MEREKA keras, bersemangat, fanatik, kadang-kadang brutal, dan
gigih. Mereka adalah kelompok Kristen di Libanon. Kecil,
terjepit dunia Islam yang besar di sekelilingnya, di tengah
kekisruhan perang Arab-lsrael mereka bertahan mati-matian untuk
bisa tegak. Siapa mereka, sebenarnya? Bukan orang-orang asing di
Timur Tengah. Bukan pendatang yang kesasar, lalu ngendon, dan
secara sial ditubruk perang. Mereka asli Arab -- bermukim
turun-temurun berabad-abad di daerah itu bersama kulturnya yang
Kristen. Tidak seperti biasanya di dunia Timur, Kristen di sini
memang bukan peninggalan penjajah.
Mereka sudah ada sejak masa Nabi Muhammad (lahir 571 M). Bahkan
diduga bahwa referensi Al Qur'an, bila bicara tentang Kristen
dan umatnya (yang disebut sebagai 'ahli kitab' itu), terutama
memang kelompok-kelompok Kristen kuno di negeri-negeri belahan
utara Arabia. Termasuk Libanon, negeri sebelah utara Palestina
itu selain Mesir (yang jadi pusat Gereja Kopti sampai kini) dan
Afrika Timur (khususnya Ethiopia) yang menganut Orthodoks
Yunani.
Di kalangan merekalah, yakni bapak-moyang Kristen Arab yang
sekarang, terdapat kepercayaan-kepercayaan yang agak "lain".
Misalnya saja, untuk sebagian, bahwa Bunda Maria adalah Tuhan
atau dipertuhankan. Atau bahwa Yesus (mereka panggil Yasuu')
bukan tuhan atau tidak sebenar-benarnya tuhan. Itu dahulu.
Betapapun di negeri-negeri Arab mereka telah melewati abad-abad
panjang bersama-sama dengan umat muslimin dan Yahudi -- bahkan
menjadi para teknokrat di bawah Pemerintahan berbagai khalifah.
Kepiawaian Kristen Arab itu masih dibuktikan kini oleh nama
seperti Gibran Khalil Gibran misalnya, penyair mistikus Libanon
yang dianggap berkaliber dunia. Atau Jirji (George) Zaidan,
pendiri majalah Al Hilal yang beredar luas di negeri-negeri
muslim dan penulis roman-roman kesejarahan Islam. Di kalangan
muslimin, sampai ke pesantren-pesantren di Indonesia, kamus
bahasa Arab terlengkap yang dipakai tetap saja Al Munjid susunan
Abu Luis (Pater Louis) dari Beirut.
Membedakan mereka dari kelompok besar dunia Kristen, bagi orang
luar mungkin dianggap sulit. Kedua-duanya disebut Kristen,
bukan? Baru nampak, bila orang melihat eke dalam.
Seorang diplomat Barat yang bertugas di sana, suatu kali
terkejut. "Semuanya berbeda," katanya. "Mereka lebih suka
membaca Perjanjian Lama daripada Perjanjian Baru. Mereka punya
kebiasaan beribadah yang aneh. Dan mereka terpecah-pecah ke
dalam berbagai garis suku dan sekte. Tak ada gerakan oikoumene.
Mereka saling bermusuhan -- perang sesama Kristen ! " Ia
terkesima.
Tapi di tahun 1975-1976 kelompok kelompok Kristen ini bersatu.
Bukan karena sadar -- tapi karena merasa perlu membentuk front
dalam perang saudara, yakni melawan kelompok Islam. Ini politik.
DAN dalam warna politik, Kristen Libanon tergolong nasionalis
fanatik. Bila dibandingkan dengan kelompok Islam: yang terakhir
ini sedikit banyak dipengaruhi gerakan Pan Arab. Berada di
tengah kebudayaan yang sama dengan negeri-negeri lain sesama
bangsa Arab (yang Islam), bisa dipaham bila identitas nasional
sekelompok kecil bangsa jadi kurang penting.
Kelompok Kristen Libanon sebaliknya -- tak punya pilihan.
Semakin terjepit, hembusan nasionalisme jadi semakin kuat. Dan
Kristen Libanon memang merasa semakin terdesak. Dua sebab
dianggap sebagai tanda: hadirnya Gerilya Palestina di selatan
Libanon, dan serbuan Suriah dari arah Timur.
"Libanon tak akan berubah, demi Tuhan. Libanon harus exist. Kita
tarik sampai ia tak akan tenggelam. Kita tak akan pernah
terserap dunia Arab disekeliling kita," kata Pierre Gemayel,
seorang tokoh Kristen, dalam sebuah pidatonya.
Ucapan tokoh itu justru menunjukkan kekhawatiran serius. Lagi
pula karena kini kelompok Kristen makin menjadi minoritas di
Libanon, tidak seperti dulu.
Libanon termdsuk salah satu negara di dunia yang populasinya
sangat rendah. Hanya 2.500.000 jiwa. Jumlah yang kecil itu
terpecah ke dalam beberapa golongan yang mengikuti garis agama.
Islam Sunni, Islam Syi'ah, Kelompok Islam Druz (pecahan dari
Syi'ah) dan kelompok-kelompok Kristen.
Waktu negara itu dinyatakan merdeka dari Prancis tahun 1943,
pihak Kristen ditentukan merupakan kelompok mayoritas dengan
perbandingan 6:5. Padahal sejak tahun 1932 sebenarnya tak pernah
diadakan sensus.
Pemerintahan yang kemudian dibentuk pun didasarkan pada
garis-garis kelompok ini. Setiap kelompok agama, berdasar
perjanjian, mendapat jatah jabatan. Presiden dan panglima
angkatan perang harus dijabat seorang Kristen. Perdana menteri
seorang muslim Sunni. Dan ketua Parlemen seorang muslim Syi'ah.
Dengan jumlah yang dinyatakan mayoritas, tapi terutama jenis
pendidikan mereka, Kristen Libanon bisa dikatakan mengontrol
arah negeri itu: merekalah para penguasa. Tapi justru kekuasaan
ini yang menimbulkan keguncangan dan perang saudara di
tahun-tahun 1975-1976. Kelompok Islam di saat itu merasa,
struktur pemerintahan sudah waktunya diubah. Berdasarkan sensus,
jumlah kelompok Kristen ternyata menurun -- dan menurut,
pengertian bersama, menjadi minoritas. Dari jumlah 55% sepuluh
tahun yang lalu saja sekarang menjadi 45%.
Tapi ini tentu bukan satu-satunya alasan. Yang lain -- yang
barangkali lebih menentukan -- adalah hadirnya pengungsi
Palestina.
Para pengungsi ini masuk wilayah Libanon pertama kali di tahun
1948, ketika orang Yahudi merebut daerah mereka. Jumlah itu
membengkak di tahun 1967 -- karena 'Perang Enam Hari' yang
terkenal antara Arab dan Israel itu.
YANG diserbu pengungsir Palestina sebenarnya bukan cuma
Libanon, tapi juga Yordania -- negara yang menunjang perjuangan
mereka. Dan Yordania sendiri juga guncang karenanya. Tahun 1970
Raja Husein menunjukkan sikap keras kepada para pengungsi ini.
Karena itu Front Pembebasan Palestina memindahkan markas
besarnya ke Libanon - dan negara yang sudah retak-retak itu pun
panas.
Kelompok Kristen yang terbesar di Libanon dikenal sebagai
kelompok Maronit -- kurang lebih 30% jumlah penduduk. Istilah
Maronit diambil dari nama pembentuk sekte ini, St. Maron, yang
membuat sebuah pertapaan di lembah Bekka di abad ke 5.
Kelompok ini sejak abad ke-7 bermukim di sepanjang Pegunungan
Libanon yang cantik itu. Dari sini kemudian menyebar ke seluruh
Libanon. Tahun 1921, bersama beberapa sekte Kristen di Timur,
mereka melepaskan diri dari pengaruh Katolik Romawi. Kemudian
dikenal sebagai kelompok Kristen Timur Ortodoks. Kendati tahun
1736 Libanon menjadi bagian Kerajaan Romawi, pola kekristenannya
tak berubah. Hanya beberapa tata cara yang terpengaruh.
Kaum Maronit menggunakan liturgi Suriah dan Arab. Hanya sekitar
1% menggunakan liturgi latin -- pengaruh kebudayaan Romawi.
Pengaruh Barat masuk tahun 1860. Ketika itu terjadi perang
melawan kelompok Islam Druz, yang mengakibatkan banyak kaum
Maronit tewas. Di saat inilah Prancis menempatkan pasukannya di
Lembah Bekka untuk melindungi kaum Maronit. Dan dalam kenyataan
hal ini membawa kaum Maronit pada kemajuan. Sejak saat itu,
bahasa Prancis umum dipakai di kalangan ini. Juga nama-nama
Prancis.
Kini kelompok ini menguasai sebagian besar kelas menengah dan
atas di Libanon, juga di dunia politik. Di antara kelompok
Kristen, merekalah tergolong paling fanatik dan paling
nasionalis.
Kelompok Kristen kedua terbesar adalah Kristen Yunani Ortodoks.
Seperti umumnya Kristen Timur Ortodoks, mereka pun tidak
mengakui kepemimpinan Paus di Vatikan. Tapi selain itu kelompok
ini juga memutuskan hubungannya dengan Gereja Kristen Yunani
Ortodoks di abad ke-18. Tata cara ibadah mereka dekat dengan
tata cara Byzantine, tapi dengan liturgi Arab. Bagi orang asing,
akan terdengar tidak begitu berbeda dari mengaji.
Mereka bangga akan kebudayaan Arab yang dimiliki. Jumlahnya
kurang lebih 6% dari seluruh penduduk, dan umumnya bermukim di
Lembah Bekka. Di tempat merekalah kini bermukim pasukan Suriah.
Masih ada lagi sejumlah kclompok kecil Kristen. Seperti Katolik
Armenia, Katolik Jakobit dan Nestorian. Yang terakhir itu sangat
dikenal dalam sejarah hidup Nabi Muhammad: seorang rahib
Nestorian (Nasthura), bernama Buhaira, menjamu Muhammad yang
masih kanak-kanak dalam perjalanan ke Suriah, dan mcramalkan
masa depan beliau.
Juga terdapa kelompok Protestan yang disebarkan kaum misionaris
di awal abad ke-19. Jumlah keseluruhan sekte kecil ini sekitar
4% dari seluruh penduduk -- dan masing-masing beranggota kurang
lebih 30.000 orang.
Kini kelompok-kelompok agama itu sudah menjadi kekuatan-kekuatan
politik, dan umumnya bernaung di bawah sebuah partai politik.
Sebagian malah membentuk pasukan bersenjata. Dan paling tidak,
tiga kelompok saling adu kekuatan -- di bawah pengaruh beberapa
pemimpin yang sudah berusia 70-an.
Camile Chamoun (Kamil Syamun) bekas presiden Libanon, kini
bermarkas di tenggara Beirut, memimpin Partai Liberal Nasional.
Di tempat ini bermukim pula kelompok Islam Druz. Clash kecil di
antara kedua kelompok merupakan kejadian sehari-hari. Camile
Chamoun adalah salah seorang yang bertanggungjawab tas masuknya
kekuatan asing ke Libanon. Tahun 1958 dia mengundang pasukan
Amerika Serikat untuk terlibat dalam sebuah krisis politik.
Suleiman Franjieh adalah bekas presiden yang lain. Ia memimpin
sekelompok Maronit di bagian utara Libanon, bermarkas di Desa
Zghorta. Pemimpin yang satu ini sebenarnya berwatak tenang,
namun kelompoknya termasuk yang tak mau berkompromi dengan
Kristen lainnya. Beberapa tahun lalu, dalam suatu pertikaian
politik, anaknya Tony Franjieh mati ditembak -- bersama dengan
menantu serta cucunya dan puluhan orang lain. Dan itu terjadi
setelah sebelumnya ia menghabisi nyawa puluhan orang (pengikut
Pierre Gemayel) -- di dalam sebuah gereja . . .
Pierre Gemayel sendiri seorang pemimpin yang punya peran paling
besar di antara kelompok Kristen. Partainya, Falangis, merupakan
pusat berkumpulnya kaum Maronit. Ia juga sebenarnya lebih suka
mengambil jalan lunak, tapi keadaan memaksanya menjadi ekstrim.
Di bawah partai Falangis ini dibentuk sebuah pasukan bersenjata.
Pasukan itu dipimpin anak sang ketua Bechir Gemayel (Basyir
Jumayil) - terdiri dari 70.000 orang pasukan khusus, berbagai
persenjataan modern, termasuk 40 buah tank.
Mereka menduduki daerah di sekitar Beirut dan Tripoli -- dan
dari sana memerangi berbagai kekuatan lain. Gerilya Palestina,
Pasukan Suriah, kelompok Suleiman Franjieh. Merekalah yang
bertanggungjawab atas kematian Tony Franjieh.
Pasukan Suriah masuk ke Libanon tahun 1976 bersama pasukan Liga
Arab. Awalnya bertujuan menjadi polisi dalam kericuhan Libanon,
akibat kehadiran pengungsi Palestina. Tapi ketika pasukan Liga
Arab berangsur-angsur ditarik mundur -- yang terakhir pasukan
Arab Saudi, 1979 -- pasukan Suriah ngotot untuk tinggal. Dengan
kekuatan 25.000 orang, Suriah kini praktis menguasai Lembah
Bekka. Dan merekalah praktis yang berdiri di belakang Elias
Sarkis, tokoh Kristen Orthodoks Yunani yang jadi presiden kini.
Dan kehadiran merekalah, bersama pengungsi Palestina, yang
membuat perangsaudaradi Libanon menjadi lebih runyam: perang
Arab-lsrael. Bila kelompok Islamnya bergabung kekelompok Arab,
maka kelompok Kristen, mudah diduga, main mata dengan Israel.
Israel sendiri dalam lima tahun terakhir memang membantu dengan
tetap pasukan Falangis. Mereka memasukkan senjata lewat
pelabuhan Junieh di utara Beirut. Perdana Menteri Menahem Begin
resmi menyatakan solidaritas Israel pada kelompok Kristen
Libanon, dan berjanji akan tetap menyokong.
Tapi suatu kali, di hari-hari yang paling hitam, bantuan itu tak
datang. Israel ternyata tak sesungguhnya ingin membantu kaum
Kristen Libanon-maklum Yahudi. Merasa daerah kekuasaan Falangis
tidak strategis untuk memerangi gerilya Palestina, Israel
menggeser bantuannya ke kelompok lain.
Di selatan Libanon, tepat di daerah antara Israel dan daerah
gerilya Palestina, Israel membangun pasukan sendiri. Daerah itu
kini dikenal sebagai daerah kekuasaan Mayor Saad Haddad seorang
bekas perwira Pasukan Libanon yang antek Israel. Bahkan seragam
pasukan Haddad konon sama dengan seragam pasukan Israel.
Kini, kaum Maronit disebut-sebut sebagai kelompok yang mewakili
golongan Kristen Libanon. Camile Chamoun diduga terpilih sebagai
pemimpin di kalangan mereka, dengan Bechir Gemayel dari kelompok
Falangis sebagai kepala pasukannya.
Kecuali kelompok Franjieh dan kelompok Katolik Armenia, berbagai
kelompok Kristen secara aklamasi menyetujui struktur
kepemimpinan ini. "Saya merasa sebagai seorang Maronit bila
harus berhadapan dengan kelompok Islam," kata seorang penganut
Kristen Yunani Ortodoks.
Tapi tak seorang pun berani meramalkan hasil perjuangan
minoritas yang terjepit itu. "Sebelum perang saudara," kata
seorang pengamat, "harusnya kelompok Kristen lebih awas melihat
perkembangan keadaan. Mereka harusnya mau membagi kekuasaan
dengan umat Islam. Kalau saja mereka mampu melihat ke depan,
besar kemungkinan sekarang mereka masih memegang kendali."
Hari rupanya sudah senja bagi kelompok Kristen Libanon. Lima
tahun lalu, daerah itu masuk "daerah panas" nomor 17 di dunia.
Kini, tak syak nomor 1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini