INI cerita mengenai sebuah kampung yang sejak Indonesia merdeka
nyaris tidak dipedulikan. Namanya Baganbatu di Desa
Bagansenembah, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Dihuni
sekitar 500 jiwa, terdiri dari petani dan penebang kayu, kampung
ini miskin dan terpencil.
Jangankan bupati atau gubernur, camat pun tak pernah menjenguk
Kampung Bandarbatu. Kepala kampungnya sendiri berkantor di
Bagansenembah, sebuah desa atau kepenghuluan lain, beberapa
kilometer dari Baganbatu. Kampung ini tiba-tiba jadi menarik
perhatian, karena sempat menjadi rebutan antara Riau dan Sum-Ut
(TEMPO, 16 Agustus 1980).
Bulan lalu Menteri Dalam Negeri Amirmachmud memutuskan Baganbatu
masuk wilayah Provinsi Riau. Hal ini terutama untuk lebih
memastikan kampung itu masuk ke dalam wilayah pemilihan mana
--menghadapi pemilu tahun depan. Dalam dua kali pemilu (1971 &
1977) penduduk kampung itu toh memang sudah menjadi pemilih
untuk Riau.
Pernah diakui Bupati Labuhanbatu, Jalaluddin Pane, Pemda Sum-Ut
memang tak pernah menjamah kampung tersebut. "Hubungan ke sana
sangat sulit," katanya. Sedang Pemda Riau, dengan anggaran
terbatas, cukup menaruh perhatian. Misalnya tahun lalu ketika
Pjs. Gubernur Prapto Prajitno menyerahkan delapan ekor kerbau
untuk diternakkan penduduk.
Pemda Sum-Ut nampaknya juga sulit berkutik ketika orang-orang
Riau membuka-buka kembali kitab kuno Babul Khoit -- peninggalan
Kerajaan Siak Sri Inderapura. Buku itu mencatat bahwa batas
Karesidenan Riau di sebelah utara adalah Sungai Barumun -- 20
kilometer di Bandarbatu.
Awal cerita rebutan wilayah antara Pemda Sum-Ut dan Riau itu
dimulai ketika Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan dan Bupati
Labuhanbatu meninjau perkebunan kelapa sawit, karet dan cokelat
tahun lalu. Perkebunan yang diusahakan oleh PTP IV itu terletak
di kawasan dekat perbatasan Sum-Ut dan Riau.
Ketika meneliti selembar peta, Tambunan jadi heran: ternyata
Baganbatu masuk wilayah Kabupaten Labuhanbatu, Sum-Ut. Tapi
selama ini kok jadi urusan Provinsi Riau? Sejak itu Pemda
Kabupaten Labuhanbatu mulai membangun beberapa kantor di sana
--seperti Kantor Babinsa. Padahal Kodim Bengkalis pun sudah
sejak lama punya Babinsa pula di sana, hingga pos keamanan sana
jadi dobel.
Yang membuat suasana makin riuh ialah adanya perpindahan
penduduk dari Labuhanbatu. Mereka membuka hutan dan menetap di
Baganbatu. Mereka berduyun-duyun ke sana karena PTP IV yang
membuka perkebunan kelapa sawit itu juga mengembangkan sistem
perkebunan inti: memberi kesempatan penduduk menjadi small
holder - kebagian kredit dan areal tanaman.
"Serbuan dari utara" itu membuat penduduk asli, yang sudah
puluhan tahun hidup mati di sana, jadi marah. Mereka yang punya
daerah, begitu anggapan mereka, orang luar yang dapat rezeki.
Ketika suatu saat Pjs. Gubernur Riau Prapto Prajitno berkunjung
ke sana, banyak penduduk beramai-ramai menyatakan rasa tak puas.
Bahkan ada yang bermaksud menghalau pendatang.
"Untung hal itu bisa dicegah," ujar Ka Humas Pemda Riau, Rusdi
S. Abrus. Gubernur kemudian berjanji menyelesaikan hal itu.
Itulah sebabnya kemudian Depdagri mengirim sebuah tim ke
Bandarbatu, "untuk meneliti persisnya tapal batas dan mencari
tahu latar belakang kemarahan penduduk," kata seorang pejabat di
Pakanbaru.
Berjalan Lambat
Kini Baganbatu merupakan sebuah RK (Rukun Kampung) dalam
Kepenghuluan Bagansenembah. Dulu terletak di pinggir jalan
setapak, kini jalan itu sudah diaspal oleh Caltex, menghubungkan
Bagansenembah (Riau) dengan Kota Pinang (Sum-Ut). Beberapa
perusahaan bis membuka trayek. Setiap hari bis dan oplet lalu
lalang di sana.
Meski kawasan ini sudah mulai terbuka, penduduknya masih tetap
miskin. Mereka kebanyakan tinggal di gubuk-gubuk tua dan reyot.
Mereka terdiri dari orang Melayu Riau (penduduk asli), ditambah
pendatang dari Mandailing (Tapanuli Selatan). Ada pula beberapa
orang Jawa, bekas buruh perkebunan karet di Rantauprapat --
mereka tinggal di sana sejak 1935.
Sehari-hari mereka bekerja sebagai tukang arit kayu, penakik
getah dan bertani. Hanya sedikit yang berdagang. Kampung
Baganbatu tak punya balai pengobatan. Sebuah SD berlantai tanah
berdiri tahun lalu. Menurut Penghulu Bagansenembah, Wan Muhammad
Nur Baganbatu dibuka sekitar tahun 1935.
Yang merintis adalah sebuah perusahaan penambangan minyak milik
Belanda. Ketika itu mulai banyak penduduk sekitarnya berdatangan
masuk. Tapi tak lama kemudian perusahaan minyak tersebut
menghentikan kegiatannya. Dan sejak itu pula perkembangan
Kampung Baganbatu berjalan amat lambat.
"Bayangkan, pada Pemilu 1971 ada 12 rumah. Dan enam tahun
kemudian, pada Pemilu 1977, baru bertambah jadi 32 rumah. Dan
sekarang hanya mencapai sekitar 100 rumah saja. Sangat lambat,"
ujar Wan Muhammad Nur. Dan setelah masuk Riau, adakah manfaatnya
buat penduduk?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini