Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepekan Bertabur Fasilitas

Di Jayapura para repatrian menghabiskan waktu sepekan, dengan aneka kemudahan dan kenyamanan. Persiapan sebelum kembali ke hidup masing-masing.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN repatrian berbaris. Bergantian mereka menerima kaus berkerah putih dengan lambang bendera Merah-Putih di aula Balai Latihan Tenaga Kerja Pasir Putih, Tanjung Ria, Jayapura. Setelah menerima jatah masing-masing, seraya tersenyum, mereka bergegas menuju kamar, mengambil perlengkapan mandi. Dan setelah bebersih diri, mereka pun mengenakan kaus baru kedua. Sehari sebelumnya mereka menerima kaus biru bertulisan ”Repatriasi Sukarela 2009”.

Sehari lewat di tanah Jayapura. Para repatrian dimanjakan berbagai fasilitas. ”Saya tidur nyenyak dan diberi makanan yang sepertinya tidak habis-habis,” kata Yosephine Solowop. Senyumnya lebar. Ia, suami, dan anak-anaknya tidur nyaman beralas kapuk empuk, menikmati santapan lezat di pagi, siang, dan malam hari. ”Mereka makannya banyak,” bisik seorang perempuan di dapur. Uang kertas pecahan 10 ribu dan 20 ribuan terlihat pula dibagi-bagikan. Beberapa orang memanfaatkannya untuk membeli pinang dan sirih, juga kartu perdana.

Fasilitas lain yang mereka terima mencakup hiburan. Televisi 21 inci terpasang di tepi lapangan, di sudut ruang kamar, dan di aula. Dendang pop Papua juga terdengar nyaris sepanjang hari. ”Waktu malam kami dansa,” kata Yosephine. Tapi, menurut dia, tidak ada yang mabuk. Lapangan di tengah area Balai dipasangi jaring untuk bermain voli, dan sisanya menjadi tempat bermain anak-anak: untuk berkejar-kejaran.

Balai ini memang ”disulap” rapi. Penanggung jawab asrama Balai, Willem Rank, mengatakan pengecatan, perbaikan kamar mandi, dan penambahan kasur dilakukan seminggu menjelang kedatangan repatrian. ”Dulu kasurnya tipis,” katanya. Dalam satu kamar sekarang tersedia 15 kasur baru. Ia tidak tahu berapa biaya untuk persiapan ini.

Selama repatrian menginap, dinas kesehatan menawarkan pelayanan gratis. Mobil kesehatan parkir di luar. ”Siapa saja yang sakit dapat menerima pemeriksaan sampai pukul 10 malam, dan kalau diperlukan, ada dokter on call,” kata Pamatoa, Koordinator Kesehatan Crisis Center Papua. Di sebelahnya duduk seorang dokter perempuan.

Beberapa program dirancang, seperti pengukuran status gizi, fogging di kamar, pengambilan sampel darah untuk mendeteksi malaria, serta suntik imunisasi campak dan folio. Pamatoa mengatakan satu anak diopname karena malaria di Rumah Sakit Dok IX.

Berselang sehari dari kedatangan repatrian, 13 orang memeriksakan kesehatan. Sebagian besar anak mengalami luka korengan (scabies) dan gangguan saluran pernapasan. Salah satunya Werry, 9 tahun. Kaki kanannya agak pincang karena luka koreng melebar di bagian betis. ”Banyak anak yang sakit karena luka itu,” kata Pamatoa.

Di sudut lain, kesibukan petugas Imigrasi tampak serius mendata repatrian, yang akan pulang ke kota dan kabupaten. Antara lain ke Keerom, Mimika, Jayapura, Boven Digoel, dan Merauke. ”Ada 21 keluarga yang mau ke Keerom,” kata seorang petugas. Menurut dia, kabupaten ini menjadi favorit saat ini.

Namun pengecekan yang dilakukan petugas berjalan tersendat-sendat. Ada pula sedikit kekesalan. Sebab, sebagian besar repatrian tak dapat berbahasa Indonesia, dan sebaliknya petugas tak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Sebagian besar repatrian lancar berbahasa Tok Pisin—asli Nugini. Akibatnya muncul kesalahan data.

Maka, para repatrian diajari berbahasa Indonesia, lewat dendangan bersama. Ketika lagu asli Papua Nugini dinyanyikan bersama di aula, sengaja diselingi lagu-lagu pop Papua. ”Kita harus belajar bahasa Indonesia. Good morning diganti dengan selamat pagi,” kata Ian Numberi, koordinator di Balai, yang mengajak mereka berdendang dengan semangat.

Meski begitu, ketika kerabatnya menjenguk, repatrian dapat berbaur. Sebab, suami atau istri mereka (salah satu) dapat menerjemahkan bahasa Indonesia ke Tok Pisin, juga sebaliknya. Kecuali anak-anak yang sudah masuk sekolah, mereka hanya bisa Tok Pisin dan berbahasa Inggris.

Sesuai dengan rencana, repatrian berada di tempat penampungan selama seminggu. ”Mereka akan menerima jatah hidup selama setahun, lahan 2 hektare, dan pelatihan profesi, seperti bercocok tanam untuk petani, penyediaan alat-alat untuk nelayan, sampai mereka mandiri,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri Indonesia Teguh Wardoyo di Jayapura.

Namun, menurut John Norrotouw, berdasarkan apa yang diperoleh keluarganya yang pulang, pemerintah Papua memberikan uang survive Rp 17 juta bagi setiap keluarga. Tidak ada uang tanah dan biaya pendidikan anak-anak.

Tentang kemungkinan adanya harapan pada pemerintah, Ketua Yayasan The Independent Group Supporting the Autonomous Region of Papua in the Republic of Indonesia Adolf Hanasben sudah mewanti-wanti para repatrian. ”Kami bilang ada bantuan tapi jangan pikir semua akan diberi pemerintah,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus