Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUMNYA mengembang lebar, matanya berbinar-binar tanda isi hatinya yang sedang senang. Yosephine Solowop, perempuan berkulit gelap, melonjak kegirangan. Hari itu ia kembali menginjak tanah kelahirannya setelah puluhan tahun menetap sebagai pengungsi di Provinsi Manus, Papua Nugini. ”Come on!” serunya kencang seraya mengayunkan tangan, mengajak orang di belakangnya segera turun dari pesawat Hercules C-130.
Mendarat di Bandar Udara Sentani, Jayapura, pada Kamis siang akhir November lalu, perempuan 35 tahun itu berpenampilan trendi. Ia mengenakan kaus dan celana jins biru, dengan aksesori kalung mutiara dan anting-anting hijau muda. Dua token—tas dari anyaman bambu—menggantung di lengannya. ”Ini adat khas Manus,” ujarnya dengan nada bangga. Bibirnya merah oleh polesan lipstik.
Langkahnya hampir tak terhalang. Setelah bersalaman dengan pejabat dan tim penyambutan di pinggir Hercules, ia menjalani pemeriksaan kesehatan oleh petugas balai karantina Papua, antara lain pengecekan tekanan darah. Bergeser ke meja seberang, giliran pengecekan dokumen, antara lain surat perjalanan laksana paspor. Lolos. Ia lalu rehat di bawah tenda hijau di halaman parkir bandara sambil menikmati kue dalam kotak, bersama puluhan repatrian lainnya.
Rehat memang kemanjaan yang pantas setelah hari nan panjang. Sejak pukul 04.00, Yosephine telah siap menempuh perjalanan penting dalam hidupnya: meninggalkan tempat dia menetap sebagai pengungsi untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bangun, mandi, dan berkemas. Begitu pula suaminya dan ketiga anaknya. Mereka lalu berangkat menuju Bandara Wewak, Papua Nugini. Semalam diinapkan di barak Batalion Royal Pacific Infantry Regiment di Wewak. Di sini tersedia puluhan kamar dalam bangunan berlantai tiga, serta halaman berumput luas tempat anak-anak bebas berkejaran dan bermain.
Kedutaan Indonesia telah menjemput mereka. Dari Manus, mereka naik kapal melewati Madang. Dua hari habis di jalan. ”Kami menikmati perjalanan,” katanya. ”Tapi sekarang anak-anak tidak mau lagi makan biskuit karena sudah bosan,” katanya. Perbekalan yang disediakan tim penjemput repatrian memang biskuit, biskuit, dan biskuit. Sisa bungkusan biskuit dan botol kemasan terlihat di antara tumpukan tas besar milik para repatrian—orang-orang Papua yang pulang kembali ke kampung halaman mereka.
Sejak kecil Yosephine menetap di Manus. Ia menikah dengan Titus Solowop, pria asal Papua Nugini. Mereka dikaruniai tiga anak. Ayah Yosephine meninggal 30 tahun silam, sedangkan ibunya menyusul lima tahun lalu. Ia memutuskan pulang ke Papua setelah diajak saudara laki-lakinya, Peter Welip, untuk menggarap tanah adat. ”Saya akan ikut bekerja,” katanya. Ia berhasil mengajak serta suaminya untuk melepas pekerjaan sebagai pegawai negeri.
”Papua sudah aman, bagus,” kata Peter, yang duduk bersebelahan tak jauh dari adiknya. Menurut dia, perubahan itu sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Karena itu, Peter tak ragu untuk kembali ke kampung halaman. Dan sebagai kakak laki-laki tertua, sekaligus kepala adat dalam keluarga besar mereka, ia harus mengatur batas tanah di sana agar tidak dicaplok orang. Kabupaten Keerom, satu dari 14 daerah pemekaran di Papua, adalah tujuannya.
Peter menuturkan ia dan keluarganya sudah mengungsi sekitar 40 tahun ke Papua Nugini karena masalah politik masa itu. Sejak 1972, ia menggarap tanah orang di Manus. Sesekali ia ke Jayapura, antara lain untuk bertemu dengan saudaranya—sebagai pelintas batas ilegal. ”Tapi kali ini kepulangan yang sesungguhnya,” kata Peter, yang fasih berbahasa Indonesia dan Inggris. Ia meninggalkan saudara perempuan tertua mereka di Manus. Sesuai dengan tradisi, yang menjadi pemimpin atau kepala adat di Manus adalah saudara perempuan tertua dari satu garis keturunan. ”Jadi kami nanti bisa sekali-sekali menjenguk mereka,” kata Peter.
Urusan adat nan penting itulah yang menyemangati pria bertubuh mungil ini untuk merapikan diri, bergegas menuju bandara. Mertua, istri, dan tiga anaknya diajak serta. Tak ketinggalan tiga map kuning berisi dokumen keluarga. Ia banyak tersenyum. Koper cokelat muda keluaran 1990-an berada di tentengannya. Semangatnya tak susut meski keberangkatan tertunda sekitar empat setengah jam. Hercules terbang pukul 10.30. ”Saya mau pulang ke tanah lahir saya,” kata pria kelahiran 29 November 1959 ini.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini, Bom Soerjanto, pemerintah Indonesia memfasilitasi repatriasi atau pemulangan kembali sukarela orang-orang Papua ke tanah leluhur mereka. Mereka memilih pulang karena semakin terpuruk dan terancam diusir dari permukiman ilegal dan ketidakpastian perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta simpatisannya selama ini. Selain itu, mereka selama ini dekat dengan warga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Port Moresby, serta adanya otonomi khusus Papua, yang memberi mereka harapan memperoleh penghidupan layak.
Ketua Yayasan The Independent Group Supporting the Autonomous Region of Papua in the Republic of Indonesia Adolf Hanasben mengatakan kerja sama dengan Kedutaan Indonesia terjalin sejak tiga tahun lalu. Pada 2006-2007, formulir repatriasi telah diisi. Tapi, karena alasan birokrasi, program ini tidak berjalan. ”Duta besar yang sekarang lebih terbuka,” kata John Messet, mantan pejuang OPM yang ikut aktif dalam yayasan ini.
Bom mengatakan pelaksanaan pemulangan sempat tak ada kabar. Baru pada pertengahan Oktober 2009 ada kepastian. Sejak itu, pihaknya mengadakan verifikasi dan identifikasi orang-orang Papua di Papua Nugini. Sebanyak 348 orang dinyatakan siap dan lengkap administrasi sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia dan Papua Nugini. Mereka antara lain telah mengisi formulir permohonan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, pernyataan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesediaan meninggalkan kewarganegaraan asing, surat perjalanan, dan berkas Voluntary Repatriation Registration Form dari Division of Border and Special Project.
Sebanyak 438 orang batal berangkat. ”Ada yang masih bekerja di Papua Nugini, menunggu hak miliknya terjual. Ada yang menunggu uang pensiun atau uang bonus dari pemerintah atau perusahaannya bekerja. Ada juga yang menunggu keluarnya uang asuransi dan sebagainya,” kata Bom, yang turut mendampingi para repatrian sampai di Jayapura.
Kepulangan mereka dilaksanakan bertahap. Pertama, pada 19 November 2009, sebanyak 142 orang melalui dua kali sorti penerbangan Hercules C-130 TNI Angkatan Udara dari Wewak ke Jayapura. Mereka diangkut dari Manus, Madang, Lae, Bulolo, Goroka, dan Wewak. Kedua, tiga hari kemudian, 169 orang dari Port Moresby. Mereka berasal dari Buka, Rabaul, Daru, dan Kiunga.
Ketiga, pada 29 November, sembilan orang diangkut melalui satu penerbangan reguler Air Nugini dari Port Moresby ke Vanimo. Dilanjutkan sehari kemudian melalui transportasi darat, yang diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Papua di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Terakhir, pada 13 Januari lalu, sebanyak 14 orang melalui Vanimo. ”Yang terakhir ini repatriasi swasembada. Mereka tidak ditanggung pemerintah Papua,” kata Bom. Pemerintah Papua beralasan belum ada anggaran, sehingga dihentikan dulu sampai Desember lalu. Pihak Kedutaan kemudian berinisiatif memulangkan mereka, tapi untuk penghidupan di tanah Papua ditanggung repatrian. Sebelum Oktober telah terealisasi 136 orang repatriasi berdikari sejak dicanangkannya ajakan pulang untuk menyukseskan otonomi khusus Papua (lihat infografis).
Menurut Bom, sekitar 10 ribu orang melintas batas secara ilegal menuju tempat pengungsian di Kiunga, Vanimo, Daru, dan East Aswin pada 1968. Mereka adalah orang-orang yang menentang The New York Agreement 1963 dan Act of Free Choice 1969. Di antaranya karena agitasi dan intimidasi sayap-sayap politik dan militer OPM. Beberapa dari para pengungsi itu menerima izin tinggal sementara. Tapi pada 1970 sebagian dari mereka dipulangkan ke Papua, antara lain karena terlibat OPM dan melakukan tindak kejahatan di Papua Nugini.
John Messet bercerita ia mengalami trauma dengan peristiwa pada 1969. ”Pembunuhan banyak terjadi di mana-mana,” katanya. Ia lari dibantu oleh Australia. Selama 24 tahun ia tinggal di Kiunga. Kemudian ia ke Belanda dan Swedia. Pada 2007, ia kembali ke Indonesia, tapi istri dan anak semata wayangnya menetap di Swedia. Ia lalu menggagas kepulangan orang-orang Papua bersama Adolf Hanasben dan Alexander Yoku.
Tapi, pada 1984 sempat terjadi gelombang baru pelintas batas ilegal. Saat itu, menurut Bom, terjadi percobaan pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah Indonesia. Pemuda dikerahkan dengan persenjataan yang katanya didatangkan dari Markas Victoria di Vanimo, Papua Nugini. Persenjataan tak pernah tiba dan upaya percobaan kudeta gagal. Dampaknya, pengungsi di Papua Nugini meningkat. Pemerintah Papua Nugini prihatin atas keberadaan mereka dan menghentikan pemulangan pada pertengahan 1990.
Sejak tahun 2000, tercatat 10.048 orang dipindahkan ke kamp East Aswin, yang difasilitasi UNHCR (Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi). Di samping itu, terdapat 2.500 orang di daerah perkotaan. Di daerah Eight Mile, Port Moresby, mereka yang menempati lahan secara tidak sah telah beberapa kali memperoleh peringatan dari pengadilan akan diusir. ”Kisah pengusiran itu yang memicu terjadinya kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi kepulangan mereka,” kata Bom.
Program repatriasi dirancang dengan melibatkan berbagai departemen dan kementerian, juga Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. ”Ini termasuk dalam program 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia.
Sampai keberangkatan pertengahan Januari lalu, menurut Bom, belum ada yang kembali ke Papua Nugini. ”Tapi ada saja yang bolak-balik Papua Indonesia-Papua Nugini, karena urusan pribadi yang masih harus diselesaikan,” katanya. Program pada 2009 resmi berakhir sejak Kedutaan mengembalikan sisa anggaran belanja tambahan ke Departemen Luar Negeri di akhir Desember lalu. ”Hitung-hitungannya belum bisa saya sampaikan, kita menggunakan sehemat mungkin,” kata Teguh, enggan menyebut angka. Semula anggaran program diperuntukkan bagi 1.300 repatrian.
Sementara Teguh dan stafnya masih sibuk dengan urusan itu, Yosephine, Peter, dan para repatrian lainnya sudah harus mulai dengan babak baru kehidupan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo