Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN Mohamad Syafi' Ali jadi berlipat sejak pertengahan Juni lalu. Bukan hanya karena rutinitasnya memimpin media NU online dan menjadi panitia Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, lelaki ceking berambut gondrong itu berada di garda depan mengkampanyekan Islam Nusantara di media massa.
Sejak mulai mencuat, dan diserang kanan-kiri, Syafi' terpaksa menyiapkan "amunisi" untuk menjawab para pengkritik. "Kok, tiba-tiba Islam yang menghargai tradisi Indonesia dipermasalahkan?" katanya, 6 Juli lalu.
Syafi' menggalang opini dengan bantuan rekan-rekan nahdliyin, baik di media massa maupun jejaring media sosial. Aneka forum diskusi juga digelar. Kadang saling ledek dengan kubu seberang dengan baku lempar meme alias gambar parodi. Semakin dekat dengan pelaksanaan muktamar, yang akan digelar pada 1-5 Agustus nanti di Jombang, Jawa Timur, tambah santer kampanye Islam Nusantara dilancarkan.
Bermula dari pidato Presiden Joko Widodo dalam acara istigasah akbar dan pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada 14 Juni lalu. Ketika itu, di hadapan sekitar 4.000 hadirin, Presiden mengatakan dirinya bersyukur karena Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia tak dilanda perpecahan seperti di sejumlah negara Timur Tengah. "Alhamdulillah, Islam kita Islam Nusantara," ujarnya.
Jokowi lantas melanjutkan bahwa Islam Nusantara penuh toleransi dan sopan santun. Isi pidato Presiden itu tak lepas dari tema yang akan diangkat dalam Muktamar NU, yakni meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia. Hadir para tokoh dari kalangan NU dan pemerintahan, juga Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Sebelum Jokowi naik mimbar, pidato Ketua Umum NU KH Said Aqil Siroj lebih keras. Menyasar kelompok Islam yang intoleran, dia menyeru warga nahdliyin yang diklaim sekitar 80 ribu orang agar melawan kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. "Mengawal Islam Nusantara adalah tugas Nahdlatul Ulama," kata Said Aqil.
Kontan "peluncuran" Islam Nusantara itu menuai pro dan kontra, terutama dalam diskusi dan debat di media sosial. Pihak yang kontra menuding itu ajaran sesat yang menggabungkan agama dengan budaya klenik. "Islam diturunkan bukan untuk mempertahankan budaya," ucap Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Irfan S. Awwas, 9 Juli lalu.
Irfan lantas menguraikan bahwa Islam Nusantara datang dari pemikiran tokoh kebatinan Joyodiningrat, yang dikembangkan sejak 1940-an. Karena mengikuti paham Joyodiningrat yang dicap komunis, Islam Nusantara dia simpulkan merupakan upaya membangkitkan gerakan serupa di Indonesia. Irfan menantang para tokoh Islam Nusantara berdebat terbuka. "Mereka harus siap dengan debat terbuka dengan kami," ujar pemimpin organisasi kemasyarakatan Islam berpaham Wahabi itu.
Adapun anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia, Fahmi Salim Zubair, mengakui ada beberapa konsep Islam yang beragam. Tapi dia mengingatkan kalangan penyokong Islam Nusantara agar tidak membenturkan dengan konsep Islam lainnya. "Supaya tak ada kesan anak emas dan anak tiri," katanya dalam diskusi tentang Islam Nusantara di kediaman dinas Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Jalan Widya Chandra, Jakarta, 7 Juli lalu. Dia menambahkan, kekerasan di dunia Arab terjadi bukan karena Islam, melainkan akibat konflik politik.
Namun gesekan terbaru kelompok pro-tradisi versus pro-puritan sebenarnya diawali sebulan sebelum Presiden Jokowi berpidato di Istiqlal. Dalam acara peringatan Isra Mikraj di Istana Negara pada 15 Mei lalu, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Muhammad Yasser Arafat, melantunkan Surah An-Najm ayat 1-15 dengan langgam Jawa.
Pihak yang tak setuju berpendapat bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dan dibaca dengan cara seperti ketika diturunkan. Sedangkan Menteri Lukman menilai, "Langgam daerah bagian dari konsep Islam Nusantara, silakan masyarakat mendiskusikannya."
Adu argumen bahkan memunculkan istilah baru dari pihak yang kontra untuk menyebut kelompok yang menyetujui praktek Islam Nusantara, yakni Jemaat Islam Nusantara (JIN). "Itu labelisasi untuk memberi makna negatif," ujar Syafi'.
Tekanan itu justru membuat para penyokong paham toleransi semakin bersemangat menyorongkan konsep Islam Nusantara. Tim Syafi' aktif memproduksi tulisan untuk media massa dan materi khotbah Jumat yang mendukung Islam Nusantara. "Mungkin, kalau tidak ada yang nyinyir, kami biasa saja."
Aktivis Islam, Ulil Abshar Abdalla, mengatakan pihak yang keberatan dengan Islam Nusantara tahu bahwa mereka menjadi sasaran tembak NU menjelang muktamar. Menurut dia, pihak yang terganggu terutama adalah kelompok Wahabi. Organisasi NU sendiri lahir dipicu oleh menguatnya kelompok Wahabi di Arab Saudi.
Kini pengaruh Wahabi menguat di Indonesia seiring dengan maraknya kampanye anti-Syiah. NU juga menilai pandangan Syiah tidak benar, tapi tak pernah melakukan gerakan masif untuk menghancurkan kelompok itu. "Islam Nusantara tak menghendaki benturan sosial," ujar salah satu pencetus Jaringan Islam Liberal ini.
Aksi mempromosikan Islam Nusantara yang semakin santer juga dipicu oleh gerakan radikalisme Islam yang mulai membesar di dalam negeri dan internasional dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "Islam Nusantara ujungnya mengikis paham radikalisme dan terorisme," kata Imam Aziz, Ketua Panitia Muktamar NU.
Dhyah Madya Ruth S.N., penggiat Yayasan Lazuardi Birru, yang berfokus pada toleransi, mengungkapkan perkembangan yang mengkhawatirkan tentang potensi radikalisme yang semakin besar. Dari 800-900 narapidana perkara terorisme yang segera bebas dari penjara, 200-300 akan bebas tahun ini.
Dia tak yakin program deradikalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum selama ini mampu menghilangkan berbagai tindakan intoleransi. Apalagi tindakan intoleransi dipicu oleh keyakinan dan ideologi yang memang sulit diubah. "Yang mungkin dilakukan adalah memberikan warna pemikiran yang lain, termasuk memberikan opsi-opsi kehidupan yang lain," katanya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga bekerja sama dengan para tokoh agama mengikis paham radikalisme di masyarakat dan mantan teroris. Menurut mantan Ketua Badan Nasional Ansyaad Mbai, beragam pendekatan dilakukan, bahkan kepada para pelaku terorisme yang masih di dalam penjara. "Hasilnya itu wallahualam," katanya. "Radikalisme itu pikiran orang, siapa yang tahu pikiran orang."
Jobpie Sugiharto, Prihandoko (Jakarta), Anang Zakaria (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo