Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Indonesiana

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beli Kondom di ATM

Anda ingin membeli kondom? Di kota-kota besar dan kecil, barang itu ada di hampir semua apotek. Tapi, Anda mungkin risi membelinya, apalagi kalau pelayannya wanita. Lebih risi lagi kalau mau pilih-pilih.

Di Papua, daerah yang selama ini selalu dikategorikan tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, penjualan kondom sudah dilakukan melalui sebuah mesin yang mirip anjungan tunai mandiri (ATM). Dengan hanya memasukkan tiga koin Rp 500 dan memencet salah satu tombol, satu kotak kondom merek Artika pun akan keluar. Aroma kondom juga beragam, ada vanilla, strawberry, cokelat, jeruk, dan durian.

Memang, "ATM kondom" belum begitu banyak. Salah satu yang sudah beroperasi sejak akhir April lalu adalah di lokalisasi Tanjung Elmo, Sentani. Menurut pejabat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hardiyanto, pemasangan ATM kondom seperti itu memang diprioritaskan di lokalisasi pelacuran karena menjadi tempat suburnya penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.

Proyek besar ini adalah program kerja sama BKKBN Pusat, BKKBN Papua, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, untuk menekan tingginya jumlah kasus HIV/AIDS di Papua. Menurut Ketua Kelompok Kerja Komunikasi Informasi dan Edukasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Provinsi Papua, Agus Fauzi, berdasarkan data sampai 31 Maret 2005, kasus HIV/AIDS di daerah ini sebanyak 1.874. Itu yang dapat dideteksi. "Kemungkinan yang tak terdeteksi jauh lebih besar," katanya.

Rencananya, akan ada tujuh ATM kondom yang tersebar di seluruh Papua. Dua di Kabupaten Mimika, dan satu masing-masing di Kabupaten Jayapura, Sorong, Biak Numfor, Merauke, dan Manokwari. "Ke depan, kita berharap ATM kondom serupa juga akan dipasang di tempat-tempat umum atau perkantoran," kata Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat, Siswanto A. Wilopo. Tidak disebutkan apakah di kantor Dharma Wanita nantinya juga tersedia ATM kondom ini.

Adakah yang mengajukan protes terhadap modernisasi di dunia esek-esek ini? Tak seorang pun. Malah yang bangga banyak. Misalnya Rico, seorang sopir angkutan umum yang jadi pelanggan di lokalisasi Tanjung Elmo Sentani. Selama ini dia jarang "main" menggunakan kondom. Alasannya, kios yang menjual kondom jauh. Lagi pula, kata Rico, dia malu membeli kondom di tempat-tempat umum, nanti dikira suka main perempuan—padahal memang ya.

Para pekerja seks komersial—di masa lalu, ketika moral bangsa agak baik, mereka ini disebut sundal atau lonte untuk memberi kesan negatif—tak kalah girangnya. Kini mereka tak perlu repot mendapatkan kondom untuk pelanggannya. Soal merek, apalagi rasanya, juga tak dipermasalahkan. Kapan ATM kondom ini ada di mal-mal di Jakarta?

Abdul Manan, Lita Oetomo


Akhir Petualangan Si Buntung

Julukan Rudi Suwarno adalah Si Buntung. Tapi, dia bukan pemain sinetron. Laki-laki 22 tahun ini adalah pengemis yang biasanya mangkal di perempatan lampu merah Jalan Panglima Sudirman, Jember, Jawa Timur. Setiap hari dia duduk dan ngesot (berpindah tempat sambil duduk) di atas aspal sambil menadahkan tangan kepada setiap orang dan pengendara yang lewat.

Akhir April lalu, Si Buntung ditangkap polisi. Waktu itu dua polisi yang sedang patroli berhenti di depannya. Polisi melihat gelagat aneh. Ada jari-jari tersembul dari balik baju Rudi. Salah seorang polisi turun. "Kamu pura-pura tidak punya kaki, ya. Ayo berdiri!" Rudi pun gelagapan. "Saya memang tidak punya kaki. Benar!" Rudi berkelit. Polisi tak percaya. Ditariknya tubuh Rudi sampai berdiri. Eh, ternyata dia punya kaki lengkap.

Kepada polisi, Rudi mengakui akting sebagai "Si Buntung" ini dilakukannya sejak 1997. Motifnya, tentu saja untuk mengundang iba. Modalnya pun tak banyak: kain lebar agar dua betisnya bisa dilipat, pakaian lusuh, dan wajah yang mengiba. Setiap hari, tak kurang dari Rp 30 ribu uang mengalir ke kantongnya. "Itu setelah saya ngesot mulai pagi sampai sore," katanya. Sebelum di Jember, Rudi pernah di Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, dan Sidoarjo. Di kota-kota itu, dia tak pernah ditangkap. Maklum, polisi sangat sibuk sehingga tak sempat mengurusi hal remeh begini.

Rudy sempat menularkan ilmunya kepada beberapa anak jalanan. Ada dua orang yang berguru secara serius. Cuma, sang murid tak sanggup terus-menerus mengikuti ajarannya. "Katanya, enggak kuat menekuk kaki beberapa jam. Apalagi harus ngesot di jalan aspal," tuturnya.

Kepala Satuan Samapta Polres Jember, AKP Rodiq S., mengatakan polisi telah memeriksa Rudy. Fokus pemeriksaan untuk menyelidiki apakah ada kelompoknya atau tidak. Ternyata tidak. Tapi, dia tetap diadili dengan tuduhan pelanggaran tindak pidana ringan. Pengadilan Negeri Jember memberinya vonis denda Rp 100 ribu. Bagaimana Rudy membayar kalau tak boleh lagi berakting?

Abdul Manan, Mahbub Djunaidy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus