Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Langgam yang Tumbuh dari Dalam

Empat langgam lokal Gorontalo terus hidup dan sehat. Bahkan sebuah musabaqah langgam lokal diadakan di tingkat provinsi.

13 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramadan masih sebulan lagi, tapi keriuhan yang berlangsung di alun-alun Kabupaten Bone Bulango, Kecamatan Kabila, Gorontalo, tidak ubahnya seperti Idul Fitri. Kerumunan orang, masing-masing berhias dengan pakaian terbaik, tiba-tiba menyerbu pusat kota itu. Pak Wakil Gubernur, Pak Bupati, Pak Wali Kota, Pak Camat, serta birokrat lain membatalkan agenda demi menghadiri perhelatan besar Provinsi Gorontalo ini. Namun yang paling menarik adalah barisan ibu-ibu dengan jilbab berseragam yang mewakili 74 kecamatan di Provinsi Gorontalo: anak, cucu, menantu, serta tetangga ikut mengantar dan mendukung para jagoan kecamatan yang akan berlaga.

Inilah Saadela Lo Ngadi Wunu-wunungo—disingkat SNW—tingkat provinsi yang diselenggarakan pada Mei 2015. SNW adalah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dengan cita rasa lokal. Ya, seminggu sebelum pecah kontroversi menyusul pembacaan Surah Al-Hasyr ayat 21-24 dan An-Naba' ayat 31-40 dalam langgam Jawa pada peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jakarta, tanpa gembar-gembor Provinsi Gorontalo mengadakan musabaqah istimewa ini. Baik langgam, melodi, ornamentasi, variasi, maupun warna suara beraroma khas Gorontalo. Sementara MTQ hanya menghalalkan qiraah sab'ah atau tujuh langgam standar (bayati, shoba, hijaz, nahawan, rost, jiharkah, dan sikah), SNW mengenal empat langgam setempat: amudi, banjara, masiri, dan arabi. Begitulah penjelasan Lukman D. Katili, pengurus Lembaga Pengembangan Tilawatul Quran (LPTQ) Provinsi Gorontalo, kepada Tempo, dua pekan lalu.

Di atas panggung berukuran 10 x 6 meter, sembilan orang duduk bersimpuh, membentuk sebuah bangun setengah lingkaran. Dari titik pusat lingkaran itu, seorang qariah (pelantun Quran) mendaras sebaris doa dalam langgam masiri. Taqabbalallahu wa minkum, kata dia—yang kemudian dijawab-digenapi kawan-kawan sepengajian dengan minna wa minkum ya karim ("terimalah kita semua, wahai Yang Maha Pemurah"). Sang qariah membangun sepotong dialog dengan kawan-kawan di sekitarnya.

Dalam dialog ini, posisinya ibarat solois yang menghadapi sebuah orkestra lengkap. Ia seakan-akan memainkan beberapa baris melodi, dan yang lain kemudian merespons pernyataan musiknya. Setelah beberapa ayat berlalu, rekan sepengajian akan menjawab dengan al hamdulillahi zil jalaal atau assalamu alaikum nasykuru nashrakum atau ya muhaiminu ya salaam, salimnaa wal muslimin atau ya arhamar rahimin, dan seterusnya.

Bukan cuma itu. Diam-diam ia juga mengguratkan garis melodi—dalam langgam setempat—sekaligus berjanji tak bakal meninggalkan untaian nada-nada itu sebelum mengakhiri qiraah atau pembacaan Quran. Jelas ia telah menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti satu dari empat langgam lokal Gorontalo tersebut sebelum membaca. Namun para peserta umumnya tahu diri untuk tidak memilih langgam amudi, yang menuntut terlalu banyak: kemampuan melejitkan suara dari nada rendah ke nada-nada tertinggi dalam satu tarikan napas.

Pada dasarnya para peserta yang sudah tak muda lagi itu tidak mengalami kesulitan berarti untuk memenuhi kaidah hukum tajwid dan makharijul. Dalam masyarakat Gorontalo, yang lebih banyak menggunakan bahasa lisan ketimbang tulis serta gemar bersenandung, terbentuk sebuah mekanisme khusus untuk selalu mengoreksi kesalahan membaca Quran. Mekanisme ini terpelihara dengan baik dalam pengajian wunungo.

Itulah, "Tradisi turun-temurun membaca Quran yang tidak melanggar ilmu tajwid dan makharijul huruf," ucap Kepala Bidang Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Gorontalo Sabara K. Ngou. Dengan kata lain, meski aspek keindahan sangat penting, musik tak boleh mengalahkan makna dan tajwid kitab suci.

Pada Jumat pagi dua pekan lalu, seperti yang telah dijelaskan di atas, pengajian wunungo di Masjid At-Taubah di Dulomo Selatan, Kecamatan Koba Utara, Gorontalo, dibuka dengan taqobalallahu minkum, yang dijawab dengan minna wa minkum ya karim. Pengajian atau tadarusan dalam langgam tradisional masiri ini bergerak perlahan karena qariah berkali-kali harus menghentikan lantunannya guna memberikan kesempatan kepada kawan-kawan sepengajiannya untuk membaca wunungo al hamdulillahi zil jalaal, selawat atau tahlil.

Dalam mekanisme yang perlahan dan sangat musikal ini, ustad pembimbing, Lukman D. Katili, dan ustad Rasin Dama, Ketua Harian LPTQ Gorontalo, memiliki otoritas penuh untuk melanjutkan atau menghentikan pengajian itu. Berulang kali mereka membetulkan tajwid, makhraj, bahkan langgam anak didiknya. Dengan cara ini, kemurnian langgam, tajwid, dan makhrajul hurufnya terpelihara.

Banyak cara di tanah Gorontalo ini yang ditempuh untuk meluruskan bacaan yang bengkok, membetulkan yang menyimpang. Di desa-desa, menurut Lukman dan Rasin, para guru pembimbing memiliki cara jitu untuk mengurangi kesalahan demi kesalahan yang dilakukan para muridnya. Para ustad di daerah terpencil ini senantiasa muncul di hadapan muridnya dengan piring dan sendok di tangan. Setiap kali seorang murid membuat kesalahan, denting suara sendok beradu dengan piring serta-merta akan menghentikannya, sampai akhirnya sang guru membetulkan bacaan muridnya.

Diakui atau tidak, Saadela Lo Ngadi Wunu-wunungo tingkat provinsi yang banyak diikuti para ibu dan nenek itu pun merupakan bagian dari mekanisme koreksi dalam skala lebih besar. Rasin, yang juga merupakan hakim SNW, dalam sepintas sudah bisa memperkirakan bahwa mayoritas peserta akan terbentur masalah napas. Napas yang pendek pada akhirnya akan memaksa qariah menghentikan bacaannya pada tempat-tempat yang salah.

"Karena tak sanggup lagi melanjutkan bacaannya, mereka akhirnya berhenti pada subyek atau predikat. Seharusnya mereka baru berhenti setelah membaca obyek," kata Rasin. Agar terhindar dari masalah ini, setiap peserta harus memahami makna setiap kata yang dibacanya.

Tradisi wunungo memiliki perbendaharaan syair dan lagu yang luas buat mengoreksi bacaan yang salah, memuji yang benar, bahkan mengingatkan murid yang tidak bisa menerima teguran sang guru. Untuk ini ada sebuah wunungo dalam bahasa Melayu khusus yang dilantunkan dalam melodi sangat bersahaja, "Jangan marah saudara ini membaca Quran." Kemudian ada lagi satu wunungo dalam bahasa Gorontalo untuk perbaikan, po opio hengadimu/ po opio hengadimu/ po opi yo hengadimu/ nadi-nadi di toti limu. Perbaiki bacaanmu karena nabi-nabi ada di sampingmu.

Memang terdapat warna lain dalam ungkapan itu. "Islam yang datang ke Gorontalo itu Islam yang sufistik," kata Lukman. Bukan yang fiqhi atau berorientasi pada pencarian salah dan benar, melainkan pada penegakan akhlak masyarakat. Wunungo sendiri, menurut Lukman, merupakan produk akulturasi budaya bersenandung pra-Islam, budaya luar (masiri, arabi, dan banjara mengindikasikan unsur Mesir, Arab, dan Banjar), budaya Islam dari Ternate dan Limboto pada abad ke-17. "Sejak itu masyarakat Gorontalo tak mengenal langgam selain empat langgam tradisional itu," kata Lukman.

Seperti pengembangan Islam oleh Wali Songo di Jawa, senandung gembala, mantra pemanggil hujan, dan mantra lain diberi napas Islam oleh para penyebar Islam di Gorontalo. Sering kali melodi setempat dipakai untuk menyampaikan selawat dan puji-pujian kepada Tuhan dan Nabi Muhammad. "Ini yang membedakannya dengan lagu-lagu nasional (tujuh langgam standar)," ujar Lukman, yang juga Sekretaris Jamiyatul Qurro wal Huffazh, perhimpunan para qari dan pembaca Al-Quran NU.

Maria Ulfah, qariah nasional yang menjuarai MTQ internasional di Kuala Lumpur pada 1980, punya penjelasan yang menarik tentang langgam lokal. "Penggunaan langgam menuntut kreativitas sendiri, variasi langgam bergantung pada mood sang qari," katanya. Di Gorontalo, langgam lokal mengiringi perjalanan hidup seorang manusia, dari bayi hingga dewasa, dan karena itu ia tumbuh dalam diri tiap individu. Langgam lokal lebih dari sekadar pengukuhan identitas lokal, tapi sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa Islam itu universal. Agama ini tumbuh dan hidup dalam segala suasana dan batas geografis: baik lokal maupun global.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus