Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai peneliti, hidupnya nyaris ada di dunia sunyi. Ia cuma peneliti biasa di Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung. Dengan gaji pegawai negeri yang pas-pasan, hanya motornya, Honda bebek keluaran 1978, yang saban hari dengan suara riuh, setia menemaninya ke laboratorium.
Kondisi kehidupannya yang murung 10 tahun silam itu bertambah nelangsa ketika pemerintah mengumumkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. "Makin pusing, deh," kata Hariyadi, sang peneliti.
Rupanya persoalan ekonominya itu justru mengilhami lelaki ini untuk menyiasati kesulitannya akibat kenaikan harga bensin. Dari otaknya berloncatan aneka teori fisika dan kimia. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana agar proses pembakaran bensin di motor bututnya bisa lebih efisien dan menghasilkan tenaga yang lebih besar.
Pelbagai teori yang mengapung di benak menuntunnya kepada teori tentang memecah molekul-molekul bensin. Logikanya, bila molekul bensin itu lebih kecil "butirannya", akan semakin banyak permukaan molekul yang bersentuhan dengan api. Untuk soal ini, Hariyadi memberikan analogi selembar kertas yang apabila dirobek-robek sebelum dibakar, maka sisi kertas yang bersentuhan api akan lebih banyak,
Ide inilah yang ia terapkan pada motornya. Sebelum bensin dibakar, peneliti yang saat itu berusia 39 tahun itu membuat alat yang bisa memecah molekul bensin itu. Bensin dengan "butiran" yang lebih halus ini ternyata menghasilkan pembakaran yang lebih efisien, karena permukaan "butiran" bensin yang bersentuhan dengan api semakin banyak ketimbang bensin biasa. "BBM lebih halus sehingga proses pembakaran lebih sempurna. Seperti kompor, apinya menjadi lebih biru," kata pria lulusan Institut Teknologi Bandung itu.
Awalnya, untuk memecah rantai molekul bensin, dia menggunakan magnet batang pada selang yang menghubungkan tangki bahan bakar dengan karburator motornya. Eureka! Magnet itu ternyata memberikan tambahan tenaga di motor bututnya.
Hasil eksperimen sederhana inilah yang kemudian ia boyong ke laboratoriumnya. Bersama seorang peneliti lainnya, Didin Saepudin, Hariyadi kemudian mengutak-atik magnet agar bisa menjadi alat pemecah rantai molekul yang andal.
Yang dilakukannya adalah mengubah jenis magnet. Dia tak lagi memakai magnet batang yang medan magnetnya statis, tapi menggunakan kumparan kawat yang menghasilkan medan magnet elektrik. Inilah bedanya dengan produk lain yang beredar di pasar.
Setelah melalui serangkaian percobaan, April tahun lalu keduanya melahirkan Electric Fuel Treatment (EFT). Bahan bakar minyak yang terpapar resonansi gelombang elektromagnet itu ternyata membuat pembakaran lebih efisien 5 sampai 20 persen.
Cara kerja kumparan ini, mirip dengan magnet batang yang statis. Ketika kumparan kawat dialiri listrik, maka lahirnya medan magnet. "Tapi medan magnet ini pengaruhnya jauh lebih tajam dan signifikan ketimbang magnet statis," ujar Hariyadi.
Untuk eksperimen dia mencoba memasang EFT pada sepeda motor Honda Supra. Sebelum memakai alat ini, biasanya satu liter premium habis untuk jarak tempuh 50 kilometer. Dengan EFT, ternyata satu liter premium mampu menempuh jarak 62 kilometer. "Terasa sekali iritnya."
Selain irit, Hariyadi menuturkan, EFT itu ternyata membuat mesin tidak terlalu panas dan emisi gas buang ditekan, terutama pada kendaraan berbahan bakar solar. Dan yang lebih penting, EFT yang bentuknya seperti pipa keciluntuk mobil sepanjang 20 sentimeteritu membuat tenaga mesin bertambah. Hasil itu diakui Allfreed Gunawan, warga Kramat, Jakarta. "Manfaat terasa. Tenaga mobil saya bertambah 3,6 tenaga kuda," kata Allfreed, yang memasang alat itu pada dua mobil Isuzu Panthernya.
Imam Soerodjo, warga Bondowoso, Jawa Timur, juga telah membuktikannya. "Anak saya di Malang pakai Honda Grand Civic setelah dipasangkan EFT (pemakaian bahan bakar) berubah dari 1 liter untuk 11 kilometer menjadi 16 kilometer," kata dia.
Untuk sepeda motor, Imam menguji dan menggunakannya pada sepeda motor Honda Wien. Selain tarikannya menjadi tambah kencang, bensin juga lebih irit lagi. "Dari semula 1 banding 35 menjadi 1 banding 50," kata dia tampak takjub.
Kunci keunggulan EFT, menurut Hariyadi, terletak pada faktor material bahan bakar yang digunakan dan laju aliran yang melalui alat. Koil berperan membangkitkan resonansi dengan frekuensi tertentu. Sayang, Hariyadi belum bersedia mengungkapkan frekuensi dan dimensi-dimensi kunci lainnya dengan alasan nomor paten yang belum kunjung turun.
Sejak dikembangkan April tahun lalu, Hariyadi mengatakan, EFT yang diberi trademark LHD untuk kepanjangan LIPI Hariyadi Didin itu telah terjual sekitar 1.500 unit ke berbagai daerah. Sebagian besar untuk sepeda motor. "Paling laku ketika musim mudik lalu," kata dia.
Hariyadi tidak berhenti hanya pada sepeda motor dan mobil. Di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Yani Djoko, distributor mesin perawatan air industri tanpa kimia justru menggunakan EFT pada dua buah mesin generator dan sebuah mesin pembakar. Rata-rata penghematan solar mencapai 12 persen. "Lumayan, sebulan hemat sekitar Rp 10 juta," kata dia.
Hari pertama menggunakan EFT, menurut Yani, konsumsi minyak turun menjadi 94 liter per hari dari biasanya 100 liter per hari. Hari kedua berkurang lagi menjadi 92 liter, hari ketiga 89 liter, begitu seterusnya. "Teorinya sih, EFT akan membersihkan kerak karbonnya dulu. Setelah bersih, makin lama makin hemat," kata dia.
Produk Hariyadi ini bukan tanpa cacat. Satu-satunya keluhan yang didapati Tempo berasal dari Maskup, Pensiunan TNI yang sekarang pekerja kontraktor di Surabaya, Jawa Timur. Sebulan sekali dia harus ganti selang tambahan yang sepanjang 20-30 sentimeter itu. "Pecah terus, mungkin karena panas," kata dia.
Toh, kendati begitu dia masih tetap memakai EFT. Alasannya, apa lagi kalau bukan mengirit bensin walau cuma menghemat 10 persen. "Lumayanlah buat saya yang setiap hari harus menempuh 150 kilometer, bolak-balik Surabaya-Bondowoso dan harus isi bensin full tank sampai tiga kali seminggu," kata dia lagi.
Menurut Hariyadi, alat bikinannya itu memang berbeda-beda efeknya untuk tiap-tiap mesin. EFT terbukti bekerja lebih efisien pada mesin berbahan bakar solar ketimbang mesin berbahan bakar bensin. Soalnya, jumlah ikatan hidogen pada solar lebih banyak ketimbang pada bensin. "Rantai molekul yang lebih panjang menyebabkan efek pemecahan pada solar lebih besar," kata dia.
Meski begitu, Hariyadi juga mengingatkan, desain mesin juga bisa melahirkan efek yang berbeda. Dia mencontohkan efisiensi penggunaan bahan bakar pada mesin diesel mobil Toyota Kijang yang tidak setinggi pada mesin diesel Isuzu Panther. "Desain mesin juga menentukan," kata Hariyadi yang kini tidak terlalu merisaukan kenaikan harga BBM.
Kini, Hariyadi bukan cuma sudah punya siasat untuk mengatasi naiknya ongkos bensin, tapi malah alat penghemat bensin ciptaannya makin laris manis.
Zacharias Wuragil
Hasil EFT
- Menghemat BBM 5-20 persen
- Meningkatkan tenaga mesin
- Mengurangi emisi gas buang
- Mesin menjadi tidak terlalu panas
- Mengurangi getaran mesin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo