SEORANG laki-laki berpakaian rapi turun dari pesawat terbang,
di Pelabuhan Udara Internasional Kennedy, New York. Ia nampaknya
orang pentirg, paling tidak pengusaha kaya.
Seorang wanita, juga berpakaian rapi dan mahal, datang
menjemputnya sampai di tangga pesawat. Bergandengan, keduanya
berjalan menuju mobil limousine yang nampak sudah disiapkan
dengan cermat. Keduanya masuk, dan berlalu dengan cepat. Agak
misterius.
Siapa wanita itu? Terang bukan istrinya. Tak nampak si laki-laki
menciumnya, seperti lazimnya suami di Barat bila dijemput
istrinya. Juga terlihat keduanya agak kaku.
Ah -- mungkin wanita itu sekretaris yang punya hubungan gelap,
atau malah pacar -- walaupun kok ya terang-terangan begitu.
Yang benar, ia seorang bodyguard . Ya, wanita itu. Ia disewa
untuk menjaga keamanan, walau tidak sampai ke pengertian "tukang
pukul". Dan itu gejala baru di Eropa dan Amerika.
Sudah tentu, para pengawal ini tidak sekedar mengamat-amati.
Tapi kalaupun harus bertindak, mereka cukup terlatih. Seperti
juga pengawal pria mereka juga mendapat latihan kemiliteran,
termasuk menggunakan senjata api dan bela diri.
Mulanya dianggap tak masuk akal, memang. Di samping orang
umumnya tak begitu percaya pada kesigapan wanita, banyak lelaki
merasa rikuh. Bayangkan: dilindungi wanita. Malu 'kan, rasanya?
Tapi banyak kenyataan bicara sebaliknya. Perkembangan konon
justru menunjukkan, wanita lebih "pas" jadi bodyguard ketimbang
pria. (Jeorie Dullea dari New York Times Service, yang
menyelidiki gejala baru ini, membeberkan beberapa alasan.
Pertama, wanita dikatakannya tidak menyolok bila jadi pengawal.
Dibanding tukang pukul pria yang biasanya berbadan besar,
bertampang dungu, berjas panjang, membawa walkie-talkie dan
berkacamata hitam, seorang pengawal wanita jauh lebih tersamar.
Umpamanya saja akibat cara berpakaian.
Seorang pengawal wanita mengutarakan, ia biasanya menggunakan
rok span, jas dan dasi bila harus ikut menghadiri sebuah rapat
pemegang saham. Tapi ia akan memakai blue jean kalau harus
mengawasi seorang klien berjogging. Dan pernah juga pakai hot
spants, sepatu karet dan baju kombrang karena harus mengawal
seorang klien ke disko.
Macam pakaian yang dipakainya menentukan cara bagaimana
menyembunyikan senjata. Pengawal wanita yang diwawancarai ini
kebetulan selalu membawa revolver kaliber 38-jadi cukup besar.
Bila ia memakai jas, tentu saja leluasa menaruh senjata di
balik jas seperti biasa. Juga kalau menggunakan baju kombrang
dan celana jin - selipkan saja di pinggang. Yang repot, katanya,
bila kebetulan tidak bisa membawa tas besar, si 38 terpaksa
dipasangnya di paha, dekat lutut.
Di samping tak menyolok, pengawal wanita disebut Georgia Dullea
"cepat menyesuaikan diri dalam tugas". Mudah mencari posisi.
Sebagai sekretaris, sebagai pacar, malah sering sebagai istri.
Sudah jadi bagian dari tugas, bila seorang pengawal wanita
kelihatan sangat mesra dengan kliennya keluar masuk restoran,
berdansa, termasuk juga kadang berciuman. "Tapi, laki-laki
sering tak mau tahu keadaan. Mereka seper titak sadar, sikap
seorang pengawal wanita cuma acting, " kata seorang pengawal
wanita. Entah benar entah tidak. "Kami segera minta berhenti
bila mereka mengajak macam-macam. Sebab kami bisa memisahkan
tugas dari kesenangan," kata yang lain.
Karena peka pada tata sopan santun, pengawal wanita biasanya
juga cermat memperhatikan lingkungan. Umpamanya memilih jenis
senjata. Ini penting, di samping cara menyembunyikannya.
Suatu kali konon Jaquine Lachman, janda Charles Lachman, salah
seorang pendiri industri kosmetik Revlon, marah-marah kepada
pengawal sewaannya. Dalam sebuah pesta yang dikatakannya
dihadiri orang-orang terhormat, pengawalnya -- pria -- secara
tak sengaja ketahuan membawa senapan mesin. Si janda mengamuk.
"Barang yang paling kubenci adalah senapan mesin," katanya
sewot. Sejak itu, katanya, ia senantiasa menyewa pengawal
wanita.
Memang bisa dipastikan pengawal wanita sering bertugas mengawal
wanita pula. Dan tidak seperti mengawal pria, di sini pengawal
wanita bisa terus mengikuti kliennya bukan hanya ke salon
kecantikan atau pesta. Tapi juga kalau perlu ke kamar kecil.
TAPI sebenarnya kesulitan yang dihadapi seorang pengawal wanita
tetap saja: saat mereka harus menggunakan tenaga atau senjata
api. Seorang dari mereka, yang diwawancarai Georgia, mengisahkan
pernah jadi pengawal bekas juara gulat Amerika. Dan dalam
tugasnya berhasil menyelamatkan kliennya -- yang luar biasa
gemuk itu -- dari usaha pembunuhan tabrak-lari. Tapi yang lain
menceritakan, bagaimana ia bingung waktu terpaksa mengacungkan
senjata. Tidak seperti di waktu latihan, pengawal wanita yang
satu ini tak mampu menarik picu dalam sebuah saat kritis. Bukan
pistolnya yang meledak, tapi suaranya. "Mampus!" serunya tak
sengaja. Untung, konon suaranya itu sama mengejutkannya dengan
letusan pistol . . .
Kendati permintaan akan pengawal wanita meningkat, sulit
dipastikan apakah kaum perempuan sebenarnya memang tertarik pada
bidang ini. Jumlah pengawal wanita yang sudah ada saja susah
ditelusuri. Di dua daerah yang jadi tempat penyelidikan Georgia,
New York dan Manhattan, rata-rata pengawal wanita tak mau
diwawancarai. Yang bersedia pun umumnya minta identitas mereka
dilindungi.
Lebih dari itu, rata-rata biro detektif dan sejenisnya juga
bungkam soal petugas wanitanya. Sampai pada jumlahnya. Steve
Tavlin, direktur biro detektif di New York, memperkirakan tak
sampai 10% dari jumlah prianya. Di bironya sendiri 10 di antara
30 petugasnya wanita. Ini katanya sudah termasuk banyak.
Tavlin membenarkan, permintaan akan pengawal wanita cukup
banyak. Katanya: "Wanita memang tidak bisa diharapkan jadi
bodyguard sesungguhnya. Tapi sebenarnya tidak semua tugas
pengawalan membutuhkan sikap keras. Dan kelebihan wanita: teliti
mengamati keadaan." Bironya sendiri banyak melayani pengusaha,
bintang film dan orang asing. Mungkin kelompok inilah yang
banyak meminta pengawal wanita.
John C. Mandel, juga seorang direktur sebuah biro pengawal
keamanan di Manhattan -- membenarkan meningkatnya permintaan
akan pengawal wanita. Bahkan ditambahkannya, di bironya minat
kaum wanita untuk pekerjaan itu cukup besar. Sehingga ia sendiri
membendungnya. Nyatanya di bironya jumlah petugas wanita tak
begitu banyak. Ada sebabnya.
Di sini wanita dikhususkan melayani klien yang dianggap VIP.
Karena itu ia harus bisa bercengkerama, bicara soal bisnis,
bahkan politik. "Bukankah tak pantas kalau seorang wanita yang
bertugas berkata: 'Hati-hati, ada orang mengincar kalung anda.
Tunggu di sini, biar saya garap dulu.' Kalau pria, barangkali
tak soal," kata Mandel.
Mandel menjual semacam keramah-tamahan lewat petugas wanitanya
-semacam servis, di samping tugas utama yakni jasa pengawalan.
Petugas wanitanya ia wajibkan bisa memberi pertimbangan pikiran
-- umpamanya bila seorang nyonya hartawan menunjuk sebuah gaun
yang akan dibelinya. Atau, tidak langsung mengelak bila tak
tahu, bila misalnya seorang pengusaha menanyakan pasaran saham.
"Pokoknya ngobrol sedikitlah," kata direktur itu menegaskan.
KARENA itu Mandel menentukan college -- setingkat di atas
SLA-sebagai pendidikan terendah bagi calon yang datang melamar.
Toh di samping cara menggunakan senjata dan soal-soal keamanan,
masih ditambah lagi pengetahuan umum tentang berbagai bidang.
Tapi tidak semua biro detektif setuju pada pendapat meningkatnya
permintaan akan pengawal wanita. Umpamanya William Rowland,
seorang staf Metropolitan International Investigative and
Security Services di New York. "Soal pengawal wanita sekarang
sudah jadi isu yang luas. Tapi tak sebenarnya klien membutuhkan
pengawal wanita. Terpengaruh pada isu itu, para klien kami yang
minta dikirimi petugas biasanya malah menambahkan: 'Jangan kirim
wanita'."
Bila dilihat, di dinas rahasia AS juga tak banyak petugas
wanita. Di tingkat agen rahasia yang bertugas mengawal orang
penting, terdapat hanya 21 dari jumlah 1535.
Dalam dinas ini mempekerjakan wanita di bidang pengawalan
dirintis sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu jumlahnya hanya lima
-- satu di antaranya Laurie Davis. Dan Laurie, kini berusia 33
tahun, tidak lagi bertugas mengawal. Ia kini perwira berjabatan
Humas. Ia dulu pernah ikut mengawal bekas presiden M. Nixon
dalam suatu acara pemakaman. Juga bekas wakil presiden Spiro
Agnew.
Mungkin persyaratan untuk jadi agen rahasia memang lebih berat
dari untuk pengawal partikelir. Misalnya mereka umumnya juga
membawa revolver Magnum 357, yang tergolong pistol paling berat.
Laurie sendiri berpendapat: "Seorang pengawal harus terlatih,
cepat menghitung keadaan, sigap menggunakan senjata dan tidak
menarik perhatian."
Soal sigap menggunakan senjata dan cepat menghitung keadaan,
besar kemungkinan bisa dilatih. Yang barangkali berat,
sebenarnya, kalau wanita diharuskan tidak menarik perhatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini