Malay Archipelago"--yang menurut ukurannya masih sangat terbelakang, "egoistis", dan "haus darah" - orang-orang yang hidup "di luar jangkauan hukum, tanpa polisi, dan tak kenal pengadilan," katanya. Tetapi, menurut dia sendiri, adalah keanehan dan sekaligus keluarbiasaan: para penduduk itu tidak saling gorok, juga pantang saling rampok, dan masyarakatnya tak pernah jatuh ke dalam anarki. Ia kembali ke negerinya yang suram dan penuh kabut, dan yang, dituliskannya, penuh undang-undang dan aturan hukum serta polisi - yang belum tentu mampu menjamin keselamatan rakyat seandainya semua pintu terbula dan bisa dimasuki siapa saja, seperti di negeri yang baru saja menghilang di belokan sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini