Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ini Bukan Dearabisasi

13 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH kontroversi qiraah Quran langgam Jawa, kini ada Islam Nusantara yang menyedot perhatian. Apalagi setelah pemerintah seperti memberi ruang kepada para pengusungnya, yang berdalih nilai Islam di Indonesia memiliki kekhasan.

Penolakan dari kelompok Islam garis keras tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk terus mendorong gerakan Islam Nusantara. "Mereka salah paham. Islam Nusantara bukan ideologi," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam wawancara khusus dengan Jobpie Sugiharto dan Sunudyantoro dari Tempo, 9 Juli lalu.

Anda mengangkat bacaan Quran berlanggam Nusantara. Bagaimana Anda menjelaskan ini kepada mereka yang menolaknya?

Islam Nusantara ini bukan Islam Jawa, apalagi Jawanisasi Islam. Bukan pula dearabisasi. Esensinya adalah bagaimana tradisi dijaga. Qiraah atau tilawah langgam Nusantara juga kebetulan saja ada di pesantren-pesantren di daerah-daerah pedesaan di Jawa. Saya memahami di kalangan umat Islam ada pro dan kontra. Lagi-lagi ini sebuah pendekatan. Tidak setuju tidak apa-apa.

Apakah akan ada musabaqah Quran langgam Nusantara?

Kami serahkan semua ke masyarakat. Ini semua berpulang ke masyarakat. Apakah ini mau dibikin lomba atau apa, ya monggo, masyarakat.

Sekarang soal Islam Nusantara. Bagaimana Anda menanggapi reaksi keras para penolak gagasan Islam Nusantara?

Mereka salah karena memahami Islam Nusantara itu sebagai ideologi. Padahal hanya berupa sebuah pendekatan. Misalnya bagaimana menempatkan perempuan. Di sejumlah negara Timur Tengah, perempuan tak punya keleluasaan. Mereka tak boleh menyetir, tak boleh bepergian sendiri, bahkan tidak boleh ke tempat ibadah. Di Indonesia, perempuan boleh melakukan itu semua. Pemahaman nilai agama dikaitkan dengan realitas dalam konteks keindonesiaan. Memang ada yang menggunakan pendekatan lain. Mereka berlawanan dengan tradisi. Mereka membuang atau menghancurkan tradisi.

Islam Indonesia lebih akomodatif terhadap kultur dan tradisi?

Nilai Islam mengalami akulturasi, sepanjang tradisi itu secara prinsip tidak menyimpang dari nilai Islam. Untuk Indonesia, inilah yang paling tepat. Misalnya, bagaimana relasi agama dengan negara. Di sejumlah negara, relasi itu diformalkan, sehingga kemudian membentuk negara Islam. Dalam negara Islam, untuk membumikan nilai Islam, negara secara formal terlibat. Ini terjadi di banyak negara Timur Tengah. Tapi ada juga negara yang sama sekali memisahkan urusan agama dengan negara. Ini adalah negara sekuler. Urusan agama diserahkan ke individu. Indonesia bukan keduanya. Indonesia bukan negara Islam meski mayoritas terbesar beragama Islam. Sebaliknya, Indonesia bukan negara yang sama sekali sekuler. Dalam dasar negara Pancasila dan konstitusi, nilai agama cukup kental mewarnai.

Bagaimana Anda memperlakukan kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju dengan gagasan Islam Nusantara?

Perlu ada dialog. Pihak yang mengusung Islam Nusantara ataupun yang berseberangan juga harus arif. Pengusung Islam Nusantara harus lebih rendah hati dan terbuka menjelaskan kepada mereka. Islam Nusantara tak menegasikan pengaruh Arab.

Bagaimana Islam Nusantara bisa menjangkau orang yang mengedepankan ideologi yang dekat dengan kekerasan?

Urgensi dan relevansi Islam Nusantara menemukan momentumnya di tengah berkembangnya paham Islam yang dengan mudah mengkafirkan kelompok lain. Dunia berpikir, jangan-jangan model Islam Indonesia yang tepat untuk seluruh umat Islam.

Islam Nusantara menjadi semacam obat penawar Islam yang gampang mengkafirkan?

Ya, ini semacam penawar, juga model untuk menerapkan nilai Islam yang bisa ditiru di tempat lain. Nilai-nilai Islam dibumikan dengan penuh kedamaian. Pada dasarnya damai, rukun, harmoni itu kan impian hidup kita semua.

Bagaimana Anda mencegah munculnya radikalisme di kalangan pemeluk agama?

Ekstremisme agama itu akarnya ada dua. Pertama, itu merupakan respons dari perlakuan tidak adil yang dia hadapi. Ketika seseorang atau kelompok diperlakukan tidak adil di banyak aspek secara terus-menerus, sehingga tidak mampu melakukan perlawanan secara benar, mereka melakukan jalan pintas kekerasan atas nama agama. Itu cara instan mereka untuk melawan ketidakadilan. Kedua, ada paham keagamaan yang dijadikan pembenaran melakukan kekerasan. Nah, soal yang pertama bukan kewenangan Kementerian Agama. Itu tanggung jawab kita semua, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara adidaya juga harus terlibat.

Kementerian Agama mengurus paham agama yang menghalalkan kekerasan itu?

Ya, Kementerian Agama lebih mengurus aspek bagaimana pemahaman keagamaan yang tidak tepat itu harus diluruskan. Ini yang sekarang kami lakukan, deradikalisasi. Meski dari sisi istilah deradikalisasi juga problematik. Orang beragama tentu harus mengakar. Radikal itu bukan persoalan. Yang menjadi persoalan adalah radikal itu dijadikan doktrin mentoleransi kekerasan. Kami melakukan kajian, penelitian, melibatkan ormas keagamaan agar radikalisme agama tidak berujung pada pembenaran terhadap tindak kekerasan.

Mengapa sampai harus ada rencana mendirikan kampus Islam yang mengajarkan paham moderat?

Presiden menekankan pentingnya model Islam damai. Kita tidak tahu 10-20 tahun ke depan corak Islam Indonesia yang ramah ini masih bertahan. Jangan-jangan akan seperti Suriah atau negara lain yang bergolak. Siapa yang bisa menjamin. Itulah sebabnya peradaban ini harus dikelola. Untuk menjaga dan mengembangkan peradaban yang selama ini kita nilai sangat baik itu harus ada perguruan tinggi. Indonesia belum punya perguruan tinggi yang representatif untuk kajian Islam corak Indonesia.

Apakah universitas Islam negeri yang sudah banyak berdiri di Indonesia tidak cukup?

Kami ingin melengkapinya. Tidak perlu kampus yang bangunan fisiknya besar. Kami ingin pusat studi ini membahas keislaman secara lengkap. Misalnya kajian tentang Islam Nusantara. Kami tidak ingin mengganggu universitas Islam negeri yang sudah ada. Perguruan ini lebih kepada pendidikan strata 2 dan strata 3. Sementara Mesir punya Al-Azhar, masak Indonesia tak punya kampus yang representatif. Saya bersama kawan-kawan, di antaranya Komaruddin Hidayat, Din Syamsuddin, Said Aqil Siroj, menggagas kampus ini. Keinginan ini sudah lama muncul, tidak hanya di era sekarang. Saya sudah menyampaikan ini ke Presiden dan Wakil Presiden, yang menyambut baik gagasan itu. Jadi ini kebutuhan buat umat Islam Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus