Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGETAHUANNYA perihal benda koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, membuat Andrea Amborowatiningsih, suatu hari pada 2007, melihat keganjilan pada lima arca di museum itu. Hari itu ia tengah mengantar dua mahasiswa asing—temannya yang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada—ke museum yang terletak di Jalan Slamet Riyadi tersebut. "Saya lupa bulannya, mungkin antara September dan Oktober 2007," kata ibu dua anak ini saat ditemui di rumahnya di Kloran Indah, Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Ahad tiga pekan lalu.
Saat menengok koleksi arca yang terletak di bagian belakang museum, Ambar—demikian perempuan kelahiran Surakarta, 17 Februari 1983, ini dipanggil—melihat keganjilan pada lima arca di sana. Dia curiga itu arca-arca palsu. "Saya bisa membedakan arca yang asli dan palsu karena pernah kerja di museum itu," ujarnya. Setelah lulus dari sebuah sekolah pariwisata di Solo, Ambar menjadi guide di Radya Pustaka sejak 2001 hingga 2005.
Tapi bukan hanya arca yang ia duga palsu yang ditemukannya. Saat berkeliling museum, Ambar juga menemukan puluhan patung perunggu dan benda lain yang terbuat dari perunggu sesungguhnya palsu.
Saat itu, Ambar tak langsung mengungkapkan "temuan"-nya tersebut. Ia hanya memotretnya. Di rumahnya, Ambar kemudian membandingkan hasil potretan dengan foto koleksi pribadinya. Benar! Lima arca di Radya Pustaka itu palsu. Kelima arca itu adalah arca Siwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardini bertangan delapan, Durga Mahisasuramardini bertangan dua, Agastya, dan arca Mahakala.
Ada beberapa perbedaan yang ditemukan Ambar antara yang asli dan palsu. Batu arca Agastya palsu, misalnya, lebih halus, sedangkan yang asli lebih kasar. Arca Durga Mahisasuramardini palsu, misalnya, sandaran pada bagian atasnya melengkung, padahal yang asli datar.
Adapun pada Durga Mahisasuramardini, lubang yang terdapat di samping arca lebih besar dibanding yang asli. Warna arca Siwa Mahadewa palsu agak merah dan selempangnya terlalu besar, sedangkan yang asli agak kehitaman. Sedangkan alis arca Mahakala palsu lebih tinggi ketimbang yang asli. Mahakala asli juga tak memiliki kumis seperti yang palsu.
Menurut Ambar, sebelumnya ia rajin memfoto koleksi museum karena ingin melengkapi keterangan perihal benda yang ada di sana. Apalagi saat itu ia menjadi pemandu wisata di Radya Pustaka. "Kan, tidak lucu kalau guide tak bisa menerangkan benda-benda koleksi itu," ujarnya. Menurut Ambar, penjelasan tentang beberapa koleksi di Radya Pustaka—museum yang dibangun Kanjeng Adipati Sosroningrat IV pada 28 Oktober 1890—minim. "Tidak ada keterangannya, cuma judul saja."
Ambar bekerja sebagai pemandu wisata dan pegawai honorer di Radya Pustaka hingga 25 Mei 2005. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Ia bahkan pernah bercita-cita menjadi arkeolog. Ambar berhenti dari pekerjaannya setelah dipecat oleh Kepala Museum Radya Pustaka Darmodipuro atau populer dipanggil Mbah Hadi. Alasan pemecatan dirinya, kata Ambar, tidak jelas. Namun dia menduga itu karena ia tahu banyak tentang pemalsuan dan hilangnya benda koleksi museum.
Sebelum dipecat, Ambar memang sempat mempertanyakan soal tempat lilin kristal yang dipecahkan anak Mbah Hadi serta hilangnya piring porselen dan tempat buah dari kristal pemberian Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte. Rupanya, sikap Ambar yang kritis itu membuat Mbah Hadi tak suka. "Mbak Ambar orangnya pemberani, tapi caranya terlalu vulgar," ucap Soemarni Wijayanti, pemandu wisata Museum Radya Pustaka yang juga kolega Ambar saat ia bekerja di museum itu.
Berhenti dari Radya Pustaka, Ambar kemudian kuliah di Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya UGM. Di sinilah ia kemudian, suatu hari, menunjukkan temuannya ihwal adanya arca dan patung perunggu palsu di Radya Pustaka kepada Djoko Dwiyanto, dosen Jurusan Arkeologi. Berbekal informasi Ambar, Djoko lantas menghubungi Lambang Babar Purnomo, arkeolog mumpuni dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Lambang pun melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Resor Kota Surakarta.
Ditemui di kantornya di kampus UGM, Djoko bercerita ketika itu Ambar tak sadar bahwa kasus yang ditemukannya tersebut merupakan skandal besar. Pelakunya bisa dijerat dengan tuduhan pemalsuan, pencurian dan menjualbelikan benda cagar budaya. Undang-Undang Cagar Budaya, misalnya, memberi ancaman hukuman 10 tahun penjara kepada siapa pun yang terbukti mencuri benda sejarah.
Polisi memang kemudian mengusut kasus ini. Ambar menjadi salah satu saksi penting yang dimintai keterangan.
Namun, saat pengusutan berlangsung, sebuah peristiwa tak terduga terjadi. Lambang Babar Purnomo, yang menjadi saksi ahli dalam kasus pemalsuan arca dan perunggu tersebut, ditemukan tewas pada 9 Februari 2008 pagi. Jasadnya tergeletak di selokan Jalan Lingkar Luar Utara, Yogyakarta. Hingga kini penyebab kematian Lambang dinilai misterius.
Dari investigasi yang dilakukan Tempo, besar dugaan Lambang tewas karena dianiaya, bukan karena kecelakaan. Ada salah satu tulang belakang lehernya yang patah (Tempo, 5 Oktober 2008). Sri Surayati Supangat, istri Lambang, hingga kini tetap meminta polisi mengusut kematian suaminya. "Kami masih berharap polisi mengungkap penyebab sebenarnya kematian Mas Lambang," ucap Sri saat ditemui di rumahnya di Lempongsari, Sleman, Yogyakarta.
Kematian Lambang itu sangat mengguncang Ambar. Dia yakin Babe—demikian ia biasa memanggil Lambang—meninggal bukan karena kecelakaan. "Kematiannya tak wajar," katanya. Tewasnya Lambang juga membuat sejumlah saksi pemalsuan arca Radya Pustaka waswas, termasuk Ambar.
Menurut Ambar, dari sejumlah wartawan yang ngepos di kepolisian, dia mendapat informasi bahwa ia juga akan dibunuh. Para wartawan mendapat informasi itu dari intelijen kepolisian. "Targetnya waktu itu Ambar mati atau melahirkan di tahanan," ujar Ambar, yang saat pengusutan kasus Arca itu tengah hamil tua mengandung anak pertama. Karena informasi itu pula ia diminta teman-temannya tak perlu datang jika dipanggil polisi.
Tapi Ambar tetap memenuhi panggilan polisi. Dalam pikirannya, tak mungkin polisi—atau siapa pun—berani berbuat macam-macam di kantor polisi. Lebih dari itu, dia ingin kasus ini terungkap. Pencuri, pemalsu, dan penadahnya ditangkap. "Jika tak bersuara, lama-lama koleksi museum bisa habis," katanya. Dia juga siap jika harus mendekam di penjara gara-gara kasus ini. "Kalau memang Tuhan bilang saya harus melahirkan di penjara atau mati, saya siap," ujar Ambar.
Skandal pemalsuan arca ini akhirnya masuk pengadilan. Pada 30 Juni 2008, Pengadilan Negeri Surakarta memvonis Darmodipuro satu setengah tahun penjara. Dia terbukti mencuri dan memalsukan arca-arca tersebut. Arca-arca itu belakangan ditemukan di rumah pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Hashim sendiri divonis bebas karena, menurut hakim, ia tidak mengetahui arca itu benda curian. Dia membeli arca itu dari pihak ketiga dan arca tersebut dilengkapi dokumen.
Selepas kasus ini, Ambar sempat bekerja di Terang Abadi Televisi di Mojosongo, Solo. Kini ia sehari-hari sibuk mengelola Dika Bakery, perusahaan kue yang bernaung di bawah Terang Abadi Media Group.
Titik Terang Belum Didapat
Kondisi Museum Radya Pustaka benar-benar berantakan. Hampir semua koleksinya tak berada di tempatnya. Koleksi yang ada sebagian besar terlihat dikerudungi plastik transparan. Sejumlah ruangannya, termasuk tempat menyimpan koleksi perunggu, terlihat kosong melompong.
Museum tertua di Indonesia ini bukan baru disatroni maling, melainkan tengah berbenah. Awal Desember lalu, saat Tempo mengunjungi museum ini, spanduk merah terpasang di pagar: "Mohon maaf museum tutup sementara karena ada pengerjaan revitalisasi". Walhasil, peluang untuk melihat koleksi perunggu dan lima arca yang sempat dipalsukan dan dibongkar kasusnya oleh Andrea Amborowatiningsih tertutup.
Arca-arca bernilai ratusan juta rupiah ini kembali ke museum setelah sempat menjadi koleksi pengusaha Hashim Djojohadikusumo, adik mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Prabowo Subianto. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta pada pertengahan Januari 2009 memutus bebas Hashim dari dakwaan kepemilikan arca secara ilegal.
Dalam persidangan yang lain, hakim Pengadilan Negeri Surakarta pada akhir Juni 2008 memutus bersalah Kepala Museum Radya Pustaka Darmodipuro alias Mbah Hadi. Ia diganjar vonis satu setengah tahun penjara karena terbukti memperdagangkan benda cagar budaya berupa enam arca asli—lima di antaranya disebut Andrea Amborowatiningsih—koleksi museum. Hadi meninggal di rumahnya pada 27 Mei 2009 setelah sempat menghirup udara bebas.
Vonis yang sama diketuk untuk Heru Suryanto, "orang dalam" Keraton Solo yang memiliki akses ke Radya Pustaka. Ia terbukti memperdagangkan benda cagar budaya plus membuat surat palsu yang menyebut arca-arca itu bukan benda cagar budaya. Heru berperan penting dalam "perjalanan" arca-arca tersebut hingga sampai ke tangan Hashim.
Meninggalnya Hadi, juga Lambang Babar Purnomo, saksi ahli dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, membuat Ambar—panggilan akrab Andrea Amborowatiningsih—pesimistis kasus pemalsuan dan pencurian koleksi perunggu Radya Pustaka berlanjut. Padahal, selain nilai sejarahnya tinggi, koleksi perunggu yang hilang atau dipalsukan jumlahnya puluhan. "Awalnya saya berharap kasus pemalsuan arca adalah pintu masuk untuk mengusut kasus perunggu," katanya.
Meski sudah berbilang tahun, kasus itu, menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Rudi Hartono, sebenarnya belum ditutup. "Tentu kami butuh titik terang baru," ucapnya saat ditemui Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Namun Rudi mengakui titik terang yang dibutuhkan polisi itu tak gampang didapat. "Karena sejumlah saksi sudah meninggal," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo