Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Salib kecil di tengah kemah-kemah islam

Kaum kristen di libanon, mereka adalah kelompok kecil yang terjepit dunia islam. dalam politik tergolong nasionalis fanatik. th 1975-1976 kelompok-kelompok kristen itu bersatu melawan kelompok islam.

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA keras, bersemangat, fanatik, kadang-kadang brutal, dan gigih. Mereka adalah kelompok Kristen di Libanon. Kecil, terjepit dunia Islam yang besar di sekelilingnya, di tengah kekisruhan perang Arab-lsrael mereka bertahan mati-matian untuk bisa tegak. Siapa mereka, sebenarnya? Bukan orang-orang asing di Timur Tengah. Bukan pendatang yang kesasar, lalu ngendon, dan secara sial ditubruk perang. Mereka asli Arab -- bermukim turun-temurun berabad-abad di daerah itu bersama kulturnya yang Kristen. Tidak seperti biasanya di dunia Timur, Kristen di sini memang bukan peninggalan penjajah. Mereka sudah ada sejak masa Nabi Muhammad (lahir 571 M). Bahkan diduga bahwa referensi Al Qur'an, bila bicara tentang Kristen dan umatnya (yang disebut sebagai 'ahli kitab' itu), terutama memang kelompok-kelompok Kristen kuno di negeri-negeri belahan utara Arabia. Termasuk Libanon, negeri sebelah utara Palestina itu selain Mesir (yang jadi pusat Gereja Kopti sampai kini) dan Afrika Timur (khususnya Ethiopia) yang menganut Orthodoks Yunani. Di kalangan merekalah, yakni bapak-moyang Kristen Arab yang sekarang, terdapat kepercayaan-kepercayaan yang agak "lain". Misalnya saja, untuk sebagian, bahwa Bunda Maria adalah Tuhan atau dipertuhankan. Atau bahwa Yesus (mereka panggil Yasuu') bukan tuhan atau tidak sebenar-benarnya tuhan. Itu dahulu. Betapapun di negeri-negeri Arab mereka telah melewati abad-abad panjang bersama-sama dengan umat muslimin dan Yahudi -- bahkan menjadi para teknokrat di bawah Pemerintahan berbagai khalifah. Kepiawaian Kristen Arab itu masih dibuktikan kini oleh nama seperti Gibran Khalil Gibran misalnya, penyair mistikus Libanon yang dianggap berkaliber dunia. Atau Jirji (George) Zaidan, pendiri majalah Al Hilal yang beredar luas di negeri-negeri muslim dan penulis roman-roman kesejarahan Islam. Di kalangan muslimin, sampai ke pesantren-pesantren di Indonesia, kamus bahasa Arab terlengkap yang dipakai tetap saja Al Munjid susunan Abu Luis (Pater Louis) dari Beirut. Membedakan mereka dari kelompok besar dunia Kristen, bagi orang luar mungkin dianggap sulit. Kedua-duanya disebut Kristen, bukan? Baru nampak, bila orang melihat eke dalam. Seorang diplomat Barat yang bertugas di sana, suatu kali terkejut. "Semuanya berbeda," katanya. "Mereka lebih suka membaca Perjanjian Lama daripada Perjanjian Baru. Mereka punya kebiasaan beribadah yang aneh. Dan mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai garis suku dan sekte. Tak ada gerakan oikoumene. Mereka saling bermusuhan -- perang sesama Kristen ! " Ia terkesima. Tapi di tahun 1975-1976 kelompok kelompok Kristen ini bersatu. Bukan karena sadar -- tapi karena merasa perlu membentuk front dalam perang saudara, yakni melawan kelompok Islam. Ini politik. DAN dalam warna politik, Kristen Libanon tergolong nasionalis fanatik. Bila dibandingkan dengan kelompok Islam: yang terakhir ini sedikit banyak dipengaruhi gerakan Pan Arab. Berada di tengah kebudayaan yang sama dengan negeri-negeri lain sesama bangsa Arab (yang Islam), bisa dipaham bila identitas nasional sekelompok kecil bangsa jadi kurang penting. Kelompok Kristen Libanon sebaliknya -- tak punya pilihan. Semakin terjepit, hembusan nasionalisme jadi semakin kuat. Dan Kristen Libanon memang merasa semakin terdesak. Dua sebab dianggap sebagai tanda: hadirnya Gerilya Palestina di selatan Libanon, dan serbuan Suriah dari arah Timur. "Libanon tak akan berubah, demi Tuhan. Libanon harus exist. Kita tarik sampai ia tak akan tenggelam. Kita tak akan pernah terserap dunia Arab disekeliling kita," kata Pierre Gemayel, seorang tokoh Kristen, dalam sebuah pidatonya. Ucapan tokoh itu justru menunjukkan kekhawatiran serius. Lagi pula karena kini kelompok Kristen makin menjadi minoritas di Libanon, tidak seperti dulu. Libanon termdsuk salah satu negara di dunia yang populasinya sangat rendah. Hanya 2.500.000 jiwa. Jumlah yang kecil itu terpecah ke dalam beberapa golongan yang mengikuti garis agama. Islam Sunni, Islam Syi'ah, Kelompok Islam Druz (pecahan dari Syi'ah) dan kelompok-kelompok Kristen. Waktu negara itu dinyatakan merdeka dari Prancis tahun 1943, pihak Kristen ditentukan merupakan kelompok mayoritas dengan perbandingan 6:5. Padahal sejak tahun 1932 sebenarnya tak pernah diadakan sensus. Pemerintahan yang kemudian dibentuk pun didasarkan pada garis-garis kelompok ini. Setiap kelompok agama, berdasar perjanjian, mendapat jatah jabatan. Presiden dan panglima angkatan perang harus dijabat seorang Kristen. Perdana menteri seorang muslim Sunni. Dan ketua Parlemen seorang muslim Syi'ah. Dengan jumlah yang dinyatakan mayoritas, tapi terutama jenis pendidikan mereka, Kristen Libanon bisa dikatakan mengontrol arah negeri itu: merekalah para penguasa. Tapi justru kekuasaan ini yang menimbulkan keguncangan dan perang saudara di tahun-tahun 1975-1976. Kelompok Islam di saat itu merasa, struktur pemerintahan sudah waktunya diubah. Berdasarkan sensus, jumlah kelompok Kristen ternyata menurun -- dan menurut, pengertian bersama, menjadi minoritas. Dari jumlah 55% sepuluh tahun yang lalu saja sekarang menjadi 45%. Tapi ini tentu bukan satu-satunya alasan. Yang lain -- yang barangkali lebih menentukan -- adalah hadirnya pengungsi Palestina. Para pengungsi ini masuk wilayah Libanon pertama kali di tahun 1948, ketika orang Yahudi merebut daerah mereka. Jumlah itu membengkak di tahun 1967 -- karena 'Perang Enam Hari' yang terkenal antara Arab dan Israel itu. YANG diserbu pengungsir Palestina sebenarnya bukan cuma Libanon, tapi juga Yordania -- negara yang menunjang perjuangan mereka. Dan Yordania sendiri juga guncang karenanya. Tahun 1970 Raja Husein menunjukkan sikap keras kepada para pengungsi ini. Karena itu Front Pembebasan Palestina memindahkan markas besarnya ke Libanon - dan negara yang sudah retak-retak itu pun panas. Kelompok Kristen yang terbesar di Libanon dikenal sebagai kelompok Maronit -- kurang lebih 30% jumlah penduduk. Istilah Maronit diambil dari nama pembentuk sekte ini, St. Maron, yang membuat sebuah pertapaan di lembah Bekka di abad ke 5. Kelompok ini sejak abad ke-7 bermukim di sepanjang Pegunungan Libanon yang cantik itu. Dari sini kemudian menyebar ke seluruh Libanon. Tahun 1921, bersama beberapa sekte Kristen di Timur, mereka melepaskan diri dari pengaruh Katolik Romawi. Kemudian dikenal sebagai kelompok Kristen Timur Ortodoks. Kendati tahun 1736 Libanon menjadi bagian Kerajaan Romawi, pola kekristenannya tak berubah. Hanya beberapa tata cara yang terpengaruh. Kaum Maronit menggunakan liturgi Suriah dan Arab. Hanya sekitar 1% menggunakan liturgi latin -- pengaruh kebudayaan Romawi. Pengaruh Barat masuk tahun 1860. Ketika itu terjadi perang melawan kelompok Islam Druz, yang mengakibatkan banyak kaum Maronit tewas. Di saat inilah Prancis menempatkan pasukannya di Lembah Bekka untuk melindungi kaum Maronit. Dan dalam kenyataan hal ini membawa kaum Maronit pada kemajuan. Sejak saat itu, bahasa Prancis umum dipakai di kalangan ini. Juga nama-nama Prancis. Kini kelompok ini menguasai sebagian besar kelas menengah dan atas di Libanon, juga di dunia politik. Di antara kelompok Kristen, merekalah tergolong paling fanatik dan paling nasionalis. Kelompok Kristen kedua terbesar adalah Kristen Yunani Ortodoks. Seperti umumnya Kristen Timur Ortodoks, mereka pun tidak mengakui kepemimpinan Paus di Vatikan. Tapi selain itu kelompok ini juga memutuskan hubungannya dengan Gereja Kristen Yunani Ortodoks di abad ke-18. Tata cara ibadah mereka dekat dengan tata cara Byzantine, tapi dengan liturgi Arab. Bagi orang asing, akan terdengar tidak begitu berbeda dari mengaji. Mereka bangga akan kebudayaan Arab yang dimiliki. Jumlahnya kurang lebih 6% dari seluruh penduduk, dan umumnya bermukim di Lembah Bekka. Di tempat merekalah kini bermukim pasukan Suriah. Masih ada lagi sejumlah kclompok kecil Kristen. Seperti Katolik Armenia, Katolik Jakobit dan Nestorian. Yang terakhir itu sangat dikenal dalam sejarah hidup Nabi Muhammad: seorang rahib Nestorian (Nasthura), bernama Buhaira, menjamu Muhammad yang masih kanak-kanak dalam perjalanan ke Suriah, dan mcramalkan masa depan beliau. Juga terdapa kelompok Protestan yang disebarkan kaum misionaris di awal abad ke-19. Jumlah keseluruhan sekte kecil ini sekitar 4% dari seluruh penduduk -- dan masing-masing beranggota kurang lebih 30.000 orang. Kini kelompok-kelompok agama itu sudah menjadi kekuatan-kekuatan politik, dan umumnya bernaung di bawah sebuah partai politik. Sebagian malah membentuk pasukan bersenjata. Dan paling tidak, tiga kelompok saling adu kekuatan -- di bawah pengaruh beberapa pemimpin yang sudah berusia 70-an. Camile Chamoun (Kamil Syamun) bekas presiden Libanon, kini bermarkas di tenggara Beirut, memimpin Partai Liberal Nasional. Di tempat ini bermukim pula kelompok Islam Druz. Clash kecil di antara kedua kelompok merupakan kejadian sehari-hari. Camile Chamoun adalah salah seorang yang bertanggungjawab tas masuknya kekuatan asing ke Libanon. Tahun 1958 dia mengundang pasukan Amerika Serikat untuk terlibat dalam sebuah krisis politik. Suleiman Franjieh adalah bekas presiden yang lain. Ia memimpin sekelompok Maronit di bagian utara Libanon, bermarkas di Desa Zghorta. Pemimpin yang satu ini sebenarnya berwatak tenang, namun kelompoknya termasuk yang tak mau berkompromi dengan Kristen lainnya. Beberapa tahun lalu, dalam suatu pertikaian politik, anaknya Tony Franjieh mati ditembak -- bersama dengan menantu serta cucunya dan puluhan orang lain. Dan itu terjadi setelah sebelumnya ia menghabisi nyawa puluhan orang (pengikut Pierre Gemayel) -- di dalam sebuah gereja . . . Pierre Gemayel sendiri seorang pemimpin yang punya peran paling besar di antara kelompok Kristen. Partainya, Falangis, merupakan pusat berkumpulnya kaum Maronit. Ia juga sebenarnya lebih suka mengambil jalan lunak, tapi keadaan memaksanya menjadi ekstrim. Di bawah partai Falangis ini dibentuk sebuah pasukan bersenjata. Pasukan itu dipimpin anak sang ketua Bechir Gemayel (Basyir Jumayil) - terdiri dari 70.000 orang pasukan khusus, berbagai persenjataan modern, termasuk 40 buah tank. Mereka menduduki daerah di sekitar Beirut dan Tripoli -- dan dari sana memerangi berbagai kekuatan lain. Gerilya Palestina, Pasukan Suriah, kelompok Suleiman Franjieh. Merekalah yang bertanggungjawab atas kematian Tony Franjieh. Pasukan Suriah masuk ke Libanon tahun 1976 bersama pasukan Liga Arab. Awalnya bertujuan menjadi polisi dalam kericuhan Libanon, akibat kehadiran pengungsi Palestina. Tapi ketika pasukan Liga Arab berangsur-angsur ditarik mundur -- yang terakhir pasukan Arab Saudi, 1979 -- pasukan Suriah ngotot untuk tinggal. Dengan kekuatan 25.000 orang, Suriah kini praktis menguasai Lembah Bekka. Dan merekalah praktis yang berdiri di belakang Elias Sarkis, tokoh Kristen Orthodoks Yunani yang jadi presiden kini. Dan kehadiran merekalah, bersama pengungsi Palestina, yang membuat perangsaudaradi Libanon menjadi lebih runyam: perang Arab-lsrael. Bila kelompok Islamnya bergabung kekelompok Arab, maka kelompok Kristen, mudah diduga, main mata dengan Israel. Israel sendiri dalam lima tahun terakhir memang membantu dengan tetap pasukan Falangis. Mereka memasukkan senjata lewat pelabuhan Junieh di utara Beirut. Perdana Menteri Menahem Begin resmi menyatakan solidaritas Israel pada kelompok Kristen Libanon, dan berjanji akan tetap menyokong. Tapi suatu kali, di hari-hari yang paling hitam, bantuan itu tak datang. Israel ternyata tak sesungguhnya ingin membantu kaum Kristen Libanon-maklum Yahudi. Merasa daerah kekuasaan Falangis tidak strategis untuk memerangi gerilya Palestina, Israel menggeser bantuannya ke kelompok lain. Di selatan Libanon, tepat di daerah antara Israel dan daerah gerilya Palestina, Israel membangun pasukan sendiri. Daerah itu kini dikenal sebagai daerah kekuasaan Mayor Saad Haddad seorang bekas perwira Pasukan Libanon yang antek Israel. Bahkan seragam pasukan Haddad konon sama dengan seragam pasukan Israel. Kini, kaum Maronit disebut-sebut sebagai kelompok yang mewakili golongan Kristen Libanon. Camile Chamoun diduga terpilih sebagai pemimpin di kalangan mereka, dengan Bechir Gemayel dari kelompok Falangis sebagai kepala pasukannya. Kecuali kelompok Franjieh dan kelompok Katolik Armenia, berbagai kelompok Kristen secara aklamasi menyetujui struktur kepemimpinan ini. "Saya merasa sebagai seorang Maronit bila harus berhadapan dengan kelompok Islam," kata seorang penganut Kristen Yunani Ortodoks. Tapi tak seorang pun berani meramalkan hasil perjuangan minoritas yang terjepit itu. "Sebelum perang saudara," kata seorang pengamat, "harusnya kelompok Kristen lebih awas melihat perkembangan keadaan. Mereka harusnya mau membagi kekuasaan dengan umat Islam. Kalau saja mereka mampu melihat ke depan, besar kemungkinan sekarang mereka masih memegang kendali." Hari rupanya sudah senja bagi kelompok Kristen Libanon. Lima tahun lalu, daerah itu masuk "daerah panas" nomor 17 di dunia. Kini, tak syak nomor 1.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus