Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Baganbatu Ada Yang Punya

Kampung baganbatu di bagansenembah menjadi sengketa pemda su-mut & riau. menurut peta masuk wilayah su-mut. sejak proklamasi kampung itu diurus riau. mendagri memutuskan baganbatu masuk riau.(dh)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita mengenai sebuah kampung yang sejak Indonesia merdeka nyaris tidak dipedulikan. Namanya Baganbatu di Desa Bagansenembah, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Dihuni sekitar 500 jiwa, terdiri dari petani dan penebang kayu, kampung ini miskin dan terpencil. Jangankan bupati atau gubernur, camat pun tak pernah menjenguk Kampung Bandarbatu. Kepala kampungnya sendiri berkantor di Bagansenembah, sebuah desa atau kepenghuluan lain, beberapa kilometer dari Baganbatu. Kampung ini tiba-tiba jadi menarik perhatian, karena sempat menjadi rebutan antara Riau dan Sum-Ut (TEMPO, 16 Agustus 1980). Bulan lalu Menteri Dalam Negeri Amirmachmud memutuskan Baganbatu masuk wilayah Provinsi Riau. Hal ini terutama untuk lebih memastikan kampung itu masuk ke dalam wilayah pemilihan mana --menghadapi pemilu tahun depan. Dalam dua kali pemilu (1971 & 1977) penduduk kampung itu toh memang sudah menjadi pemilih untuk Riau. Pernah diakui Bupati Labuhanbatu, Jalaluddin Pane, Pemda Sum-Ut memang tak pernah menjamah kampung tersebut. "Hubungan ke sana sangat sulit," katanya. Sedang Pemda Riau, dengan anggaran terbatas, cukup menaruh perhatian. Misalnya tahun lalu ketika Pjs. Gubernur Prapto Prajitno menyerahkan delapan ekor kerbau untuk diternakkan penduduk. Pemda Sum-Ut nampaknya juga sulit berkutik ketika orang-orang Riau membuka-buka kembali kitab kuno Babul Khoit -- peninggalan Kerajaan Siak Sri Inderapura. Buku itu mencatat bahwa batas Karesidenan Riau di sebelah utara adalah Sungai Barumun -- 20 kilometer di Bandarbatu. Awal cerita rebutan wilayah antara Pemda Sum-Ut dan Riau itu dimulai ketika Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan dan Bupati Labuhanbatu meninjau perkebunan kelapa sawit, karet dan cokelat tahun lalu. Perkebunan yang diusahakan oleh PTP IV itu terletak di kawasan dekat perbatasan Sum-Ut dan Riau. Ketika meneliti selembar peta, Tambunan jadi heran: ternyata Baganbatu masuk wilayah Kabupaten Labuhanbatu, Sum-Ut. Tapi selama ini kok jadi urusan Provinsi Riau? Sejak itu Pemda Kabupaten Labuhanbatu mulai membangun beberapa kantor di sana --seperti Kantor Babinsa. Padahal Kodim Bengkalis pun sudah sejak lama punya Babinsa pula di sana, hingga pos keamanan sana jadi dobel. Yang membuat suasana makin riuh ialah adanya perpindahan penduduk dari Labuhanbatu. Mereka membuka hutan dan menetap di Baganbatu. Mereka berduyun-duyun ke sana karena PTP IV yang membuka perkebunan kelapa sawit itu juga mengembangkan sistem perkebunan inti: memberi kesempatan penduduk menjadi small holder - kebagian kredit dan areal tanaman. "Serbuan dari utara" itu membuat penduduk asli, yang sudah puluhan tahun hidup mati di sana, jadi marah. Mereka yang punya daerah, begitu anggapan mereka, orang luar yang dapat rezeki. Ketika suatu saat Pjs. Gubernur Riau Prapto Prajitno berkunjung ke sana, banyak penduduk beramai-ramai menyatakan rasa tak puas. Bahkan ada yang bermaksud menghalau pendatang. "Untung hal itu bisa dicegah," ujar Ka Humas Pemda Riau, Rusdi S. Abrus. Gubernur kemudian berjanji menyelesaikan hal itu. Itulah sebabnya kemudian Depdagri mengirim sebuah tim ke Bandarbatu, "untuk meneliti persisnya tapal batas dan mencari tahu latar belakang kemarahan penduduk," kata seorang pejabat di Pakanbaru. Berjalan Lambat Kini Baganbatu merupakan sebuah RK (Rukun Kampung) dalam Kepenghuluan Bagansenembah. Dulu terletak di pinggir jalan setapak, kini jalan itu sudah diaspal oleh Caltex, menghubungkan Bagansenembah (Riau) dengan Kota Pinang (Sum-Ut). Beberapa perusahaan bis membuka trayek. Setiap hari bis dan oplet lalu lalang di sana. Meski kawasan ini sudah mulai terbuka, penduduknya masih tetap miskin. Mereka kebanyakan tinggal di gubuk-gubuk tua dan reyot. Mereka terdiri dari orang Melayu Riau (penduduk asli), ditambah pendatang dari Mandailing (Tapanuli Selatan). Ada pula beberapa orang Jawa, bekas buruh perkebunan karet di Rantauprapat -- mereka tinggal di sana sejak 1935. Sehari-hari mereka bekerja sebagai tukang arit kayu, penakik getah dan bertani. Hanya sedikit yang berdagang. Kampung Baganbatu tak punya balai pengobatan. Sebuah SD berlantai tanah berdiri tahun lalu. Menurut Penghulu Bagansenembah, Wan Muhammad Nur Baganbatu dibuka sekitar tahun 1935. Yang merintis adalah sebuah perusahaan penambangan minyak milik Belanda. Ketika itu mulai banyak penduduk sekitarnya berdatangan masuk. Tapi tak lama kemudian perusahaan minyak tersebut menghentikan kegiatannya. Dan sejak itu pula perkembangan Kampung Baganbatu berjalan amat lambat. "Bayangkan, pada Pemilu 1971 ada 12 rumah. Dan enam tahun kemudian, pada Pemilu 1977, baru bertambah jadi 32 rumah. Dan sekarang hanya mencapai sekitar 100 rumah saja. Sangat lambat," ujar Wan Muhammad Nur. Dan setelah masuk Riau, adakah manfaatnya buat penduduk?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus